Ali mengangguk. Lalu merebahkan dirinya di dinding base camp.
"Boleh tolong ambilkan aku minum, Sayang?"
"Sebentar, Mas." Anggun segera ke belakang untuk mengambil minum untuknya. Kebetulan, di tasnya ada botol air mineral.
Tak lama, ia kembali.
"Ini, Mas."
"Makasih, Sayang."
Anggun tersenyum.
"Tenangkan dirimu, Mas... tenang."
"Iyah... maafkan aku. Tadi emosi."
"Kamu sampai begitu, memangnya dia sebenernya siapa?"
"Aku juga tak tau. Aku bingung."
"Lalu, dia mau apa kesini?"
Ali meletakkan gelas minumannya. Ditatapnya kekasihnya yang bermata enak dipandang itu. Lekat-lekat, ia terus memandangnya.
"Sayang... apa kamu menyayangiku?"
"Kamu kenapa, Mas? Ada apa?"
"Jawab aku dulu. Apa kamu menyayangiku? Hum?" Dipegangnya dagu Anggun. Lembut.
"Selamanya, aku menyayangimu, Mas. Justru aku yang semestinya bertanya seperti itu." Jawab Anggun sejuk.
"Hum?"
"Iya."
"Kenapa?"
"Kita memang belum lama kenal, jika ada keburukan yang terjadi padaku, apa kamu akan tetap menyayangiku, Mas?"
"Apalagi aku... pernah...," belum sampai Anggun melanjutkan, Ali menahannya. Diletakkannya jari telunjuk itu di bibir Anggun.
"Ssstt... jangan diteruskan lagi. Kumohon. Aku akan selalu menjagamu. Tetaplah di sampingku. Apapun yang terjadi. Kumohon, Sayang. Masa lalu, biarlah masa lalu."
Anggun tak sanggup lagi menahan pilu. Bulir bening mengalir dari matanya.
Diusapnya penuh mesra oleh Ali. "Sstt... sudah, gapapa. Mas cuma ingin dengar saja."
"Sebenernya kenapa, Mas? Ada masalah apa?"
"Kamu yakin mau dengar?"
"Aku ini istrinya. Apapun yang terjari denganmu, aku berhak tau."
"Jujur, aku tak tahu bagaimana menyampaikannya dengan tepat."
"Tapi... memang ini kenyataannya."
"Kenapa, Mas? Kenapa?"
"Sepertinya... ada masalah lagi selain foto di instagram itu."
"Kenapa, Mas? Ada apa? Karena laki-laki bertopi misterius tadikah? Ada masalah?"
"Lebih dari sekedar masalah."
"Lalu? Ada hubungannya dengan orang itu?"
Ali mengangguk dalam duduknya yang menunduk.
"Lalu, sebenernya dia mau apa?"
"Dia mau kamu, Sayang. Itulah kenapa aku memukulnya. Maafkan aku, Sayang."
Anggun kembali menggulirkan bulir bening dari ekor matanya.
"Mas... terimakasih sudah menyayangiku."
"Aku minta maaf, kamu harus merasakan hal ini. Tapi aku janji akan tetap bekerja keras."
"Kamu tak pernah memeluk masalah sendiri, sejatinya, Mas. Hanya diuji lewat orang-orang seperti mereka. Aku akan selalu di sampingmu."
"Sayang... apa kamu keberatan dengan masalah ini?"
"Asal tetap bersamamu, Mas. Aku siap."
"Terima kasih, istriku. Maafkan Mas."
"Besok, pasti orang itu akan kembali ke sini."
"Dia meminta berkelahi, Mas?"
Ali mengangguk. "Mungkin."
"Lalu? Apalagi?"
"Seperti yang Mas bilang di awal. Dia menginginkanmu. Kurang ajar sekali, memang!"
"Dia mengenalku?"
"Ya...," ucap Ali pelan.
"Siapa?"
"Katanya orang yang pernah kamu tolong entah kapan."
"Dia merasa kau pahlawan bagi kehidupannya. Namun bukan sekadar pahlawan. Dia menginginkanmu. Itu yang sampai sekarang Mas begitu marah padanya, sayang...," tuturnya setengah emosi.
"Mas...," suara Anggun merendah.
"Kenapa, sayang?"
"Pernah membayangkan hidup akan seperti ini?"
"Jangankan membayangkan, Mas sama sekali tak terlintas sedikitpun akan bertemu dengan orang sekurang ajar seperti dia!"
"Ssst... Mas minum lagi. Biar tenang." Anggun mengambil gelas minumannya.
"Terima kasih."
"Hidup memang adakalanya seperti tebak-tebakan, Mas. Apa yang akan terjadi beberapa menit kemudian pun tak ada yang pernah tahu."
"Mau kita seberusaha apapun, tidak ada yang dapat menebak apa yang akan terjadi."
"Disanalah barangkali letaknya nikmat bagaimana seseorang diuji untuk mensyukuri."
Ali menegakkan tubuhnya. Memandang kekasihnya kembali. Mendengarkan tutur lembut nan sejuk itu.
