Hujan telah reda, tetapi basahnya masih tersisa menjadi jejak hadirnya. Lihatlah daun-daun itu, ketika diterpa embusan angin, mereka menjatuhkan tetesan-tetesan air bening ke permukaan bumi.
Naran dan Ify tampak kacau ketika sampai di tempat temannya si juragan kosan. Sayang, keduanya terpaksa harus menunggu lebih lama dengan kondisi tubuh basah kuyup sebab temannya sedang berada di luar menghadiri acara keluarga.
"Tunggu sebentar, ya. Aku akan kembali," ucap Naran berdiri.
Sebenarnya Ify enggan ditinggal, ia takut jika Naran tak kembali padanya. Lantas, tangan itu cepat-cepat meraih tangan Naran dan memegangi erat.
"Aku akan kembali, jangan khawatir. Cuma mau beli minuman hangat biar kamu sama dedek bayi tidak kedinginan," terangnya kemudian.
Naran menyiratkan keseriusannya. Ify terdiam untuk beberapa waktu, mencoba mencerna semua kata-kata Naran yang terdengar seperti sedang perhatian.
"Enggak apa, aku akan kembali." Sekali lagi Naran meyakinkan.
Ify melepas pegangannya yang erat perlahan, mencoba percaya pada lelaki itu.
***
Sementara di lain tempat, usai habis-habisan menceritakan semua kejadian yang menimpanya, Sofia termenung sendiri menghadap jendela.
Ia menatap kepergian ketiga temannya sedih.
"Gimana, masih enggak aktif nomornya?" Lisa bertanya dengan raut wajah yang sulit dijelaskan.
Naomi mengangguk.
"Sepertinya Ify sengaja matikan, biar enggak kita teror." Inggit berkata.
Ada betulnya juga ucapan Inggit menurut kedua teman Sofia ini. Mereka menganggap jika Ify sungguh serius telah menghancurkan tali pertemanan mereka.
Lisa, Naomi, dan Inggit menyimpan marah mereka dalam dada, membenci perlahan seperti Sofia kini.
"Awas, kalau ketemu nanti akan kuberi pelajaran!" sumpah Lisa. "Bisa-bisanya dia mengkhianati Sofia, padahal kita tahu sendiri betapa Sofia baik padanya. Bahkan, Sofia yang bagaikan princess itu selalu rela turun ke jalanan demi bisa ikut membantu ibunya berjualan. Dia enggak mikir apa, ya?" sambungnya emosi.
Lisa tak mengerti. Dan memang tak ada yang mengerti tentang semua yang terjadi. Mereka langsung menelan cerita dari Sofia bulat-bulat, tanpa mengetahui bagaimana kesulitan yang Ify alami sendiri.
Akan tetapi, semua telah terlanjur terjadi. Ify yang memang tinggal dalam posisi salah tak bisa berbuat apa-apa, bahkan ketika ia dihujat dan dibenci. Baik itu oleh teman-temannya, atau juga orang tua sendiri.
***
"Maaf, kamu siapa, ya?" Lelaki berkemeja putih yang baru saja turun dari mobil bertanya kepada Ify yang duduk sendiri di bangku panjang samping halaman rumahnya.
Refleks Ify berdiri. Ia yang notabene pendiam dan tak tahu harus bersikap bagaimana gugup di tempat. Terlebih ketika lelaki itu memindainya dari kaki hingga kepala.
"Maaf, sa-saya—"
"Eh, Mas!" Naran tiba tepat waktu sehingga Ify tak harus menjawab pertanyaan itu. Ia membawa cup minuman berisi teh manis hangat di tangan.
Lega, dirinya bisa bernapas bebas. Ternyata Naran datang sesuai janjinya. Ia pikir sungguh akan ditinggal. Wanita ini sungguh ketakutan.
Lelaki itu ternyata kenalan Naran bernama Richard. Dia kawan kakaknya yang kini berada di luar negeri. Dan dia lah si pemilik kosan di sana.
"Eh, Naran?" Lelaki itu tersenyum lebar melihat siapa yang datang. Namun, di detik berikutnya raut muka riang itu berubah bingung.
Naran menghampiri dan segera menjabat tangan lelaki yang ia panggil mas itu.
"Kenapa kamu basah kuyup begini?" tanya Richard lagi. Ia tak akan puas sebelum rasa penasarannya terpecahkan.
Naran melirik Ify, dan itu membuat bola mata si lelaki bernama Richard teralihkan padanya.
"Kami butuh tempat tinggal untuk sementara, kalau boleh ...." Naran menghentikan ucapannya ketika melihat Ify mulai menggigil.
"Fy!" Naran berlari dan menangkap tubuh itu. Refleks minuman di tangan dilepas dan tumpah ketika jatuh ke tanah berumput itu.
Richard kaget. Namun, ia masih membeku, tak tahu harus berbuat apa.
