"Aku dan kamu. Janji, ya jangan pakai lo gue lagi?"
Anita menganggukan kepala. Ia menurunkan tubuhnya. Kembali mengajak Aldi melanjutkan perjalanan pulangnya.
"Yuk! Keburu kesorean ntar!"
"Ok!"
"Oh ya, mau gantian aku yang nyetir?"
"Jangan. Kamu perempuan masa ngebonceng laki-laki."
"Emang ada aturannya?"
"Ya gapapa. Udah, deh ini bukan lagi presentasi. Jangan kebanyakan tanya," cecar Aldi.
"Ini kemana nih? Belok kanan atau kiri?"
Mereka berdua sampai di pertigaan. Beberapa rumah mulai hanya bisa terhitung jari. Jaraknya cukup jauh untuk suasana pedesaan seperti ini.
"Ini benar masih masuk, Nit?"
"Iya. Emang kenapa?"
"Ndak sih. Kirain gak sepelosok ini."
"Apaan. Lagian kamu tadi menikmatinya kan? Toh, tadi sampai berhenti di jalan. Menikmati pemandangan."
"Iya sih. Jujur, lama banget gak lihat seperti ini. Apalagi...," Aldi menjedakan ucapannya.
"Kenapa, Di? Kamu gapapa?"
Aldi tersenyum bisa melihat Anita dalam sifatnya yang berbeda. Penilaiannya selama ini salah. Anita bukan perempuan yang sepenuhnya galak dan mengerikan.
Justru hari itu Aldi membuktikan. Tak ada yang benar-benar pasti dalam penilaian sekejap mata. Anita, perempuan yang menghajarnya dan menjuluki cowok cemen, kini malah membuatnya bahagia.
"Bukan apa-apa, Nit. Gajadi," ucap Aldi.
"Heh, kenapa? Kalau ada masalah bilang aja. Aku siap dengerin kok!"
"Makasih, ya. Tapi mungkin lain kali aja. Cukup privacy soalnya."
"Ouh iya aku paham. Kalau sudah lebih tenang dan mau cerita juga gapapa. Jangan sungkan. Yah?" ucap Nindy sembari menepuk pundak Aldi.
Sentuhan Anita membuat desir lembut di hatinya. Ia tak pernah menyangka akan bersama dengan perempuan yang cukup menyebalkan baginya.
Penilaiannya tentang Anita selama ini terbantahkan begitu saja.
"Ah, Aldi!! Lo udah gila, ya?"
Tak berapa saat, Anita memberi isyarat pada Aldi untuk berhenti. Laju motornya pun dipelankan dan berhenti.
"Nah, sudah sampai. Silakan," pinta Anita begitu ramahnya seperti halnya orang menyambut tamu.
"Nit," ucap Aldi.
"Ya? Kenapa, Di? Capek, ya?"
Aldi menggelengkan kepala.
"Kenapa kamu mau menolongku?"
Anita tersenyum. Tulang pipinya makin terangkat. Sebuah senyum yang cukup melenakan dan makin membuat desir aneh dalam hati Aldi.
"Karena...," Anita menjedekannya. Sengaja ingin membuat Arka penasaran dengan apa yang akan dijawabnya.
"Karena kamu serem tau! Makanya begitu kamu minta cepetan, ya aku langsung refleks bantuin. Udah kan?" cerocos Anita begitu cepatnya menjawab.
"Heh! Aku serius tahu. Aku cuma penasaran aja kenapa kamu mau nolong aku dan tak bertanya, kenapa aku mau ikut denganmu mampir ke sini?"
"Ouh, iya. Benar juga. Memang ada hal lain, selain kabur dari kejaran Ali?"
"Ada."
"Apa ada hubungannya juga dengan yang kamu sebut sebagai privasi tadi?"
Aldi mengangguk perlahan. Sorot matanya memandang senyum ceria Anita. Bulir keringat mulai keluar dari ujung dahinya.
"Iya, Nit."
"Yaudah, berarti aku gausah tanya. Kalau sudah nyaman, dan kamu sudah sreg. Bakal cerita sendiri kan? Aku hanya ingin membantumu. Itu saja tanpa alasan tidak apa-apa kan?"
"Yuk, masuk!" ajak Anita.
Sebuah rumah joglo semi modern terlihat begitu menawan. Halaman rumah yang cukup luas dengan berbagai pohon dan tanaman, turut membuat takjub Aldi.
