"Gila manusia itu, enggak tahu apa di kantin menunya enak," gerutu Anna yang sibuk mengambil tasnya.
"Sabar ya, makan berdua saja sama Pak Aksel."
"Ogah! Aku enggak akan makan!"
"Nanti kamu pingsan malah dipecat loh."
"Argh! Bisa gila lama-lama."
"Anna!" pekik Aksel yang berjalan mendahuluinya.
"Iya Pak tunggu," jawab Anna yang berlari menyusul Aksel.
Danita hanya memandangi sahabatnya itu dan berlalu ke kantin.
Anna berjalan menuju mobil Aksel tepatnya menuju bangku tengah.
"Kamu ngapain duduk di situ?"
"Jadi di mana Pak?"
"Di depan! Kamu pikir saya supir kamu apa."
Anna berpindah dan duduk ke depan, di samping Aksel.
"Maaf Pak."
Tidak ada jawaban apapun dari Aksel. Sunyi sekali dalam perjalanan tersebut, sedangkan perut Anna mulai bernyanyi namun tidak ada tanda-tanda Aksel berhenti.
"Turun."
"Iya Pak," Anna menuruti apa yang dikatakan oleh Aksel dan mengikuti langkahnya dari belakang.
Ternyata saat itu mereka memasuki resto yang cukup mewah.
"Kamu belum makan kan?"
"Belum Pak."
"Pesan saja makanan sekarang."
Anna masih bengong karena perintah tersebut, ini adalah kali pertamanya pergi berdua dengan Aksel. Karena sebelumnya mereka bertiga dengan Edric atau hanya rapat di kantor saja.
"Kamu dengar saya bicara 'kan?"
"Iya baik Pak."
Dengan gugup akhirnya Anna memsan makanan begitupun dengan Aksel. Hingga makanan itu tiba, Aksel langsung saja menyantapnya sedangkan Anna masih memandangi makanan yang ia pesan.
"Cepat makan, nanti kamu mati di sini nyusahin!"
"Ini benerapan Pak?"
"Memang saya pernah bercanda?"
"Baik Pak."
Anna segera melahap makanan tersebut hingga habis, setelahnya mereka melanjutkan perjalanan kembali dan sampailah pada satu tempat yang sepertinya itu perusahaan yang cukup besar juga.
Langkah Aksel diikuti perlahan oleh Anna. Beberapa pasang mata memandangi mereka. Entah karena apa tetapi banyak yang seolah menggoda Aksel.
"Kamu cukup menuruti apa yang saya katakana saja, jangan menanggapi ucapan siapapun di dalam nanti."
"Iya Pak."
"Jangan iya-iya saja, tapi ingat!"
"Baik Pak, saya akan ingat itu."
Tiba saatnya mereka memasuki ruangan rapat yang cukup luas dan mewah namun tetap saja perusahaan Aksel yang paling mewah dan amat luas dari segi apapun.
"Wah tumben sekarang sekretaris kamu bawa biasanya sama Edric," ucap laki-laki yang berjabat tangan pada Aksel.
"Edric sedang ada kerjaan, terpaksa saya bawa dia."
"Bagus, sering-sering saja, biar segar penglihatan rapat di sini."
Anna rupanya sedikit tidak nyaman dengan ucapan laki-laki tersebut dan juga beberapa petinggi perusahaan memandanginya tidak seperti biasa.
Rapat tersebut berjalan sempurna dan tidak terlalu menegangkan seperti yang Danita katakan.
Usai rapat tersebut siap. Semuanya berfoto bersama, entah selalu seperti demikian atau karena kali ini ada Anna yang Aksel bawa.
Saat berfoto bersama tampaknya ada tangan laki-laki yang merangkul bahu milik Anna. Jelas itu membuat tak nyaman bagi Anna. Namun, ia berusaha menahannya. Tetapi, semakin ia menahannya semakin tidak nyaman pula apalagi sampai foto tersebut di unggah ke media.
"Pak lihat tangan di pundak saya," bisik Anna yang memberanikan dirinya pada Aksel.
Mengetahui hal itu Aksel melihat pada pundak Anna dan benar saja di sana ada tangan nakal yang masih bersandar. Setelahnya, posisi mereka diubah. Mereka bertukar posisi.
Anna masih merasa beruntung karena perlakuan Aksel sedikit membantunya. Setelah sesi dokumentasi usai mereka kembali pada kantornya masing-masing.
Perjalanan menuju tempat rapat kali ini cukup jauh hingga memakan waktu 3 jam lamanya itu pun jika jalanan lancar.