"Perempuan ini siapa? Ke-kenapa dia?" Richard bergegas menghampiri. Dirinya membantu Naran, dan memapah menuntun ke teras rumah.
"Ini namanya Ify. Tolong, Mas. Dia sedang hamil, bisakah kami mendapatkan satu kamar untuk sementara waktu?"
Naran membantu Ify duduk di kursi rotan teras. Dirinya segera menyentuh dahi Ify. Dia tahu jika Ify sekarang mulai demam.
"Hah?" Meski dalam keadaan bingung, Richard mencoba menyimpan semua untuk saat ini. Dirinya memilih untuk membantu Ify dan Naran dahulu.
"Dia sepertinya demam. Kita bawa dulu ke rumah sakit terdekat. Ayo," ajak Richard turun dari teras.
Demi kebaikan Ify, Naran setuju walau sebenarnya gadis itu menolak halus.
"Naran, aku enggak perlu ke rumah sakit. Tidur sebentar juga nanti menggigilnya hilang," bisik Ify ketika Naran membantunya berdiri.
Namun Naran menggeleng. Baginya ke rumah sakit lebih baik. Dirinya tak berpikir bahwa saat ini tak membawa uang banyak. Hanya beberapa lembar uang biru dalam dompet.
"Ingat, ada bayi di rahim kamu. Ayo, jangan protes lagi."
Ify berkaca-kaca, tak menyangka jika Naran bisa selembut itu kepadanya. Tanpa kata lagi, ia digendong oleh Naran dan dibawa masuk ke dalam mobil Richard.
***
Langit semakin menghitam, gelap gulita. Namun, itu tak menghentikan Nazam untuk menepati janjinya kepada Sofia, meski dirinya sadar jika waktu yang dijanjikan sudah terlewat.
Selesai dengan pekerjaan lembur di kantor, buru-buru Nazam mendatangi rumah Sofia. Ia meminta izin bertemu wanita itu kepada calon mertuanya.
Nazam tak perlu disuruh masuk, ia hanya akan mampir sebentar untuk sekadar menyapa calon istrinya.
Alasan. Nyatanya bukan itu tujuan Nazam. Akan tetapi, orang tua Sofia menanggapi dengan senyum malu. Bagaimana mungkin seorang Nazam terus merindukan anaknya sampai rela malam-malam datang hanya untuk menyapa Sofia.
"Em. Tidak begit—"
"Enggak apa-apa. Enggak usah malu mengakui. Kalau gitu bunda panggilkan dulu Sofia, ya?"
Nazam hendak mengklarifikasi apa yang salah, tetapi bunda Sofia memotong ucapannya sambil senyum-senyum mesem. Kemudian masuk ke dalam tanpa menunggu Nazam buka suara lagi.
Tangan lelaki itu menggantung di udara hendak mencegah kepergian calon mertuanya, sayang itu tak terealisasi dan hanya mengantung begitu saja.
"Salah paham," gumamnya menjatuhkan tangan.
Sayangnya memang sudah terlanjur salah paham. Nazam tak bisa meluruskan. Akhirnya ia hanya bisa mengatupkan bibir rapat-rapat.
"Oke, siapa peduli soal kesalahpahaman itu? Kami akan segera menikah, kok." Kembali Nazam bergumam.
Sofia tiba dengan setengah berlari. Ketika bertemu mata dengan Nazam, ia diam seribu bahasa dengan debar jantung tak berirama.
Jangan salah paham macam bunda Sofia. Itu bukan debaran cinta, hanya debaran cepat tanpa makna. Hanya detakan kencang akibat berlari turun dari kamar atas hingga teras.
"Mas, datang juga? Kirain enggak jadi," ucap Sofia setengah tak percaya.
Sebelumnya ia berpikir kalau Nazam sama saja dengan lelaki lain. Bisanya hanya berjanji dan berjanji tapi tak bisa menepati melihat waktu yang dijanjikan datang sudah terlewat berjam-jam.
"Iya, Maaf. Saya lembur hari ini. Ini, sudah saya buat yang baru dan sudah ditanda tangani. Tinggal kamu." Nazam tak basa-basi. Dirinya langsung menyerahkan kertas itu sembari lirik kanan kiri. Membuat Sofia melakukan hal sama.
Sofia mengangguk saja, entah harus bicara apa lagi.
"Kalau begitu, saya pulang dulu. Sampai bertemu di hari pernikahan."
"Iya, Mas. Hati-hati di jalan." Sofia mengingatkan.
Nazam berbalik, tetapi baru saja maju beberapa langkah, ia menoleh. Membuat Sofia menegakkan punggung agar tak terlihat jelek ketika berdiri.
"Besok, saya akan pangkas jambangnya," ucap Nazam tak diduga.
Wajah Sofia memerah. Apalagi Nazam.