"Semua itu akan aman, kecuali kamu sendiri yang akan mengumbarnya!"
Anna terdiam, ia mulai menitikkan air matanya kembali. Aksel melihat Anna yang terus menangis lama-kelamaan frustasi. Ia sangat membenci suara tangisan.
"Kamu bisa diam tidak!"
Tidak ada jawaban apapun dari Anna, melainkan hanya perlahan tangisannya mulai mereda.
"Saya tidak suka lihat dan dengar orang menangis!"
"Lantas saya harus tertawa?"
"Bila perlu, itu bagus!"
'Bukan gila lagi manusia ini, benar-benar tidak waras!' batin Anna menggerutu, ia tidak mampu mengatakan itu secara langsung karena takut Aksel berbuat macam-macam.
"Saya paham sekarang, kenapa sekretaris Bapak tidak pernah betah, pasti karena selalu dilecehkan!"
"Jaga mulutmu!" pekik Aksel.
"Lalu apa? Pasti ini!"
"Mereka belum pernah saya bawa pergi meeting hanya berdua seperti ini, dan kejadian ini pun hanya pernah terjadi kali ini saja."
"Jadi?"
"Kamu jangan banyak tanya yang bukan urusanmu!"
"Akui saja Pak, kalau memang Bapak ini sudah menikmati beberapa tubuh sekretaris yang dulu."
"Anna!"
Mata Anna membelalak kala Aksel meneriaki namanya. "Kamu dengar baik-baik, saya tidak pernah melecehkan siapa pun! Kejadian hari ini juga benar-benar kecelakaan!" imbuh Aksel kembali.
Mereka sama-sama terdiam, tidak ada sahutan apapun. Anna terus menggerutu dalam hatinya sedangkan Aksel memikirkan hari esok aka nada berita seperti apa yang muncul.
"Rumahmu yang mana?"
"Depan lagi, cat putih."
Tak lama kemudian mereka sampai di depan rumah bercat putih. Anna cepat-cepat merapikan bajunya. Ia bercermin dan betapa terkejutnya karena ada tanda kepemilikan pada leher dan dadanya.
Tatapan sinis ia layangkan pada Aksel "Apa?" tanya Aksel bingung.
"Ini semua gara-gara Bapak!"
"Hah?"
Anna menunjuk lehernya "Ini gimana hah? Ibu saya pasti marah."
Aksel menghela napasnya, meskipun ia cukup kejam tetapi kali ini ia bersikap cukup baik karena kesalahannya pada perempuan. Ia melepas jasnya dan memberikan pada Anna.
"Pakai ini."
"Oke, lusa saya kembalikan, saya mau mengundurkan diri! Terima kasih."
Aksel bengung karena ucapan tersebut, ia tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Anna, seketika bisa berubah dengan cepat.
Anna memang membawa kunci rumah, karena terkadang ia pulang telat atau pun orang tuanya tidak ada di rumah.
"Baru pulang?"
"Eh Ibu, iya Bu."
"Tumben."
"Iya banyak kerjaan, Anna permisi mau istirahat."
Anna berjalan melewati Ibunya yang membawa segelas air putih. Sesampainya dalam kabar ia merebahkan tubuhnya yang lelah dan bingung tak karuan. Segera ia membersihkan diri dan setelahnya ia bercermin, melihat tubuhnya yang banyak tanda kepemilikan oleh Aksel.
"Sialan! Kenapa sih saya harus dapat Boss yang seperti itu!" Anna berdengus kesal dan mulai memakai baju.
*****
"Anna!"
Anna berdeham menjawab panggilan Ibunya.
"Kamu tidak kerja? Kok masih di dalam."
Huh!
"Anna izin tidak enak badan Bu."
"Jangan sakit biar kamu kerja lagi, Ibu pergi."
Anna melanjutkan tidurnya, ia malas melakukan aktivitas apapun.
Kring!
Kring!
Kring!
Dering ponsel Anna berbunyi amat nyaring, saat itu Anna masih berada di tempat tidur.
Tangan Anna berusaha meraih ponselnnya dan menjawab panggilan tersebut tanpa melihat siapa yang meneleponnya.
"Apa sih?"
["Kamu tahu ini pukul berapa?"]
Cepat-cepat Anna melihat siapa yang meneleponnya.
"Oh Pak Aksel, maaf Pak lagi pula saya kan sudah bilang mau mengundurkan diri, besok saya kasih suratnya."
