"Awas, Di!" pekik Anita.
Aldi kaget melihat lagi-lagi sekor kucing melintas di depan kendaraannya. Mata Aldi memastikan di depannya tak ada yang menghalangi lagi.
Tak berapa lama kemudian, ia melewati sebuah desa. Aroma khas pedesaan masih cukup pekat di sana. Hamparan sawah yang membentang—sangat menyejukkan mata.
"Gue baru tau, Nit. Ada desa yang asri banget," celetuk Aldi.
"Mainnya kurang jauh!" ejek Anita.
Beberapa orang yang melintas, turut menunduk. Aldi berpikir, itu pasti saudara Anita.
"Lo terkenal ya di sini," Aldi kembali berceletuk.
"Maksudnya?"
"Itu... buktinya banyak banget yang nyapa."
"Ya... itumah sudah biasa aja adat di desa. Kalau ketemu orang lain ya saling sapa."
"Waah... enak ya, tinggal di desa."
Melihat Aldi yang terpesona dengan keindahan desa, Anita mulai mencoba masuk dalam dunianya. Bukan, minimal dalam ranah pikirannya yang lain.
Aldi yang selama ini ia benci, manja, sangat ketergantungan, tidak mandiri, over narsis, dan pendendam itu mulai disingkirkan. Anita mencoba melihat Aldi dengan sosok yang ada di depannya hari itu.
Aldi yang cukup adaptif, mau kerjasama, meskipun masih dengan berbagai sifat menyebalkannya. Yakni over narsis dan manja.
"Deuh, capek banget," keluhnya.
"Bentar lagi juga sampai. Gausah manja deh. Katanya mau ikut, kan?"
"Iya-iya. Lagian kalau gue balik juga pake apa?"
"Yaudah nurut. Jalan aja terus. Jangan ngebut." Pinta Anita sambil menahan tawa.
"Enak juga ngerjain anak orang kaya!" gumam Anita.
"Lo bilang apa tadi?"
Alis Anita mengernyit. Bola matanya membesar, sontak ia terdiam. Menutup mulutnya dan fokus melihat smartphone. Berpura-pura sibuk dengan sesuatu yang lain.
"Apa? Tidak, ko. Tadi cuma lagi ngomentarin video lucu banget."
"Kirain ngomongin aku."
"Aku? Biasanya paka gue lo!"
"Menurutmu, Nit? Enakan mana di telinga pas bilang kamu atau lo?"
"Bagi gue mah sama aja. Yang penting hatinya tulus saat ngucapin apapun. Jadi, yang dengar pun enak. Adem," jawab Anita.
"Yeee, ditanya serius."
"Iya. Aku juga serius."
"Nah, kan. Kamu juga kan?"
"Mulai bilang kamu, kan? Gimana kalau mulai sekarang berubah?"
"Maksudnya apa nih?"
"Jangan panggil lo gue lagi?"
"Emang kenapa?"
"Entah, pas lihat beberapa orang yang nyapa kamu tadi sambil menunduk, rasanya damai. Bahasanya mungkin aku tak sepenuhnya paham," tutur Aldi.
"Tapi... aku bisa rasakan kedamaian itu. Sejuk sekali. Barangkali benar katamu, Nit. Yang terpenting daru bahasa adalah kejujuran jiwa," lanjut Aldi masih mengendarai motor Anita.
"Karena aku anak bahasa."
"Nah, itu. Kenapa gak coba kita lihat efeknya? Mungkin hal ini sederhana. Bilang aku dan kamu. Bukankah terlihat sangat sepele?"
"Tapi siapa tahu bisa membuat orang lain yang mendengarkannya turut tenang dan bahagia."
"Ok. Fix. Aku mau."
"Kenapa secepat itu? Aku kan belum nawarin."
"Sebenarnya... aku juga ingin melakukan itu, Ka."
"Hum?"
Anita menundukkan wajahnya. Seolah mencari apa yang benar-benar dapat memulihkan sakit di hatinya? Apa yang benar-benar mampi mengerti diri kita selain diri sendiri?
Banyak hal di dunia ini yang tak sedikit berkata untuk berdamailah dengan masa lali. Namun, tak sedikit pula ada berbagai manusia yang sangat sulit untuk bisa move on dari masa lalunya.
Masa lalu bukan hanya sebuah kesempatan dari Tuhan yang sudah, lalu abaikan. Tidak. Justru masa lalu adalah cermin.
Sebuah cermin tak akan berarti jika buram dan tak dapat menampilkan seseorang yang bercermin. Begitu juga masa lalu.
Kita tak bisa menafikan diri. Bahwa ada berbagai orang di luar sana, yang sekuat hati menutup masa lalunya. Entah sekelam apapun. Termasuk Anita.
"Heh! Kamu kenapa, Nit?" tanya Aldi menyadarkan Anita.
"Oh... udah sampai yah?"
