Rasanya Igho tak mau hari itu berhenti begitu saja.
Setelah banyak masalah menimpanya beberapa pekan ini, Igho merasa terhibur dengan senyuman Alyn yang sangat polos.
Igho sampai di rumahnya sambil terus bersiul ibn sebuah irama kebahagiaan.
Mendengar itu, pembantu yang hanya tinggal satu-satunya di kediaman Manaf langsung mempercepat pergerakannya dalam membersihkan ruangan.
Bi Tini sudah sangat siap menerima cecaran dari tuan mudanya.
Karena tiada hari bagi Tini tanpa ada celetukan pedas dari tuan Igho.
Ia harus tahan banting ketika Igho sudah memasang aksi brutalnya untuk marah-marah di tengah rumah atau di dapur. Itu sudah di jadikan makanan sehari-hari oleh Bi'Tini.
Lantai yang masih basah setelah selesai di pel oleh Bi'Tini membuat Igho tak bisa mengontrol langkahnya.
Saking senangnya Igho berjalan setengah berlari hingga kali ini Igho benar-benar terpelanting karena lantai yang licin.
Set!
Plak!
Tubuh Igho sudah menjadi santapan lantai basah, dan ia terkapar di atas lantai di samping titian tangga menuju kamarnya.
"Ah, tuan muda? Ma-maaf!"
Bi'Tini tidak bisa membayangkan marah Igho akan seperti apa lagi, karena meskipun Igho yang salah, pastilah Bi'Tini yang akan menuai akibatnya.
Perasaan Bi'Tini sudah sangat harap-harap cemas ketika melihat tuan mudanya mengaduh sambil memegangi tengkuk pinggangnya.
Ketakutan sudah semakin menyeruak di benak Bi'Tini.
Ia bingung harus berbuat apa, karena untuk memboyong majikannya itu sangatlah tidak mungkin.
Pasti Igho lebih memilih berjalan sendiri di bandingkan harus berkenaan kulit dengan wanita tua renta sepertinya.
Alih-alih marah besar, Igho malah menyeringai menarik kedua ujung pipinya hingga menampakan senyum yang lebar.
'Ini tuan Igho kan?' batin Bi Tini tak percaya, kalau-kalau tuannya malah tersenyum lebar setelah ia terpelanting hebat d atas lantai yang licin.
"BI, bantu Igho berdiri dong!" pinta Igho dengan lembut.
"Apa tuan baik-bak saja?"
"Tenang saja, Bi. Aku kan laki-laki, hal segini tak ada apa-apanya bagiku," Meski Igho menahan sakit di atas bokongnya, tapi kali itu Igho tak selera untuk marah.
"Beneran? Tuan Igho gak amnesia kan?"
"Amnesia apaan sih, Bi?" Igho malah terkekeh mendengar Bibi seperti syok melihat perubahan Igho yang berbeda 360 derajat.
"Seharusnya kan tuan Igho marah-marah, terus menyalahkan bibi?"
"Buat apa marah sih, bi? Kan Igho yang salah. Tadi, Igho gak lihat lantainya basah. Igho juga lari-larian di tengah rumah, jadi Igho yang salah kan Bi?"
Bi Tini heran, secepat itu tuannya beralih kepribadian.
'Apa ada yang salah dengan tuan Igho? Rasanya ini bukan tuan Igho Deh,' pikiran Bi Tini tiba- tiba semrawut memikirkannya.
Igho langsung menengadahkan tangannya, meminta Bi Tini membantunya bangkit.
Lalu ia mengepul bajunya yang sudah ikut separuh basah dan kotor.
Igho sama sekali tidak mempermasalahkan itu, malah Igho yang tak biasa makan di rumah dengan anehnya meminta Bi'Tini menyajikan makan siang ke kamarnya.
"Bibi masak apa sekarang?"
"Spagety jeruk lemon tuan,' jawab Bibi Masih sulit menerima kenyataan yang ada kalau majikannya berubah sedrastis itu.
"Wah, pasti enak. Aku tunggu satu piring spagety lemonnya di kamar ya, Bi! Igho lapar banget!" pinta Igho malah sumringah.
Ia melanjutkan langkahnya sambil terus bersiul kegirangan.
Manik mata Bi'Tini berkeling mengikuti kemana arah langkah majikannya melaju.
Hingga ketika Igho sudha tak terlihat lagi, Bi'Tini bergegas menyediakan makanan yang di pesan oleh Igho dengan semangat sekali.
