"Ow, waw! Hey, jangan main kasar sama perempuan, Bro!" Raska menangkap tangan Nazam yang mencengkram lengan Sofia cukup kencang.
"Apa-apaan, nih?" Nazam segera menyingkirkan tangan Raska dengan tangan lainnya, dan Sofia pun menepis cengkraman Nazam.
Ketiganya diam dengan emosi masing-masing. Namun emosi Nazam lebih besar lagi. Ia tak tahan hanya melihat istrinya disapa, dan semakin tak tahan saat laki-laki yang menyapanya itu ikut campur dalam urusannya dengan Sofia.
"Dia istriku," sengit Nazam melangkah maju. Tatapannya kian membara.
"Saya tahu. Tapi kekerasan dalam rumah tangga tidak dibenarkan."
"Apakah menurutmu ini kekerasan dalam rumah tangga?"
"Kelihatannya, ya."
Nazam tertawa hambar. Baginya apa yang si koki tuduhkan sangatlah konyol. Lihatlah keduanya. Adu tatap antara mereka kian sengit saja.
"Mas, kamu apa-apaan, sih? Jangan begini, malu diliatin orang," bisik Sofia seraya menarik lengan suaminya, mewanti-wanti agar tak terjadi hal buruk.
Seperti pertengkaran antara pria misalnya. Sofia tak pernah mengharapkan itu.
"Kamu juga, Ras. Jangan mengasumsikan hal sembarangan. Dia tak pernah melakukam kekerasan apa pun kepadaku."
'Meski sebenarnya mas Nazam lebih menyiksa hatiku hampir setiap waktu,' lanjutnya dalam hati. Dan Sofia tak berani untuk sekadar mengungkapkan rasa sakit itu.
Raska sedikit terkejut dengan pembelaan Sofia. Ia pun merasa malu atas tingkahnya.
"Kamu dengar itu?" Nazam tersenyum miring. Perasaan puasnya melambung tinggi ketika Sofia sendiri yang menyanggah soal tuduhan itu.
"Oh, maaf kalau begitu."
"Tentu saja. Saya harap hal ini tidak terjadi lagi, atau—"
"Mas, sudah. Kita kembali saja ke kamar. Nanti bisa sarapan di sana saja," putus Sofia segera. Ia tak mau perbincangan panas ini semakin luas dan meleber ke mana-mana. Ia sudah cukup malu setelah seisi restaurant memerhatikan mereka bertiga.
***
Nazam menuntun tangan Sofia tanpa berniat melepaskannya, meski wanita itu merengek sekali pun. Daripada melepaskan, lebih baik bagi Nazam untuk berpura-pura tuli saat ini.
"Mas, kamu tak waras sungguhan! Kenapa cari ribut?!"
Nazam memilih tak bersuara. Ia melangkah lebih cepat menuju kamar yang disewanya sejak hari kemarin. Tak peduli Sofia sering tersandung karena tak bisa mengimbangi langkah lebar dan cepat Nazam.
BRAK!
Pintu ditutup keras. Nazam melepas tangan Sofia, berbalik dan menahan Sofia di daun pintu. Matanya menatap dalam dengan kilatan amarah. Membuat lutut Sofia gemetar.
"Diri ini tidak waras karena kamu, Sofia!"
Nazam memukul daun pintu tepat di dekat telinga Sofia. Membuat wanita itu memejam mata refleks. Kemudian membukanya kembali, perlahan.
"Karena saya?"
"Ya, karena kamu melewati batasan! Dan itu sangat mengganggu!"
Wajah Nazam dan Sofia hampir tak berjarak. Kemarahan Nazam membuat napas yang tak teraturnya mengembus kasar pada wajah Sofia.
"A-apa maksudnya? Saya tak paham, katakan dengan jelas agar saya tahu di mana letak kesalahannya." Mata Sofia berair, bentakkan Nazam terlalu menyakiti perasaannya.
"Jangan pernah tersenyum kepada laki-laki lain selain pada suamimu sendiri!"
Nazam terdiam kala menyesap bau menthol segar yang menguar dari napas Sofia, akhirnya Nazam tak tahan dan mencium bibir Sofia saat itu juga. Tanpa bertanya, tanpa aba-aba.
'Karena aku sangat benci itu, asal kamu tahu.'
Sofia seperti berubah menjadi patung, tak bisa bergerak ketika Nazam mengulum bibirnya lembut. Untuk beberapa waktu pikirannya menerawang dalam hingga menyimpulkan suatu hal, yaitu alasan Nazam mendadak menjadi dingin kepadanya.