"Gatau. Aku sengaja berhenti di sini. Mumpung ada tempat pemberhentian," ucap Aldi melepas pandangan matanya ke hamparan sawah di depannya.
"Istirahat dulu gapapa kan? Masih jauh?" tanya Aldi memerhatikan Anita.
"Sudah hampir sampai."
"Serius?"
"Perasaan dari tadi jawabnya sudah hampir. Dan di sinu gak keliatan ada rumah. Yakin, gak nyasar?" ucap Aldi kembali meyakinkan Anita.
"Kan rumahku. Masa aku nyasar. Kalau aku diajak ke rumahmu dan tanya begitu baru cocok," ketus Anita.
"Haha... lagian. Udah, sini duduk. Ngapain manyun di jok motor!" panggil Aldi pada Anita yang memanyunkan mulutnya karena kesal.
"Lagian ngapain istirahat di sini? Kan bentar lagi sampai," keluh Anita.
"Gimana kalau langsung saja?"
Anita mengucapkan keluhnya di hadapan Aldi. Setelah mulutnya berhenti mengomelinya, dan hendak berbalik ke motornya, tangan Aldi meraihnya.
Sontak, Anita menghentikan langkahnya. Waktu seakan terdiam sesaat untuk keduanya. Mata Anita terbelalak tak percaya apa yang dirasakannya.
Ia berusaha mengatur napasnya. Ssdemikian rupa agar Aldi tak curiga padanya. Apalagi menebak-nebak isi kepala perempuan yang ada di depannya itu.
"Mau kemana sih? Kan bisa duduk dulu?" ucap lembut Aldi.
Entah, apa yang membuatnya berlaku sopan dan lembut pada Anita. Apa hanya karena dia telah menolongnya dari kejaran Aldi atau ada maksud lain dari sikap Aldi?
Akhirnya, Anita mengikuti saran Aldi. Ia duduk di samping Aldi yang memandang ke depan. Sebenarnya, dilihat dari dekat, ia cukup tampan. Tak kalah dengan Aldi.
Hidungnya tak semancung Ali, tapi ia memiliki rahang tegas hampir serupa Ali. Bedanya, setiap kali ia tersenyum, energi orang yang melihatnya turut merasakan keteduhannya.
"Nit..." ucap Aldi masih memandang di depannya, tapi memanggil Anita.
"Iya, Di? Kenapa?"
"Aku tertarik bahasan tadi."
"Yang mana?"
"Kekuatan bahasa ada pada ketulusan penyampai bahasa itu sendiri kan?"
"Itu sebabnya saat melihat orang-orang yang kita temui tadi menyapamu dan aku, aku bisa rasain kedamaian juga. Benar kan?"
Kini, Aldi menengok ke samping kanan. Seorang perempuan berambut hitam sedang, duduk manis di dekatnya.
Anita memiliki tulang pipi yang cukup tinggi. Saat tersenyum, terlihat sangat ceria. Sorot matanya pun teduh. Terlihat aura lembut yang terperangkap di dalam mata bulat itu.
"Benar. Itu sebabnya kelembutan hati pada seseorang, tak akan hancur hanya oleh kata-kata," ucap Anita.
"Maksudnya?"
"Saat aku mengucapkan kata yang bagi orang lain kasar seperti 'dancuk' dsb, mungkin orang lain akan langsung menikamku buruk."
"Tapi... saat berhadapan dengan orang yang memang sudah akrab, itu justru bukti kedekatan dan kejujuran. Kamu pernah dengar kan logat kaya gitu?"
Aldi menganggukkan kepala," "Kebetulan ayahku juga orang jawa timur. Cukup akrab."
"Nah, apa di sana itu bahasa umpatan? Makian?"
"Bisa jadi iya."
"Lalu, apa kata itu buruk?"
"Menurutku tidak juga."
"Nah, sama seperti gue dan lo. Itu hanya dua kata sapaan biasa saja semestinya."
"Tapi... memang tak ada salahnya mencoba saranmu tadi."
"Apa?"
"Mulai sekarang panggil orang lain tak perlu dengan lo gue lagi. Mungkin, memang ada baiknya lebih memperhatikan respon dan perasaan orang lain, kala mendengarnya."
"Hanya karena itu?"
Anita terdiam. Pertanyaan Aldi seolah mengingatkan Nindy bahwa laki-laki di depannya itu bukan laki-laki yang malas memerhatikan.
"Aku mungkin terlihat brutal dan cemen di hadapamu, Nit. Tapi... aku selalu tertarik dengan keindahan seperti tadi," ucap Aldi.
"Ada kedamaian tersendiri saat aku mendengarkan suara mereka. Melihat baik bagaimana sepasang mata menyapa. Tersenyum begitu apa adanya." Lanjutnya.
"Aku dan kamu. Janji, ya jangan pakai lo gue lagi?"