Tangan Alyn bergetar saat mendengar suara ibunya. Entah setan apa yang membidik kentelinganya hingga Alyn merasa terbebani saat suara serak basah itu memberi satu kabar baik dan satunya lagi kabar yang menurutnya buruk.
"Alyn anakku, maafkan ibu harus memutuskan hal berat seperti ini." ucap Ibu Daniah begitu serius menyelusup kedalam telinganya.
Jiwa kedewasaan Alyn mulai bangkit mendengarkan kata-kata ibunya dengan begitu serius.
"Ada kabar apa Bu?" mata Alyn kosong saat mendengarnya. Bahkan Alyn mengabaikan Anjar saat sesekali dia menyapanya.
Alyn hanya fokus mendengarkan suara Ibunya yang begitu hambar.
"Ada dua kabar untuk kamu 'Nak. Yang pertama, besok ibu sudah bisa pulang dari rumah sakit,"
"Benarkah? Ibu yakin sudah kuat?"
"Kata dokter, Ibu hanya tinggal melakukan terapi penyembuhan di rumah saja" Ibu Daniah mengucap kabar baik itu dengan mata berkaca-kaca.
Karena kabar itu bukan semata-mata kabar biasa. Ada sedikit kebohongan di dalamnya yang di sisipkan oleh Ibu Daniah untuk membuat Alyn tidak terlalu bersedih dengan kenyataan.
"Baguslah Bu, Alyn senang mendengarnya. Terus, kabar kedua apa, Bu?" tanya Alyn polos.
Di balik itu, Anjar sudah sigap menunggu Alyn menghentikan telponnya, dan segera mentrasfer kabar itu padanya. Seperti buaya yang tak sabar ingin menyantap makanannya.
Tangan Alyn menengadah, sebagai kunci agar Anjar bersabar menunggu telponnya berakhir.
"Kabar kedua, sepertinya kita harus pindah dari kontrakan itu, nak!" lirih sekali Ibu Daniah mengatakannya. Sangat berat terucap namun bagaimanapun pahitnya Alyn harus tetap mendengar keputusan Ibunya.
"Apa? Pindah lagi?"
Alyn bosan sekali harus terus berpindah tempat dari kontrakan ini ke kontrakan lainnya. Rasanya ia ingin cepat-cepat kaya saja.
Lalu ia ingin membelikan istana mewah untuk ibunya. Tapi, apa itu hanya akan jadi bagian dari mimpinya saja? Atau bisa terwujud? Itu hanya akan jadi rahasia ilahi.
"Kenapa harus pindah lagi sih Bu? Alyn sudah nyaman di tempat tinggal kita kali ini. Lagi pula Alyn sanggup menutup semua pembayaran kontrakan itu kok Bu. Tenang saja!" Rajuk Alyn.
Memang selama berpindah-pindah hanya tempat yang ia singgahi kali ini yang membuatnya merasa nyaman.
Apa lagi kediaman Anjar tidak terlalu jauh darinya. Hingga membuat Alyn sangat mudah untuk meminta batuan pada temannya itu.
"Kita harus tetap pindah, Nak! Maafkan ibu!" Ibu Daniah menutup telponnya sebelah pihak.
Ia tak sanggup mendengar banyak lagi pertanyaan Alyn, Daniah pun tidak punya banyak alasan lain untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kosong dari putrinya itu.
Bulir bening yang menyembul di kelopak mata Daniah akhirnya terjun juga mengalir ke pipinya. Ia mengingat semua diagnosis dokter yang sampai pada telinganya, bahwa ia mengidap kanker tulang belakang.
Sebagai manusia biasa, Ibu Daniah betapa terkejut mendengar penyakit yang terjangkit bukanlah penyakit biasa. Melainkan sangat berpengaruh pada kehidupannya.
Kehidupannya yang hanya bisa menutupi makan hari ini, esok dan seterusnya tak mungkin bisa mencakup penyembuhan untuk dirinya.
Terlebih, Daniah tidak mau masa depan anaknya terbengkalai sepanjang penyakit itu menggerogotinya.
'Tak ada pilihan lain,' batin Daniah seperti sudah tak ada kesempatan untuk menjerit.
Alyn yang masih terkaku dari telpon yang di tutup tiba-tiba oleh Ibunya merasakan ada kejanggalan dari kedua kabar itu.
"Lyn? Ada apa?" Anjar mendongak lalu mengendikkan pandangannya ke arah Alyn, ikut larut dalam keadaan.
Perlahan ponsel yang ia tempel di telinganya ikut melorot dengan tangannya yang terasa sudah tak bertulang.
Lemas dan lesu yang kini di rasakan oleh Alyn.
Bibirnya seolah terkunci dan matanya sama sekali tidak bergeming.