"Apa kamu cemburu, Mas?" lirih, Sofia bertanya ragu di saat akhirnya punya kesempatan untuk menjeda permainan bibir Nazam.
Nazam menatap sepasang mata Sofia yang basah. Dengan napas terengah, jemarinya mengusap air mata di pipi Sofia. Dalam pikirannya, ia menerka. Benarkah karena cemburu?
'Ah. Ya ... aku baru sadar tentang ini. Aku rasa diriku memang cemburu padanya.'
"Heem. Aku cemburu. Sangat."
Dia mengakui itu tanpa ragu. Tanpa melepas pandangannya dari Sofia. Kemudian kembali melanjutkan ciuman panas yang ia mulai lebih dulu.
Air mata Sofia menetes bersamaan dengan perasaan yang melayang ke awang. Entah mengapa, mendengar si dingin berkata cemburu membuat jantungnya kembang kempis. Ada rasa bahagia yang tak bisa dimengerti. Dan Sofia tak bisa menolak kehangatan dari permainan lembutnya. Dia pun ikut tenggelam dalam buaian mesra Nazam.
***
Pagi-pagi sekali Sofia sudah disambut dengan tatapan hangat suaminya. Nazam berbaring tepat menghadap Sofia.
"Morning," ucapnya seraya tersenyum lembut.
Sofia membelalakkan mata. Apa ia tak salah lihat? Nazam menyambutnya di pagi hari? Ini adalah kasus langka kedua. Nazam tak pernah semanis ini sebelumnya. Apakah karena mereka sudah melakukan adegan ciuman panas kemarin?
Oh, ya ampun! Pekik Sofia dalam diam. Padahal kejadian kemarin tak berlangsung lama karena Nazam mendapat panggilan telefon darurat yang mengharuskannya pergi saat itu juga ke Jakarta.
"Kemasi barang-barangmu, ayo kita pulang sekarang."
Seketika saat itu perasaan melayang yang sempat Sofia rasa hilang. Berganti dengan kecanggungan yang tak berujung.
"Em, i-iya. A-apa ada masalah?" Bahkan wanita itu tak sanggup menatap mata Nazam. Jika ia lakukan, mungkin saja jantung kembang kempis itu akan benar-benar meledak.
"Ya, ada sedikit masalah di kantor. Kamu tidak usah memikirkannya. Ayo, cepat." Nazam buru-buru menyuruh istrinya membereskan apa pun benda miliknya kecuali jika ingin membuang semuanya di hotel ini.
"Oke."
Sofia segera mengambil tas selempang yang ia gunakan, memasukan ponsel dan beberapa alat kecantikan yang sebelumnya ia keluarkan.
Keduanya pulang dengan tenang seolah ciuman itu tak pernah terjadi. Pun dengan pertengkaran kecil mereka sebelumnya.
Tiba di Jakarta, Nazam langsung pergi menuju gedung perusahaan setelah ia mengantar Sofia pulang lebih dulu. Entah apa yang terjadi di kantor Nazam, tetapi setelah Sofia tunggu semalaman suntuk, laki-laki itu tak kunjung pulang. Sampai akhirnya Sofia memutuskan untuk tidur.
Namun, pagi ini ia sudah dikagetkan dengan keberadaan Nazam tepat di sampingnya. Bahkan, tersenyum begitu lebar. Mencurigakan sekali! Benak Sofia berkata.
"Ka-kapan pulangnya?" Tergagap ia bertanya. Masih di posisi sama, berbaring.
"Kamu nungguin?" Nazam malah bertanya balik, membuat pipi Sofia memerah.
Semalaman dirinya memang menunggu, dan entah mengapa wanita itu melakukannya. Sofia sendiri tak tahu.
Sofia bangkit dari posisinya, tak mau menjawab. Akan tetapi Nazam dengan gesit menarik tangan Sofia hingga wanita itu jatuh terbaring kembali.
"Mas, kamu ap—"
Cup!
Tanpa disangka-sangka lelaki yang kemarin marah sampai setengah gila dan mendadak berubah menjadi kucing manis itu mendaratkan satu ciuman hangat di dahi Sofia. Membuat Sofia diam seribu bahasa, tenggelam dalam keterkejutan yang begitu dalam.
'Lagi? Kenapa laki-laki dingin ini memperlihatkan sikap yang seperti bukan dirinya?'
Sofia tak mengerti.
"Mas, kenapa kamu begini?"
"Apanya?"
"Sikapmu. Jangan sok manis dan membuat orang salah paham."
Nazam terkikik geli.
"Silahkan salah paham. Aku begini karena sedang jatuh cinta."