Chereads / Bukan Sekadar Sultan / Chapter 2 - 2 - Cewek Urakan

Chapter 2 - 2 - Cewek Urakan

"Hush! Ngatain dia kanebo, nanti denger gimana?" sanggah Nike.

"Biarin. Emang dia bisa bereaksi gitu?"

"Maksud lo, Nggun?"

"Yaah gini aja yah, logikanya orang tuh kalau dibully, dianiaya, ya dia harusnya ngelawan dong? Iya, nggak?"

"Masa pas kejadian itu diem aja? Ya gue yang duduk di sampingnya kesel kan? Beneran deh, mukanya kek kanebo kering!"

"Ilfeel amat sama cowok model kegitu. Amit-amit gue."

"Eh, kok lu jadi bahas Ali panjang amat? Hati-hati, lo. Jangan kelamaan bencinya, nanti bisa jatuh cinta!"

"Jatuh cinta? Sama cowok kanebo itu? Haha ada-ada aja! Gak mungkin lah!"

"Yaaa siapa tau aja, Nggun."

"Entahlah, mending bahas nasib kita ke depan aja deh. Masih ada waktu kita di sekolah ini 'kan?"

"Iya. Oh iya gue inget! Kabarnya, yayasan tempat yang bisa buat ke luar negeri, punya pamannya Ali, loh! Pantesan pinter dia! Keluarganya aja keknya orang pinter!"

"Apaan sih, bahas dia lagi?"

"Yakan masih ada hubungannya."

"Yaaa mau dari keluarga pinter kek, enggak kek, kalau modelannya begitu ya ogah gue ngelirik."

"Haha... hati-hati, lo!"

"Yaaampun... Gue lupa! Tadi gue ke ruang guru lo dipanggil Pak Andi, Nggun! Entahlah kayaknya ada sesuatu yang penting."

"Apaan sih?"

"Entahlah. Mending temuin sendiri aja."

"Tapi gue males. Ada cerita seru nih."

"Lo masih baca cerita online? Apa gak bosen?'

"Yaa buat ngilangin bosen. Siapa tau nanti gue juga bisa nulis kan?"

"Apaan cewek kayak lu mau jadi penulis? Dimana-mana penulis itu anggun, adem, sejuk, bukan cuma namanya Anggun! Wee!" Ledek Nike sambil berlari meninggalkan Anggun.

"Eh, lu mau kemana?!"

"Gue ada perlu bentar ke kantin! Daaah! Buruan ke ruang guru!" Pekik Nike.

Bukan Anggun namanya, kalau tak bisa mengolah sedih menjadi bahagia. Meskipun kisah hidupnya kadang tragis, ia pandai membuat hidupnya terlihat manis. Tanpa menunggu lama, ia beranjak dari tempat duduknya, seakan tak ada tangis dan bersikap seolah tak ada apa-apa.

Seorang perempuan bertubuh kurus tinggi itu berjalan menuruni anak tangga. Tangannya sibuk memegangi ponselnya. Mulutnya seperti ingin bergumam dan berinteraksi dengan ponselnya sendiri.

"Heih? Kok gini ceritanya?" celetuk Anggun sambil membaca novel digital di ponselnya. Ada mata ujian bahasa Indonesia yang harus dilewatinya juga. Sebab itu, akhir-akhir ini ia lebih suka membaca dan membaca lagi.

Bersamaan menjelang anak tangga terakhir, ia hampir saja tergelincir jatuh. Tiba-tiba saja gerombolan siswa lain menabraknya seketika dari belakang.

Ponselnya sudah melesat di udara. Tubuhnya hampir saja jatuh tersungkur begitu saja. Untungnya, sebuah tangan laki-laki dari wajah yang sangat dingin itu menangkapnya.

Pertemuan dua pasang mata laki-laki dan perempuan itu seakan menghentikan waktu berputar seketika. Anggun, siswa jurusan IPA itu menatap mata Ali. Siswa jurusan IPA juga yang sangat terkenal berprestasi, tapi hampir tak ada yang mau mendekati. Ia hanya terlihat memiliki satu teman di kampusnya. Itupun, entah temannya atau bukan.

"Udah jatuhnya?" Ucap Ali di depan wajah Anggun.

Anggun menatap cukup lama mata indah Ali. Bening dan tajam. Matanya bulat dengan lentik alis yang sempurna. Karena perempuan yang di hadapannya tak merespon, Ali pun melepaskannya begitu saja.

"Aw!! Sakit tahu!!" Anggun kesal bukan main.

"Bodo amat!!"

"Dasar cowok gatahu diri!!"

"Apa?" Ali menatapnya dengan tatapan lebih tajam.

"Iya. Cowok kanebo gak tahu diri! Mana ada cowok yang tega jatuhin perempuan!" cerocos Anggun kesal.

