Chereads / Bukan Sekadar Sultan / Chapter 7 - 7 - Cemburu?

Chapter 7 - 7 - Cemburu?

"Kamu kenapa sih, Mas? Aneh banget aku lihat." Tutur Anggun.

"Ouh, nggakpapa. Aku nggakpapa, ko."

"Yakin nggakpapa?"

"Tapi daritadi kamu aneh lo, Mas."

"Ssst... sudah-sudah. Kalian berdua kayak anak kecil saja. Mungkin Nak Ali lapar, kamu belum kasih makan kan, Nak?" tutur Ibunya Anggun.

"Ouh, iya. Ibu benar juga. Maaf ya, Mas. Sampai lupa."

"Sebentar ya, Bu."

Anggun beranjak sejenak. Ia meraih bungkusan sarapan yang telah dibelinya. Langkahnya pun lincah dan gesit pergi ke dapur membawa dua piring. Satu untuknya dan tentu satu untuk Ali.

"Ini, Mas. Maaf, ya. Kamu juga gak ngingetin, sih," protes Anggun.

"Hehe... nggakpapa."

"Makan, Mas. Gak perlu aku suapin juga kan?"

"Sebenarnya mau. Tapi malu sama Ibu."

"Haha.... kalian ini," celetuk Ibunya.

"Ouh iya, Bu. Apa nggak sebaiknya dirawat di rumah sakit aja? Ali takut ibu kenapa-napa, lho," ucap lembut Ali mengalihkan obrolan tentang dirinya.

"Ibu ndakpapa. Lihat kalian di sini pun ibu sudah membaik kan?"

"Mas... gimana kalau kita pindah ke sini? Aku kayaknya gak tega lihat Ibu sendirian," pinta Anggun.

"Iya. Nanti kita pamit ke Ibuku dulu, yah?"

"Ibumu gapapa, Mas?"

"InsyaAllah, dia bisa ngerti, ko."

"Syukurlah."

Seolah tak ada apa-apa, Ali masih menyembunyikan kecurigaan dan cemasnya. Sesekali membenamkan ponselnya sendiri. Ia ingin acuh dengan pesan whatsapp itu.

Namun, tak dapat dipungkiri garis cemburu terlukis jelas di wajahnya. Hanya saja, ia berusaha terus menutupinya. Matanya bisa refleks terbelalak begitu melihat foto kemesraan Anggun dan Aldi.

Laki-laki mana yang tak cemburu melihat istrinya terlihat sangat mesra bersama laki-laki lain? Justru menjadi hal aneh kalau ia baik-baik saja, tanpa kecemburuan.

Bagaimana seorang laki-laki mampu mengolah kecemburuannya itu? Satu yang masih jadi pertanyaan pas untuk Ali.

Sampai kapan ia mampu menahan kecemburuannya itu?

"Ouh ya, tadi kamu bawa apa aja? Kayaknya tadi gak cuma sarapan," Ali membuka obrolan disela-sela sarapannya.

"Ouh iya, Mas. Aku lupa. Jadi tadi pas aku naik sepeda mau ke Anita, tiba-tiba Aldi datang," tutur Anggun mulai menceritakannya.

Mendengar kata Aldi disebut, getaran cemburu meluap di hati Ali. Matanya sesekali menunduk. Berusaha mungkin agar menahannya.

"Kenapa, Mas? Ada yang aneh dengan makanannya?"

"Ouh, nggakpapa. Lanjutin aja. Aldi nyamperin kamu?"

"Iya, Mas. Aku juga kaget tadi. Karena tadi pake mobil. Kan biasanya pake motor yah?"

"Iya."

"Terus?"

"Terus... dia ngasih kartu nama ini," disuguhkannya kartu nama dari A Florist.

"A Florist?"

"Iya. Itu ternyata sebuah toko bunga milik ibunya. Entah Aldi tahu darimana aku suka bunga, dia menawariku kerja di sana, Mas."

"Kamu jangan cemburu ya, Mas. Aku juga gak tahu dia tahu darimana aku suka bunga."

Mendengar penjelasan Anggun, Ali terus menatap sebuah kartu yang bertuliskan A Florist itu.

"Mas?"

"Mas Ali?" Anggun menepuk tangannya.

"Ouh, ya?"

"Kamu kenapa, Mas?"

"Ouh nggakpapa. Aneh aja namanya lucu, ya."

"Iyah. Mau kesana, Mas?"

"Kamu pengin?"

"Sebenarnya sih penasaran. Tapi itu pun kalau mas ijinin dan mas mau. Kalau gak juga nggakpapa sih."

"Irfan itu siapa, Nak?"

"Ouh itu teman Mas Ali juga, Bu. Oh ya, sebenarnya gak sengaja. Teman ketemu pas lomba kemarin itu lo, Bu."

"Ouh iya. Kalian mau ke tempatnya?"

"Ehm... nggak ko, Bu. Itumah nanti aja."

"Kalau kalian mau pergi sebentar, nggakpapa. Kan nanti balik lagi ke sini, kan?"

