Te Ressa terdiam merasakan pipinya yang terasa panas bekas tamparan Gi Selle yang begitu kuat hingga menyebabkan ujung bibirnya sedikit berdarah. Ia duduk di balkon kamar Ben Eddic. Te Ressa mengangkat kedua kakinya dan merengkuhnya. Ia menempelkan dagunya di atas lututnya. Ia bahkan tak peduli dengan rasa dingin yang melanda dirinya dan angin yang menerpa rambut hitamnya.
'Diam kau nenek tua!! Dia pantas mendapatkannya!! Karena dia aku ditampar oleh Tuan Ben Eddic! Sialan kau, Te Ressa!!!'
Memorynya terus mengulang apa yang dikatakan Gi Selle ketika Gi Selle menamparnya. Kini ia menghela napasnya dan terkadang menyembunyikan wajahnya di atas kedua kakinya. Te Ressa lelah. Ia merasa sangat lelah kali ini.
Apakah cinta itu buruk?
Apa cinta itu selalu menyakitkan jika kita menyukai seseorang?
Ya itu yang ada di dalam pikirannya. Pikirannya kalut akan sosok Ben Eddic yang memilihnya untuk menjadi kekasihnya. Tapi ia juga tak bisa menolak karena ia pun juga menyukai Boss kaya raya pemilik perusahaan Klein Corp.
Entah ke berapa kalinya ia menghela napasnya, sebelum sebuah selimut menutupi badannya. Tubuhnya bergidik dan sontak kaget ketika dua buah tangan merengkuhnya dari belakang.
"Shh shh calm, Baby. It's me, Ben Eddic."
Te Ressa menoleh dan mendapati Ben Eddic tengah tersenyum menatapnya. "Oh? K ... Kak? Kau sudah pulang?"
Ben Eddic masih tersenyum dan mengecup tengkuk leher Te Ressa. Ben Eddic mengeratkan rengkuhannya dan menaruh kepalanya pada bahu Te Ressa. "I miss you, Baby."
"Hmm, aku juga merindukanmu, Kak. Bagaimana dengan harimu?" tanya Te Ressa sambil mengelus lengan kekar Ben Eddic yang masih merengkuh tubuhnya.
"Hariku tidak terlalu buruk. Tapi aku bosan jika tidak melihat selama 24 jam. Bisakah kau ikut denganku ke kantor? Aku ingin melihatmu selama aku bekerja," sahut Ben Eddic mengadu pada Te Ressa dan kini ia mengecup bahu Te Ressa. Te Ressa tersenyum namun ia harus menahan rasa sakit di pipinya. "Bagaimana denganmu, Kittyong?"
"Kak ...."
"Hm?"
"Aku ingin bertanya padamu, Kak," ujar Te Ressa yang sudah cukup banyak kali mempertimbangkan 'hal' yang sedari tadi menganggu pikirannya.
"Tanyakan apa pun itu, Baby. Aku akan mendengar dan menjawabnya!" jawab Ben Eddic mantap.
"Hm, eum ... apa kau tadi pagi menampar Senior Gi Selle, Kak?" dengan takut-takut suara itu akhirnya keluar. Ingin sekali Te Ressa menarik kembali kata-katanya saat melihat raut Ben Eddic yang gelap.
Ben Eddic seketika terdiam. Ia bahkan merenggangkan rengkuhan Te Ressa, membawa Te Ressa untuk duduk menghadap padanya. Senyum Ben Eddic pudar. Ia kemudian berdiri, menarik tangan Te Ressa untuk masuk ke dalam kamar.
Ben Eddic berdiri menghadap Te Ressa, merengkuh salah satu pipi Te Ressa. Ben Eddic murka.
Ia melihat luka kecil pada ujung bibir Te Ressa. Pipinya sedikit terlihat merah. Ben Eddic mengelus pipi Te Ressa bekas tamparan Gi Selle, namun Te Ressa meringis, tanda bahwa ia kesakitan.
"Siapa yang melakukan ini, Te Ressa? SIAPAAA???!!!" Ben Eddic meninggikan suaranya.
"Kak, kau belum menjawab pertanyaanku," ucap Te Ressa mengalihkan topik ke awal pembicaraan. Sebenarnya ia sudah terlihat ketakutan ketika suara low bass Ben Eddic meninggi.
"Iya! Aku menampar Gi Selle tadi pagi!" Kini Ben Eddic menjawab tanpa beban sama sekali. Bahkan itu terdengar hanyalah ucapan remeh yang sangat tidak penting. "Lalu Kenapa?" Ben Eddic mengembalikan pertanyaan pada Te Ressa.