"Mumpung dia lagi mau, Bibi harus menyajikan makanan yang enak dari pada biasanya agar tuan Igho tetap sehat," cerocos Bibi dengan tangan sibuk mengolah makanan di atas wajan perapian yang menyala.
Sepertinya, dengan cepat Igho melupakan rasa sakit di atas pinggangnya.
Ia melempar tubuhnya di atas sofa kamarnya yang berada di samping jendela.
Matahari menyoroti tubuhnya di balik jendela yang membentang luas di kamarnya itu.
Igho tersenyum sendiri masih merasakan bunga-bunga kebahagiaan saat moment bersama Alyn terjadi.
Pelukan itu, membuat Igho tak mampu melupakan wanita lugu itu.
Telunjuk tangan Igho berdiri memutar bola basketnya dan memainkan bola itu dengan tekhniknya.
'Kalau bukan berkat bola ini, mungkin aku gak bisa dekat sama wanita itu.' pikir Igho seperti berterimakasih pada barang kesayangannya itu.
Sambil menyilang kan kakinya, Igho menikmati suasana hari itu. Tak ada kemelut hinggap di pikirannya.
Hanya kebahagian menyimpang dan bersandar dalam hatinya saat itu.
Saat Igho hampir menutup matanya, Igho mengingat sesuatu hal yang hampir saja ia lupakan.
Ia sontak bangun dan menyimpan bola pada keranjangnya.
Lalu ia berjalan menuju meja yang bertumpukan buku-buku tebal.
Di bukanya sebuah kotak kecil berwarna merah menyala.
Sambil melempar senyuman, ia mencium sehelai sapu tangan bertuliskan Jesslin Kato di ujungnya.
"Suatu saat nanti, aku akan mengembalikan sapu tangan ini, tapi tidak untuk sekarang. Aku masih ingin memegangnya," ucap Igho seperti sulit bangkit dari wajah wanita itu.
Tok! Tok! Tok!
Mendengar pintu kamarnya di ketuk, Igho langsung terkejut, ia bergerak cepat melipat sapu tangan itu, lalu menenggelamkan kain special itu kedalam laci beserta kotaknya.
"Bibi?"
"Makanannya sudah siap, tuan!"
Seperti biasa, karena tangan Bi'Tini penuh dengan nampan berisikan makanan, akhirnya ia membuka pintu dengan cara menendang perlahan pintu itu dengan ujung lututnya.
Bibi merasa itu sudah terbiasa ia lakukan, jadi ia pikir gak ada salahnya.
Tapi, wajah Igho mendadak pucat melihat Bibi penuh keanehan.
"Ada yang salah, tuan?" tanya Bibi.
"Emmh, gak salah kok. Tapi, lain kali jangan buka pintu kamar Igho sebelum Igho yang bukakan untuk bibi ya! Bibi hanya ketuk aja," ucap Igho santai.
Bibi membelalakan mata semakin keheranan.
'Benar-benar aneh!' dengkus Bi Tini dalam hati.
"Ba-baik tuan!" Bi-Tini mengangguk pelan daj menyimpan nampan itu di atas meja kamar Igho.
Igho berdiri, kembali merebahkan senyumannya sambil membuntuti Bi Tini seolah menggiring pembantunya keluar, lalu Igho menutup pintu kamarnya rapat setelah Bi Tini sudah berada di balik pintu.
Igho melakukan itu bukan tanpa sebab.
Ia hanya tidak mau ada seorangpun yang tahu bahwa dirinya saat ini sedang berada di ambang kekonyolan.
'Apa ini yang di sebut dengan cinta?' pikir Igho terkekeh selalu ingin senyum- senyum sendiri di kamarnya.
Padahal sebelumnya banyak sekali wanita sexi, cantik, dan juga lebih berkelas di bandingkan Alyn.
Tapi para wanita itu tak pernah membuat Igho semelayang itu.
Igho sendiri merasakan ada yang aneh dari kepribadiannya yang berawal dingin menjadi lemah seperti itu.
Igho yang jarang makan, melahap habis makanan di mejanya, lalu ia yang jarang mandi dan berpakaian rapi, sekarang ia sering sekali berdiri tegak di hadapan cermin melihat detail seluruh wajahnya.
Seakan tak sabar ingin segera hari ini berlalu dan cepat bertemu hari esok untuk melihat wanita berhati malaikat itu.
Bersambung ...