Aldi masih memerhatikan langkah Anita yang berjalan di depannya. Ia sengaja berjalan di belakang Anita karena malu, takut, dan tahu diri. Kehadirannya adalah manusia asing sebagai tamu. Lebih tepatnya, tamu yang memaksa datang.
Seorang perempuan bergamis navy, duduk di teras rumah. Sebuah senyum tertuang sejuk. Membuat siapa saja yang di depannya turut merasakan kedamaian jiwanya.
"Alhamdulillah... sudah pulang, Nak?" sapanya.
"Iya, Bu. Maaf ya, telat." Ucap Anita seraya mencium tangan Ibunya.
"Oh ya, Bu. Ada teman sekampus Anita yang mau main. Gapapa kan?"
"Gapapa. Masa mau bertamu gak boleh?"
"Syukurlah. Aldi... sini," panggil Anita melihat Aldi yang masih saja berdiri di belakangnya.
"Anaknya memang agak pemalu, Bu. Tapi kalau sudah kenal malu-maluin!" ledek Anita.
"Bu... nama saya Aldi. Teman satu kampusnya Anita. Terima kasih sudah boleh bertamu ke sini," ucap Aldi seraya menundukkan kepala.
Anisa—Ibunya Anita tersenyum. Lesung pipitnya membuat makin manis terlihat. Kerudung nude yang dipakainya cukup serasi dengan gamisnya.
"Silakan masuk, Nak. Nak Aldi juga silakan. Ayo, jangan sungkan. Ibu buatkan minum dulu, ya?"
"Jangan, Bu. Ibu kan capek. Biar Anita aja."
"Enggak. Yang ada kamu yang capek. Udah, gapapa. Kamu temenin Nak Aldi di sini. Yah?"
Akhirnya Anita menurut saja dengan perkataan Ibunya.
Sementara, Aldi masih memandang rumah Anita. Berbagai furniture khas jawa nampak dimana-mana. Sebuah pintu dengan ukiran khas jawanya.
Berbagai lukisan wali songo dan berbagai tokoh agama lainnya. Tak luput, lukisan entah apa dibacanya dengan tulisan aksara jawa turut menghiasi dindingnya.
"Keluargamu seniman ya?" ucap Aldi.
"Kenapa memangnya?"
"Kamu satu-satunya temanku yang pertanyaan pertamanya seperti itu."
"Oh ya? Maaf, kalau salah."
"Ndak, ko. Aku malah seneng."
"Hum?"
"Iya. Aku lebih senang dikenal dengan anak seniman daripada anak ustadz, kyai, dan semacamnya."
"Kenapa?"
"Bukan tidak suka. Hanya lebih merasa berat tanggungan aja. Kebayang nggak sih, kalau sudah dikenal anak kyai nih, misalnya, segala laku kita terus diperhatikan," tutur Anita.
"Sekali melakukan kesalahan, bakal dicap macam-macam. Paling minimal dicibir 'kok anak kyai kayak gitu ya kelakuannya?'"
"Dalam berbagai hal, itu agak cukup risih buatku."
"Ouh jadi bapakmu ustad?"
"Ouh, bukan. Kakek lebih tepatnya. Bukan ustadz juga, si. Tapi Kakek suka menyampaikan beragam hal nasihat dengan caranya," jelas Anita makin membuat penasaran Aldi.
"Seperti?"
"Kakek senang silaturahmi. Makanya di usianya yang sudah renta, fisiknya terbilang masih cukup kuat."
"Kakek sebenarnya lebih ke orang yang suka budaya dan adat istiadat."
"Budayawan dong?"
"Kakeh gak pengin disebut apapun sih. Itulah uniknya Kakek. Orang di sini pun jadi memanggilnya macam-macam."
"Ada yang panggil Mbah Kakung, Mbah, Kyai, Ustadz jarang yang manggil budayawan atau semacamnya."
"Berarti Kakekmu juga sering menuturkan pesan-pesan agamis mungkin?"
"Iya. Kakeh cerdas di penyampaian dan analisanya. Kakek senang membaca. Membaca apapun. Kakek juga gemar menulis. Menurun ke Ibu."
"Dan mungkin juga sedikit menurun padaku."
"Bedanya, aku belum sepenuhnya secinta itu dengan budaya seperti Kakek. Tapi aku sangat mengaguminya. Indah."
"Kenapa tak coba pelajari lebih dalam? Bukankah lebih mudah dengan ada Kakek?"
"Iya. Aku masih belajar untuk itu."
"Dikenal sebagai budayawan, ustadz, atau kyai pun itu masih lebih baik daripada dicap buruk bukan?"
"Maksudnya?"