Anggun menengok Ali. Mengodekan untuk ia yang menjawabnya.

"Udah, Ibu gak usah pikirin, yah. Kita akan tetap di sini merawat ibu, ko."

"Nanti kalau ibu istirahat, kalian boleh ko pergi. Tapi berkabar ke ibu, yah?"

"Makasih ya, Bu." Ucap Anggun tersenyum manis.

Sebuah senyum yang makin membuat Ali curiga. Apa sebenarnya dari kaitan semua ini? Apakah memang ada apa-apa antara Anggun dan Aldi?

Pesan whatsapp berisi foto Anggun dan Aldi itu, berarti benar adanya. Sebuah fakta yang membuat Ali untuk kembali menengok foto lama dari nomor itu. Berbagai foto yang menunjukkan Anggun dan Aldi di sebuah kafe.

"Mas? Gimana? Udah kenyang?"

"Ouh iya sudah, ko."

"Nggakpapa kan, Mas?"

"Nggakpapa, ko. Kan Irfan juga temen Mas."

"Kecuali kalau dia macam-macam sama kamu. Baru ada apa-apa," celetuk Ali.

"Apaan sih, Mas. Garing deh."

***

Tak ada yang bisa menebak ke depan akan bertemu siapa. Pun akan ada apa saja. Sejauh apapun merutuki masa lalu, masa kini ada untuk dijalani. Anggun berusaha mengemas segala duka melihat Ibunya sakit. Kekesalan berlebih hari kemarin dengan Indri, cukup membuatnya amat sedih. Namun, kabar gembira yang datang dari Aldi dan dukungan Anita, turut membuatnya bersemangat.

"Sudah siap, Mas?" Ucap Anggun melihat suaminya akan mengantarnya pergi.

Hari ini adalah harapan baru bagi Anggun. : Hari pertama ia memulai langkah untuk perencanaannya bekerja. Ya, hari pertama menelusuri di tempat baru. A Florist. Meski harus berkawan dengan kesal, tak ia tanam aroma itu di wajahnya. Bukan. Bukan karena ia telah menggadaikan wajah. Bukan pula karena membeli wajah baru. Namun, agaknya kesadaran diri untuk apa adanya mulai tumbuh dari Anggun.

Ia menyiapkan berbagai hal. Tas ransel rajutan buatan Ibunya. Sebotol minuman yang ia siapkan sendiri. Dengan daun mint di dalamnya. Ia selalu menyiapkannya untuk bekal minuman. Tak ketinggalan, boneka gantungan kunci berbentuk stroberi itu. Ditambahnya sebuah lonceng kecil. Saat ia bergerak, bunyinya memercik sepi.

Anggun sengaja menempelkan lonceng kecil pada gantungan kunci berbentuk buah stroberi itu. Tak lain, ia suka gemerisik suara. Dalam sepi, suara gemerisik semerdu gamelan, atau sesejuk gerimis. Namun, karena keduanya tak bisa dipesan kapan saja, ia menggantinya dengan lonceng kecil itu.

"Nak...."

"Iya, Bu."

"Ingat, ya. Selalu banyakin istighfar dan sholawat. Biar hatinya tenang. Semoga tempat yang kalian tuju ini bisa lebih membawa berkah," tutur nasihat Ibunya.

"Iya, Bu. Siaaap!" Ucap Anggun bersemangat. Segaris senyum tertuang di wajahnya dengan percuma.

"A Florist. Apakah ini tempat kerjaku nanti yang akan membuat lebih baik?" lirih Anggun seraya memeriksa ponselnya. Tiba-tiba, panggilan masuk datang dari sahabatnya. Anita.

"Mas, dari Anita. Aku angkat telfon dulu, ya?"

Ali mengangguk perlahan.

"Assalamualaikum, Ta. Gimana kabar?"

"Waalaikumsalam... Alhamdulillah, Nggun. Kamu?"

"Sama sepertimu. Gimana tadi itu tawaran dari Irfan? Kamu jadi kesana kan ya?"

"Iya, Nih. Ini baru mau kesana sama Mas Ali."

"Ouh gitu. Boleh lah nanti pas sudah kesana live bentar. Yah? Aku penasaran juga tempatnya sebagus apa. Yah? Please."

"Apaan sih. Nelpon cuma mau minta live ig?"

"Haha... nggakpapa kan?"

"Iya-iya. Nanti aku usahain. Aku udahan dulu, ya? Ntar keburu kesiangan nih. Aku gak enak juga ninggalin Ibu."

"Oh iya, thanks my bestie."

"Yaudah, deh. Sukses, ya!"

"Oh ya gue punya satu nasihat nih."

"Wah apa nih?"

***

Apa yang terjadi selanjutnya? Apakah Ali akan kuat menahan cemburunya? Bagaimana saat ia di A Florist? Lagian, kenapa Anggun harus bekerja, padahal Ali sudah bekerja mapan? Terus simak perjalanan Ali dan Anggun, yah!