"Makasih ya Pak," ucap Anna saat masuk kembali ke mobil.
"Untuk?"
"Itu yang tadi."
"Itu biasa terjadi karena mereka haus."
"Haus?" Anna mengernyit.
"Bukan haus minum, tapi haus belaian."
"Astaga!" Anna terkejut mendengar ucapan tanpa filter dari Aksel.
"Biasa saja enggak usah kaget, itu enggak seberapa. Makanya kamu jangan macam-macam dengan petinggi perusahaan."
Seketika otak Anna tidak bisa berpikir jenih. Apalagi, kali ini mereka hanya berdua dan akan melakukan perjalan pulang yang tidak sebentar.
"Kamu takut?"
"E—nggak kok pak."
"Saya enggak akan ngapa-ngapain kamu kalau enggak lagi bosan."
"Maksud Bapak?"
"Lupakan saja, hanya omong kosong."
Semua perkataan yang keluar dari mulut Aksel membuat pikiran Anna semakin tidak tenang. Rasanya ingin cepat sampai rumah atau jika ia bisa lebih baik pulang dengan angkutan umum saja.
"Setelah ini saya mau ke satu tempat lagi."
"Ke mana pak? Sama saya juga?"
"Iya, tapi kamu di mobil saja."
"Baik Pak."
Semula Anna masih cukup tenang namun ketika Aksel memarkirkan mobil pada satu tempat, Anna semakin tidak karuan.
"Kamu di sini saja, jangan ke mana-mana."
"Pak, ini tempat apa?"
"Tempat bermain."
"Hah?" lagi dan lagi Anna dibuat berpikir keras oleh Aksel.
Tempat tersebut memang terlihat sebagai tempat hiburan. Namun, Anna juga tidak tahu mengapa Aksel mampir ke tempat tersebut. Saat itu Anna hanya memainkan ponsel saja seraya jantungnya tak karuan berdebar.
Karena hari semakin gelap dan Anna belum pulang maka ia menghubungi Ibunya. Walau bagaimanapun itu tetaplah Ibunya yang harus dihormati.
[Bu, Anna pulang terlambat ada meeting jauh dari kantor.] Begitulah pesan yang Anna kirimkan pada Ibunya.
Setelah 1 jam kemudian, Aksel keluar dari tempat tersebut dan membawa 2 cup minuman berukuran sedang.
Aksel masuk ke mobil dan memberikan 1 cup berisi kopi pada Anna.
"Untuk saya Pak?"
"Iya, enggak mungkin untuk hantu."
"Ini aman kan Pak?" Anna takut ada sesuatu dalam kopi tersebut.
"Aman, memang kamu kira saya ngapain di sana."
"E—nggak kok Pak."
Anna tampaknya masih ragu dengan kopi tersebut.
"Saya tidak kasih kamu racun, di sana itu ada klien."
Akhirnya Anna mengangguk-anggukkan kepalanya dan mulai meminum kopi tersebut.
Perjalanan pulang dimulai, cukup membosankan karena tidak ada pembicaraan apapun. Sekitar 1 jam lagi akan sampai tiba-tiba Aksel menghentikan mobilnya dan kepalanya ia tarus tepat di atas stir mobil.
"Pak, Bapak kenapa?"
"Sialan!" umpat Aksel seraya mengepalkan jarinya.
Anna masih kebingungan dengan kondisi tersebut, ia memberanikan menyentuh pundak Aksel karena tampaknya ia tidak baik-baik saja.
"Bapak baik-baik saja?"
"Kepala saya pusing."
"Ya sudah saya saja yang menyetir pak."
"Badan saya panas. Enggak bisa tahan di sini."
"Hah? Maksud bapak apa?"
"Berengsek! Orang itu memasukannya!"
Anna mengernyit, semakin tak tahu apa yang terjadi pada Aksel.
Deg!
Bak serangan secepat kilat oleh Aksel, tiba-tiba saja bibirnya mendarat kasar pada bibir suci merah muda milik Anna.
"Pak Aksel! Bapak ngapain sih!"
Bentak Anna di tengah ia dilahap buas oleh Aksel. Sebisa mungkin Anna berteriak dan mengelak dari Aksel. Namun, tempat itu sepi dan jelas secara fisik Anna kalah pada Aksel.
"Anna, ini bukan kemauan saya."
"Pak tolong jangan Pak," Anna memohon dengan menangis.
"Saya enggak bisa tahan ini Anna! Kamu dengar kan!"