"Anggun ndakpapa, Bu. Anggun hanya lega."
"Syukurlah. Sekarang siap-siap, ya. Sebentar lagi kamu duduk di samping suamimu."
"Iya, Bu."
"Jaga dia baik-baik, Nak. Suamimu adalah pakaian bagi istrinya. Demikian juga sebaliknya."
Sebuah nasihat yang sering Anggun baca di novel-novel romance itu, kini ia dapatkan di kehidupan nyata. Ibunya dan Nike mengantarkan Anggun duduk di samping Ali, begitu doa selesai dipanjatkan.
Ali memasangkan cincin pernikahan di jemari Anggun. Begitupun Anggun yang memasangkan cincin pernikahan di jemari Ali.
Anggun memandang sebentar wajah suaminya. Tak lama kemudian menunduk khidmat. Mencium tangan suaminya. Sebelum Ali menyuruhnya mengangkat wajah, Anggun tak menegakkan tubuhnya.
Begitu Ali memberikan kode untuk menyudahi, Anggun menegakkan tubuhnya kembali. Ali belum mengucapkan satu kata pun pada istrinya.
Ia memandangi Anggun. Perempuan yang juga sempat membuatnya kesal bukan main. Bedanya, ia tak terlalu ambil pusing.
Beberapa saat kemudian, Ali mendekat ke wajah Anggun. Ia mencium kening Anggun dengan penuh khidmat. Seketika, hadirin dan tamu yang melihatnya, sontak membuat baper dan gemuruh
"Wuuuuu so sweet."
"Selamat, Sultan!!" teriak salah seorang kawan Ali yang datang. Meskipun pernikahan itu begitu tiba-tiba, tapi tak menyurutkan kawan seangkatannya hadir.
Sontak, gerombolan makhluk aneh teman kampus dan teman kerjanya itu pun memenuhi riuh suasana.
"Cuit... cuit!! Bentar lagi ada yang jadi filsuf beneran nih!" celetuk kawan lainnya. Maklum, dulu Ali saking pendiamnya sering diledeki seperti filsuf.
Ali menengok ke sumber suara sekilas. Ia tersenyum berterima kasih melihat antusias teman-temannya yang turut hadir menyempatkan waktunya. Ali kembali ke hadapan Anggun.
Ia menatap mata Anggun dengan tatapan penuh tanda tanya. Degup jantung yang kian terasa antar keduanya. Anggun sempat menunduk, tapi ditegur Ali dan kembali mengangkat wajahnya.
"Kenapa nunduk?" ucap Ali.
"Nggakpapa."
"Nggun."
"Ya?"
"Terima kasih." Ucap Ali dengan senyum termanis yang baru Anggun lihat dari wajahnya yang selalu tampak menyebalkan. Sebuah senyum yang membuat pipinya merona.
Ali sempat menahan tawa melihat ekspresi Anggun yang tergugu di dekatnya.
"Kenapa nahan tawa?" ucap kesal Anggun.
"Udah, nggakpapa."
Dari kejauhan nun di sana, Aldi geram. Ia keluar dari barisan teman-teman seangkatan Ali. Ali pun melihat sosok Aldi yang keluar.
"Itu bukannya Aldi?" tanya Anggun.
"Ya."
"Kenapa dia keluar duluan? Bukannya belum ada ucapan selamat?"
Ali meraih tangan Anggun. Ia kembali memandangnya dan mengucapkannya dengan lembut.
"Tanpa atau dengan ucapan selamat dari orang lain, yang penting pernikahan kita diridhoi Allah dan orangtua kita. Bukankah begitu?"
Anggun tak menyangka sosok yang semula dibencinya, begitu bijak mengucapkan kalimat. Menuturkan kata-kata. Apakah ini bagian dari kharisma cowok yang pandai mengolah opini dan kata-kata?
Entahlah, Anggun agaknya merasa tenang dan sangat tenang dengan ucapan Ali.
Tak berapa lama kemudian, ucapan selamat mulai menyambut pasangan Ali dan Anggun itu. Satu per satu mengucapkan selamat. Sesekali memotretnya. Mengambil momen bersama orang-orang berharganya.
"Wooo!! Akhirnya filsuf sultan kita nikah juga!" Celetuk salah seorang rombongan laki-laki dengan beragam tampilan uniknya. Kebanyakan gondrong dan sangat eksentrik. Pantas saja Ali dulu kabarnya sempat berambut gondrong. Barangkali memang suasana seperti itu yang membawa seseorang juga merasa biasa saja dengan tampilannya.
"Kayaknya gagal jadi filsuf nih," timpal salah seorang kawannya yang berambut gondrong dan berkacamata.
"Lo, kenapa?"
"Lihat saja siapa istrinya. Anggun Amalia alias Anggun, mahasiswa sastra yang berprestasi. Mustahil cerewet dan menyebalkan. Tak mungkin bikin kesal Ali tiap hari. Yang ada hidupnya bahagia, Bro. Bukan jadi filsuf."