"Mas..."
"Hum? Apa, sayang?"
"Terima kasih sudah menyayangiku sampai saat ini."
Ali tersenyum. Angin sejuk seakan mengalir begitu saja. Meninabobokan amarah yang sempat mengusik dada.
"Sama-sama. Terima kasih sudah jadi mata yang selalu enak dipandang, Sayang."
"Hum?"
"Iya. Mata yang selalu teduh dan sejuk. Dimana aku ingin selalu hidup di dalamnya."
"Sabar ya, Sayang. Aku percaya kamu orang baik. Allah gak bakalan sia-siain kamu. Tetap selalu husnudzon ya, Mas. Yakinlah... akan selalu ada Allah bersama langkahmu."
"Sejuk. Indah. Terima kasih, sayang."
Anggun tersenyum. Berusaha menata emosi yang sempat meluap dari suaminya itu.
"Kamu benar-benar siap, Sayang?" Ali bertanya kembali.
"Siap untuk?"
"Kalau kita suatu saat benar-benar kehilangan semuanya."
"Semuanya?"
"Iya. Semua yang kita inginkan dari pernikahan ini. Entah harta, ketenaran, atau apapun. Pernah membayangkan?"
"Memang itu punyanya Mas?" Anggun setengah tertawa.
"Kok ketawa?"
"Biar kamu gak keliatan terlalu serius." Ledek Anggun.
"Ish... ditanya serius juga."
"Mas... apa sih yang benar-benar milik kita?"
"Kehilangan. Apa sebenarnya yang milik kita, dan apa sebenarnya pantas untuk merasa kehilangan, Mas?"
"Mas merasa bersalah kalau harus mengajakmu nanti hidupmu susah."
"Susah? Agaknya perlu dipikirkan lagi."
"Hum?"
"Iya. Siapa yang bernilai seorang perawat ladang adalah pekerjaan orang susah? Pun siapa yang pantas menilai orang berdasi adalah pekerjaan orang kaya?" Aya bertanya seperti seorang pembawa acara di acara debat di salah satu stasiun TV. Namun, tetap dengan nada anggunnya.
"Dan... siapa yang berhak menilai mahasiswa penyuka filsafat yang berprestasi akan hidup susah?" lanjutnya.
Ali cukup tenang mendengar tutur lembut istrinya. Namun, masalah kini datang dua sekaligus. Menyelidiki pelaku foto yang memfitnah Anggun dan laki-laki misterius bertopi itu. Apa rencana Ali untuk tetap menjaga istrinya?
***
"Nggun, lu dimana? Masih sama Ali?" tanya Anita lewat panggilan teleponnya.
"Iya, nih. Kenapa, Nit?"
"Aku ada petunjuk. Bisa kesini sekarang?!"
"Petunjuk?"
"Ya. Tentang foto itu. Ajak Ali juga!"
Klik.
Panggilan telepon dimatikan Anggun. Ia menoleh sejenak ke arah Ali. Ia nampak cukup lelah. Bulir keringat kian mengalir dari dahinya.
Sejak kapan marah tak menguras energi? Bahkan, kemarahan yang diam pun itu tetap menguras energi. Apalagi Ali yang sempat berkelahi dengan laki-laki misterius itu.
"Mas..." ucap Anggun.
"Ya?"
"Kamu masih capek?"
"Kalau iya?"
Anggun tersenyum. Ia duduk kembali di base camp. Di sampingnya juga ada Ali. Anggun mengkodekan suaminya. Untuk menuntun kepala Ali untuk merebahkan di pahanya.
"Istirahatlah sejenak," ucap Anggun tersenyum.
Sebuah senyum manis yang mulai tumbuh dari Anggun. Agaknya, jatuh cinta di antara keduanya, tak secepat yang terkira.
"Hum?"
"Kenapa? Bukannya capek?"
Ali agak kikuk dibuat sikap Anggun. Meskipun, dirinya menginginkannya. Perlahan Ali mulai merebahkan diri di pangkuan Anggun.
"Nyamanin," tutur Anggun sambil membelai rambut Ali.
"Terima kasih, Sayang."
"Belum ketemu panggilan khusus?"
"Hehe kamu penagih juga, ya."
"Bukan penagih. Cuma pengingat yang baik."
"Nanti deh, nama khusus akan ketemu sendiri, ko."
Anggun tersenyum. Berusaha menenangkan diri meskipun Anita sudah mengabarinya agar lekas ke sana. Namun, ia tak tega membiarkan suaminya capek.
"Oh ya, tadi telpon dari siapa?"
"Uhm... itu Anita."
"Ada apa, emang? Dosen masuk?"
Anggun menggelengkan kepala. Masih berusaha menenangkan suaminya.
"Bukan. Tadi Anita ngabarin. Katanya kita suruh kesana."
"Kita? Sudah ada petunjuk?"
Anggun menganggukkan kepala.
"Kenapa baru bilang? Kenapa malah kita masih bersantai di sini?"