Ali menatap mata Anggun lebih dalam. Seakan mencari kekuatan untuk dia tak meluapkan amarahnya. Beberapa saat kemudian, teman Anggun datang menyusulnya.

"Anggun... kamu kenapa?" sapa Nike, teman Anggun. Nia pun segera mengulurkan tangannya pada Anggun.

"Gapapa, Nik. Yuk... kita pulang."

"Li!! Gue tungguin di atas nih!" Suara laki-laki memanggil Ali dari lantai atas. Ali hanya menatap sekilas. Ia masih berdiri di hadapan Anggun.

Anggun dan Nike pun pulang bersamaan. Tinggallah Ali seorang diri. Terlihat siswa juga mulai sepi sudah pulang. Saat akan menaiki anak tangga, Ali melihat sebuah ponsel di depannya.

"Ah... sudah bawel, urakan, ceroboh pula. Ponselnya pake ditinggalin segala. Dasar, cewek teledor!!" gerutunya.

Ali pun mengambilnya. Bersamaan, ia menutup aplikasi novel digital yang masih menyala. Baru saja Ali akan mememeriksa ponsel itu, seorang temannya memanggilnya dari atas.

"Hei, Bro!! Lagi ngapain sih berdiri trus sendirian di situ? Cepat kesini! Gurunya sudah nungguin!" pekik Aldi, teman karibnya.

Ali mengangguk. Ia taruh ponsel milik Anggun di saku celananya.

"Ngapain sih ngelamun di tangga?" sapa Aldi.

"Ngakpapa." Jawab Ali singkat.

"Oh ya, mana Pak Andi?"

"Itu di ruangannya. Buruan gih temuin! Gue tungguin di sini, ya!"

"Gak mau ikut?"

"Ndak, ah. Lagi baca cerita seru, nih! Tanggung!"

"Cerita apaan, emang?"

"Anak IPA yang sok filsuf gak bakal tahu deh. Udah, sana! Good luck, Bro!"

Ali pun segera pergi. Dengan tubuhnya yang tinggi menundukkan kepala. Pintu ruangan kantor dosen memang lebih pendek dari tubuhnya. Dengan wajah yang dipaksakan sedikit tersenyum, ia menghadap Pak Andi.

"Gimana, Ali? Sudah pikirkan tawaran Bapak?"

"Tawaran?"

"Iya. Emangnya Aldi belum kasih tahu ke kamu? Tadi Bapak titip pesan sama dia."

Ali mengalihkan wajahnya ke arah pintu. Seperti melihat seseorang yang akan masuk.

"Ali? Kenapa bingung? Kok diem?"

"Eh, nanti saya pikirkan lagi, Pak. Oh iya, ini tugas yang kemarin Bapak minta."

Dengan wajah gugup, Tirta menyerahkan berkas ke meja Pak Andi. Kini, Pak Andi yang mulai kebingungan.

"Saya permisi dulu ya, Pak."

"Oh iya. Yasudah... pikirkan lagi tawaran Bapak, ya."

Ali kembali terdiam, tapi begitu seseorang membuka pintu, ia menegaskan diri pamit.

"Permisi, Pak."

Ali berjalan terburu. Tanpa melihat siapa yang masuk dari arah pintu itu.

Brugg!!

"Lo lagi? Kenapa sih harus ketemu lo? Dasar, nyebelin!! Kanebo!" pekik Anggun sambil menunjuk wajah Ali. Kesal bukan main.

Wajah Ali mulai memerah karena terpancing amarah. Namun, tak sampai hati meluapkan kemarahannya.

"Kalau punya mata buat liat! Jangan sok cool deh!" lanjut Anggun menghardiknya.

Ali berdiri dan lanjut berjalan. Sampai pintu keluar, ia sedikit berbalik arah menatap ke belakang. Melihat Anggun beberapa detik. Lalu pergi meninggalkan wajah kesal di dalam matanya.

"Hallo..." sapa Pak Andi memanggil Anggun.

"Eh, Iya, Pak. Maaf, agak telat. Saya tadi lupa mau kesini, tapi Nike sudah ngasih tau saya kok, Pak. Maaf ya, Pak."

"Oh iya, tidak apa-apa. Kalau tugas kemarin apa sudah selesai?"

"Tugas?"

"Iya. Tugas yang saya kasih ke kamu kemarin. Karya ilmiah itu."

"Ouh sudah, Pak."

"Nanti kumpulin kesini besok, ya?"

"Baik, Pak. Saya permisi kalau gitu."

"Baik. Mana temanmu? Biasanya berdua."

"Ouh, Nike? Dia nunggu di luar, Pak."

"Oh iya, Bapak lupa mau kasih tawaran ke kamu. Ini. Silakan dibaca dulu, ya. Bapak percaya sama prestasi menulis kamu. Makanya Bapak tawarkan."

"Apa ini, Pak?"