"Seperti kalau ada anak dari suatu keluarga, kedapatan salah satu orangtuanya korupsi, misalnya. Pasti tak menutup kemungkinan anak itu juga dicap sebagai anak koruptor!"
"Iya kan?"
Anita bukan kaget dengan pertanyaan yang diucapkan Aldi. Namun, ia menangkap sebuah rahasia yang mulai Aldi coba luapkan padanya.
Dengan hati-hati, Anita mencoba memancing perlahan agar Aldi bisa ceritakan padanya.
"Iya juga, si. Kamu benar. Tapi kasian juga," respon Anita begitu Aldi selesai mengutarakan narasinya.
"Iya, kasian. Dan lebih dari kasian kalau tak ada satu anggota keluarganya atau bahkan lingkungan pertemanannya, yang mensuportnya bertumbuh," jelas Aldi.
"Itu lebih dari kasian, Nit. Seperti membunuh perlahan mental anak itu. Padahal, ia tak melakukan kesalahan apapun," lanjut Aldi.
"Eh... kalian ngobrol apa? Serius banget kayaknya," ucap Bu Anisa menjedakan obrolan Aldi dan Anita.
"Ouh, ndak, Bu. Aldi tertarik dengan lukisan itu. Jadi Anita ceritain tentang kakek. Kata Aldi nanya apa orangtuanya seniman?"
"Jadi Anita coba jelasin deh," jelas Anita sembari tersenyum manja pada Ibunya.
"Ibu duduk di sini. Gak sibuk kan?" pinta Anita.
"Enggak sih. Ibu nelpon kamu karena kawatir saja. Dan entah firasat tadi agak gak enak. Makanya nyuruh kamu pulang, Nak."
"Udah, ibu tenang saja. Kan Nindy udah selamat. Baik-baik saja."
"Iya. Tapi kalian lagi ngobrol kan? Nah, lanjut aja. Ibu mau ke belakang. Yah?"
"Yaaah, Ibu."
"Udah, gapapa."
"Oh ya, Nak Aldi. Silakan diminum. Maaf, ya cuma seperti ini sajiannya."
"Ndakpapa, Bu. Ini juga sangat cukup."
Bu Anisa pamit ke belakang. Meninggalkan Anita dan Aldi di ruang tamu.
"Diminum dulu, Di. Kamu pasti haus," pinta Anita memersilakan Aldi.
Aldi meraih segelas es jeruk yang dibuatkan Bu Anisa. Terasa cukup menyegarkan dari perjalanannya yang cukup jauh.
Aldi melihat jam tangannya. Matanya mengernyit, tak menyangka sudah cukup lama.
"Nit, kayaknya gue... eh, aku mesti pulang deh," ucap Aldi gugup, tapi terpancar keraguan dan bimbang dari matanya.
"Yakin, udah mau pulang, Di?" tanya Anita meyakinkan Aldi yang gugup.
"Iya. Aku mesti pulang."
"Tapi... kamu gapapa kan? Kamu terlihat cukup cemas."
"Aku gapapa, Nit. Aku pamit, yah?"
"Yaudah, aku pesenin ojek online, yah?"
"Jangan. Aku bisa pesan sendiri."
"Udah, gapapa. Anggap saja menghormati tamu. Jangan ditolak. Gabaik. Yah?"
Aldi tersenyum melihat laku Anita yang sangat berbeda itu. Ia tak pernah menyangka Anita akan membantunya, bahkan saat Arka belum menjelaskan kenapa ia tiba-tiba mengatakan ingin ikut dengannya.
Bukankah suatu hal aneh? Ketulusan Anita, sangat terbaca Ladi saat itu. Anita yang dikiranya perempuan tomboi, ganas, dan menyeramkan, ternyata tidak.
Anita dan Bu Anisa mengantar Aldi ke depan rumah. Begitu ojek online datang, Aldi pamit pada Bu Anisa.
Anita mengantarnya ke depan beberapa langkah kemudian terhenti.
"Di!" panggil Anita.
"Apapun yang sedang kamu alami sekarang. Masih ada orang baik lainnya di sekitarmu. Percayalah. Jangan pesimis, yah?" Ucap Anita mengiringi kepulangan Aldi.
***
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Akankah Aldi menceritakan apa yang sebenarnya dialami pada Anita? Setelah keduanya mengetahui karakter lebih dekat, apakah Aldi dan Anita memiliki sinyal positif untuk hubungan cinta sepasang kekasih?
Jangan lupa dukung dengan memberi komentar yang membangun, yah. Bisa juga tap hadiah. Terima kasih.