["Kamu gila ya! Coba lihat berita yang beredar sekarang!"]
Anna melihat begitu banyak artikel yang menemukan dirinya dan Aksel berduaan, belum lagi skandal CEO nya dengan mantan pacarnya itu baru saja reda.
"HAH! Kok bisa gini sih Pak!"
["Sekarang semua keputusan ada di tanganmu, kalau ingin berita tersebut diubah menjadi yang baik maka kembali ke kantor!"]
"Enggak! Terima kasih!"
Tut! Panggilan tersebut terputus, baru kali ini Aksel diperlakukan dengan kasar oleh karyawan yang bahkan sekretarisnya sendiri.
"Kamu ngapain sih Aksel? Kok bisa?"
"Edric, saya sudah jelaskan ini kecelakaan!"
"Saya pusing mengurus skandalmu ini enggak ada habisnya, yang kemarin sama model saja baru kelar dan ini baru lagi. Kamu mau bunuh saya ya?"
Edric terus menggerutu karena tingkah Aksel yang selalu membuat masalah, bukan hanya itu dengan adanya berita seperti itu maka Edriclah yang harus membereskannya.
"Kalau berita dihapuskan bisa tidak?"
"Bagaimana bisa kamu sendiri yang mengakui semalam itu kalau kalian berpacaran."
[Seorang CEO ternama tengah memadu kasih di dalam mobil di malam hari]
Begitulah kalimat berita yang amat popular. Dengan adanya berita tersebut otomatis suasana di kantor ramai oleh wartawan yang ingin bertemu langsung Aksel.
"Jadi gimana?"
"Saya coba hubungi yang punya stasiun berita tersebut."
Beberapa saat Edric berbicara lewat telepon untuk bernegosiasi dengan pemilik stasiun berita tersebut.
"Aman?" tanya Aksel penasaran.
"Mereka akan ubah menjadi berita yang baik kalau kalian mau diwawancara secara ekslusif. Semua berita soal kalian bermalam berdua itu akan hilang."
"Enggak bisa pakai uang? Biasanya bisa kenapa sekarang enggak!"
"Enggak, kalau terus menerus semuanya ditutup pakai uang, sedangkan kasusmu bertambah terus menerus yang ada bangkrut Aksel!"
"Argh! Sialan!"
"Lagian kamu kenapa sampai ke kafe segala? Buat masalah baru saja! Sudahlah saya pusing."
Edric keluar dari ruangan Aksel dengan wajah yang kesal, ia masuk ke ruangan yang ada Danita.
"Pak Edric baik-baik saja?"
"Enggak! Kepala saya mau pecah rasanya."
"Aduh Pak, jangan Pak, ngeri banget."
Edric memijit-mijit dahinya "Kamu bisa bujuk Anna enggak Dan?"
"Wah kalau masalah mau resign biasanya agak susah Pak, dia orangnya juga keras kepala. Masih karena kasus yang beredar ya Pak?"
Edric menganggukkan kepalanya. Ia benar-benar pusing dibuat Aksel dengan segala permasalahannya.
*****
Tok tok!
"Apa?" jawab Anna malas, ia tahu yang mengetuk pintu tersebut Ayahnya.
"Minta uang, Ayah butuh saat ini di depan ada yang tagih hutang."
Anna mendengus kesal, belum ada satu hari pikirannya sudah dipusingkan uang dan uang. Ia mengambil tasnya dan mengambil lima lembar uang seratus ribu dan diberikan pada Ayahnya.
"Anna enggak ada uang lagi!"
Buk! Anna menutup pintu kamarnya dengan keras.
"Ini masih kurang! Besok Ayah minta lagi!"
Sengaja Anna tak memberikan jawaban apapun pada Ayahnya.
Sebenarnya Anna tentu memiliki uang dari gajinya bulan lalu, ia menghemat. Namun, orang tuanya selalu meminta uang terus menerus. Dengan berat hati ia memikirkan ulang untuk berhenti kerja dari perusahaan Aksel.
"Hallo Pak, apa saya mengganggu?" tanya Anna dalam panggilan teleponnya pada Aksel.
["Ada apa?"]
"Saya enggak jadi resign."
["Okay! Good! Beritanya akan aman dan muncul yang baik setelah ini."]
"Masa bodoh dengan beritanya, saya hanya butuh uang untuk hidup Pak."
["Teruslah bekerja dengan saya, dari pada kamu jadi jalang di jalanan."]
"Ya Pak, saya tutup."