"Ya, udah tunggu sebentar di sini!" Anjar berinisiatif membayar makanan yang sudah di pesan di meja mereka.
Menyisakan Alyn sendiri di meja itu, Alyn mengemas buku-buku yang berserakan setelah ia membacanya tadi.
Lalu melihat Anjar yang sibuk di depan kasir kantin untuk membayar. Alyn pun pergi dari meja lebih dulu dari pada Anjar.
Rasanya Alyn benar-benat bingung saat itu hingga ia membutuhkan waktu beberapa saat untuk mendinginkan otaknya sendiri saja.
Seperti biasa dia berjalan sambil membenamkan buku-buku itu di dalam dekapannya.
Mata Alyn kosong sepanjang perjalanan menuju ruangan kampusnya.
Hingga ketika tengkuk lututnya benar-benar merasa lemas, Alyn mengistirahatkan tubuhnya di atas titian kursi di lapangan besar dimana semua orang sering melakukan olah raga basket di sana.
Hanya tempat itu yang membuat Alyn tenang, ketika lapangan itu mulai lenglang kosong karena semua mahasiswa sudah masuk ruangannya masing-masing kecuali dia.
Alyn duduk sendiri sambil mencerna baik-baik apa yang di katakan oleh Ibunya tadi.
Rasanya Alyn ingin menyerah. Lelah bekerja sambil kuliah. Apa lagi beban di rumah dialah yang menanggungnya.
Kehidupannya yang semakin menghimpit membuat Alyn sulit sekali berpikir jernih. Saat ia merasa otaknya sudah mengepul panas sekali, sebuah bola basket terlempar dan bersarang dalam pangkuannya.
Plak!
'Apa ini?' Mata Alyn mulai berkeliling liar mencari asal muasal bola itu di lempar.
Alyn menarik nafasnya kesal saat melihat orang yang berdiri si samping ring basket yang tinggi menjulang seperti hendak mencakar langit.
"Kamu lagi?"
Igho telebarkan senyumannya dengan tatapan menggoda.
"Kembalikan bolanya!"
Alyn yang benar-benar merasa buntu saat itu tak tergoda dengan gangguan Igho.
Alyn melempar balik bola itu dengan pasrah tak membalas sedikitpun.
Bibirnya hanya rapat dan melihat Igho dengan tatapan yang tidak bermakna.
Saat bola sampai ke tangan Igho, Ia memainkan bola layaknya pria super yang mempertontonkan kemahirannya.
Igho heran kenapa wanita yang duduk di balik titian khusus penonton itu hanya diam sama sekali tidak bergeming.
Padahal Igho berharap Alyn mengeluarkan kata-katanya yang pedas, atau banyak lagi cerocosan Alyn agar keluar seperti petasan yang biasa di nyalakan saat pesta.
Igho terus mondar-mandir memainkan bolanya tepat hadapan Alyn.
Tapi wanita itu seperti patung yang hanya menatap lantai lapangan dengan kosong.
Igho diam sejenak sambil memeluk bola basketnya menyamping sambil melihat Alyn yang terus mematung.
Keisengan Igho untuk mengganggu Alyn kembali meronta.
Kali ini dengan sengaja Igho melempar bola itu ke pangkuan Alyn lagi.
Blum!
Alyn terkejut dengan datangnya bola hingga Alyn terperanjat dari lamunannya.
Kini Alyn tak angkat bicara, ia hanya melempar balik bola itu tanpa ada reaksi.
Igho mengerucutkan keningnya sambil mendelik kesal karena tak ada balasan sedikitpun dari Alyn. Kembali Igho melancarkan aksinya.
Plak!
Bola itu terbang lagi ke pangkuan Alyn dengan kencang.
Alyn sontak berdiri dengan wajah memerah namun tak beucap. Alyn tetap sabar kembali melempar bola itu pada Igho.
Untuk ketiga kalinya, Igho tak menyerah melempar lagi bola itu pada Alyn, namun kali ini Alyn yang sudah berdiri tak mengindahkan bola itu sama sekali.
"Apa-apaan sih kamu?" sentak Alyn.
Mendengar amarah Alyn sudah tersulut, Igho menyeringai tersenyum lebar.
"Aku hanya ingin bermain dan mempertontonkan kehebatan ku. Tapi, sayang nya gak ada lawan," ucap Igho seperti menantang Alyn.
"Cari lawan lain sana!"
"Kenapa? Kamu gak berani menantang aku? Dasar cemen!" Igho semakin julid menggodai Alyn.
Alyn yang hendak pergi sontak menoleh mendengar Igho meledeknya dengan sebutan cewek cemen.
Alyn menatap Igho penuh tantangan.
"Siapa takut?" Amarah Alyn memuncak.