"Hahah bisa aja lu bro!"
Ya, Anggun memang memutuskan melanjutkan studinya setelah bekerja dua tahun merantau di Malaysia. Dia akhirnya kembali, dan memutuskan melanjutkan studi di jurusan sastra inggris.
Ali hanya tersenyum sekilas melihat tingkah kawan-kawannya itu. Namun, kebahagiaan jelas terpancar darinya. Semua teman seangkatannya berfoto bersama. Terkecuali Aldi.
"Awas saja, Li!! Gue gak akan biarin lu hidup bahagia dengan Anggun!!" Ucap Aldi, sebelum pergi menancap gas sepeda motornya.
***
Tamu undangan mulai beranjak pergi. Acara pernikahan itu pun kian sepi. Anggun berpamit diri sebentar masuk ke ruangan. Tak lama kemudian, Ali menyusulnya.
"Anggun! Tunggu!" Ali menahan tangan Anggun.
"Ya? Ada apa?"
"Aku boleh bicara?"
Ali menengok sekitarnya. Ruangan itu memang ruangan umum, meskipun sepi.
"Ada apa emangnya?"
Ali menggenggam tangan Anggun. Erat. Bahkan sangat erat. Seolah tak rela dengan kecurigaannya yang kian tumbuh dan rasa sayangnya.
"Kamu menyayangiku?"
"Kamu tanya apaan sih!"
"Aku serius." Ali memandang wajah Anggun. Ia melihat mata bulat Anggun yang teduh itu.
"Tanpa kamu bertanya, kamu sudah tahu. Bukankah begitu? Bukankah aku rela jadi istrimu sudah buktinya?"
"Aku hanya ingin jawabanmu."
"Ya. Tentu. Aku menyayangimu, Ali. Setidaknya, aku akan berusaha untuk itu."
"Uhm... ada apa?"
Anggun tak enak hati melihat Ali. Ia memang sudah jadi istrinya.
"Tenang ya. Aku masih disini. Meskipun kita tahu pernikahan kita terasa tiba-tiba. Aku akan berusaha mencintaimu." Ucap Anggun meyakinkan.
Anggun masih mencoba menenangkan Ali.
"Tenang ya. Tenang. Aku tak tahu apa yang membuatmu sekawatir ini. Tapi kalau terus begini, aku juga ikut kawatir."
"Kamu tau, usiaku sebenarnya lebih jauh darimu 'kan? Memang, kita pernah satu sekolah, tapi saat itu sebelum aku melanjutkan sekolah di sana, aku mogok sekolah. Mungkin, hal ini baru kamu tahu."
"Lalu?"
"Apa itu tak masalah buatmu, Nggun?"
"Apalah artinya angka di usia? Kalau tidak jadi pengingat untuk terus berbuat baik. Bukankah hakikatnya begitu?"
Ali tak menyangka, jawaban itu yang akan ia dengar dari sosok Anggun yang sama sekali dulu dikenalnya sangat urakan. Sepertinya, ia memang telah menjelma makna anggun yang lebih anggun.
"Terima kasih sebelumnya sudah mengkawatirkanku. Aku tahu kamu pernah sebegitu kecewa dengan laki-laki. Aku akan sekuat hati tak meninggalkanmu."
"Tapi sekarang, bukankah kita sama-sama sedang berproses menjadi seperti itu?"
"Saling menerima satu sama lainnya bukan?"
Mendengar berbagi usaha dan kalimat Anggun, Ali agaknya merasa kegelisahannya separuh hilang. Ia melepaskan dekapannnya.
"Aku mencintaimu, Anggun. Jangan pernah tinggalkan aku. Setidaknya, akupun akan sama sepertimu. Belajar mencintai sepenuhnya." Ucap Ali lembut.
"Kamu seperti anak kecil yang takut kehilangan Ibunya." Ledek Anggun.
"Aku serius, Sayang."
"Apa?"
"Sayang. Emangnya gak boleh?"
"Boleh, tapi apa tidak ada kata lain?"
"Uhm? Apa?"
"Entahlah cari saja sendiri! Wee!"
"Yang pasti, aku serius sama kamu."
"Aku juga serius, Mas."
"Apa?"
"Mas. Emang gaboleh?"
"Ya boleh sih. Apa tidak ada panggilan lain?"
"Uhm? Apa?"
"Entahlah cari saja sendiri! Wee!"
"Ih! Apaan! Nyontek!"
"Haha!"
"Kamu sudah mulai mencintaiku?" tanya Ali.
"Mungkin." Ucap Anggun tersenyum.
Mereka berdua beradu pandang. Saling mendekatkan wajah. Kepercayaan, menjadi satu kalimat yang kian tertanam di mata masing-masing.