Di hadapan rumah bertingkat, dengan kuasa halaman yang sangat lebar, Igho terdiam. Ia mendongak melihat nanar seluruh rumah itu.
Banyak sekali kenangan-kenangan yang indah di sana, dan tidak sedikit kenangan menyedihkan tergores di tatapan Igho.
Di bawah terik matahari, Igho menguatkan tulang kakinya untuk tetap melangkah ke dalam rumah itu.
Matanya mulai mengedar ke setiap penjuru arah saat Igo sudah berada di dalam ruangan. Suasana sepi melingkupi rumah itu, hingga akhirnya, Ia lihatlah orang yang jadi kepala keluarga dari kediaman besar Bramantyo.
"A-ayah?" mulut Igo seperti terkunci, kaku untuk berbicara dengan pria yang sedang berdiri tegak di samping titian tangga dasar rumah itu.
Rasa malu juga canggung seakan-akan menghantui diri Igho,ketika ia mengingat bagaimana dirinya selalu mengecewakan sosok Ayah yang ada di pelupuk matanya itu.