"Kenapa kau menamparnya?"
"Karena dia berusaha merendahkanmu di hadapanku. Dan aku tidak suka. Kau tidak pantas untuk direndahkan!" Lagi! Ben Eddic menjawab tanpa beban. Lalu menatap Te Ressa serius saat melanjutkan ucapannya, "Sudahi itu. Dan sekarang jawab pertanyaanku! Siapa yang menamparmu?! Siapa yang menyakitimu?!" tanya Ben Eddic berbondong-bondong dengan nada suaranya yang semakin meninggi.
"Eum ....." Te Ressa takut untuk menjawabnya. Tatapan Ben Eddic begitu mengintimidasinya. Bahkan Ben Eddic tak mengalihkan pandangannya sama sekali dari Te Ressa.
"Jawab Te Ressa Klein. Atau aku akan memecat 'semua' asisten rumah tangga di sini!"
"J-jangan, Kak jangan," ucap Te Ressa mencegah tindakan nekad Ben Eddic untuk memecat semua asisten rumah tangganya.
"Aku masih menunggu Te Ressa Klein!"
"Gi Selle, Kak, Senior Gi Selle yang menamparku. Tapi, Kak jangan memecat semua asisten rumah tangga," ucap Te Ressa memelas. Setelah mendengar nama itu, Ben Eddic mengepalkan tangannya. Ia murka dan geram kali ini.
"Te Ressa Klein, aku peringatkan kau untuk tidak keluar dari kamar ini sebelum aku kembali. Kau paham? Kau dilarang untuk keluar dari kamarku," ucap Ben Eddic yang kemudian mengambil langkah besar keluar dari kamarnya. Ben Eddic bahkan membanting pintu kamarnya, hingga membuat Te Ressa ketakutan.
"Semoga jantungku sehat-sehat saja setelah ini." Te Ressa membatin dan kemudian beranjak menaiki kasurnya.
***
Ben Eddic mengambil langkah besar, menuruni tangga dan berjalan mencari sosok bernama Gi Selle. Namun ia tak menemukannya di manapun bahkan Ben Eddic sudah mengetuk pintu kamar Gi Selle berkali-kali namun hasilnya nihil. Napas Ben Eddic tak beraturan bahkan dadanya terlihat naik turun.
"Kau mencari siapa Boss besar Ben Eddic?"
Ben Eddic menoleh namun ia malah mendapati Nyonya Klein yang kini bahkan hanya memakai lingerie hitam transparan. Namun Ben Eddic memutar kedua bola matanya.
"HELL MANN!!!! Coba saja Kittyong yang memakai lingerie itu, aku lebih bernapsu dan bergairah padanya." Ben Eddic mengumpat ketika melihat Je Ssica Klein terus mengigiti bibirnya menggoda dan mendekati Ben Eddic.
"Siapa yang kau cari malam-malam begini, Ben?" tanya Je Ssica seduktif.
"Bukan urusanmu, Bad Cunt! Menjauh dariku atau aku membunuhmu," ucap Ben Eddic datar namun tatapan begitu mengintimidasi. Namun bagi Je Ssica itu menarik.
Je Ssica mendekati Ben Eddic, memainkan jari jemarinya di dada bidang Ben Eddic. Sebelum jauh, Ben Eddic mencengkeram kuat pergelangan tangan Je Ssica.
"Aku bilang menjauh dariku, Sundal! What the hell are you? Berani sekali kau menyentuhku?! Lebih baik kau isap saja burung elang tak bersayap ayahku!" ucap Ben Eddic sarkas yang kemudian menghempaskan tangan Je Ssica. Dan melangkah melewati Je Ssica.
"Tapi aku lebih suka ukuran burung elang tak bersayapmu, Ben! Aku ingin kau memasukiku! Apa kau lupa kalau aku lah yang mengajarimu dominant sadisme, huh?!"
Ben Eddic menoleh dan mengumbar smirk. Namun senyum smirk itu seperti tanda meremehkan. "Kau suka dengan burung elang tak bersayapku, huh?! Kau ingin aku menampar bokongmu? Menjepit bunga putihmu, atau mencambuk punggungmu?"
"Iya, Ben, aku mau semuanya! Aku tidak peduli jika apa yang kita lakukan ketahuan oleh Jo Nathan!" ucap Je Ssica gigih.