Gi Selle meringis kesakitan. Ia meremas tali yang mengikat kedua tangannya. Kepalanya mendongak menahan rasa sakit namun juga nikmat ketika jari jemari Ben Eddic mulai masuk ke dalam mahkota bawahnya secara paksa tanpa pelumas apa pun. 3 jari Ben Eddic yang masuk ke dalam mahkota bawahnya bahkan telat menyentuh titik kenikmatan Gi Selle. Namun Ben Eddic tak hanya tinggal diam. Tangannya yang lain terus mencambuk perut Gi Selle.
"~ Mmhh ...."
Tubuh Gi Selle bergetar nikmat ketika Ben Eddic mulai memompa jarinya di dalam mahkota bawah Gi Selle.
"Mmhh ~ aku ingin mhh keluarr ...." Seketika itu Ben Eddic segera menarik paksa jari-jarinya dari mahkota bawah Gi Selle, membuatnya menangis frustasi dan kecewa. Ia gagal klimaks. Tubuh Gi Selle terus bergulat, ia merasakan kerutan lubang bokongnya berkedut menyempit ketika ia gagal klimaks.
Benar kata Ben Eddic. Ia memberikan kenikmatan namun ia tidak mengizinkan Gi Selle untuk klimaks. Itu akan membuatnya kecewa dan menginginkan lebih agar ia mencapai klimaks.
"Mmhhh lagii .... lagiii .... lagiii," ucap Gi Selle kecewa dengan perlakuan Ben Eddic yang tidak mengizinkannya untuk klimaks.
"Lagi?" Ben Eddic melayangkan cambuknya ke arah mahkota bawah Gi Selle. Ben Eddic saat ini berpikiran psycho. Ia mengangkat gunting yang tadi ia ambil.
"Mmh~!!, Ben? Ben? Apa yang ingin kau lakukan???!!!!!"
Ben Eddic mengangkat jari telunjuknya menempelkan pada bibirnya, tanda untuk Gi Selle untuk tetap diam.
Ben Eddic mengarahkan pandangannya pada mahkota bawah Gi Selle yang kini sangatlah merah. Terlihat ada cairan di sana. Ia tidak peduli. Ben Eddic mengulurkan tangannya, membuka lebar mahkota bawahnya hingga terlihat klitik Gi Selle. Ben Eddic mengukir smirk. Ia mendekati gunting tajam itu dan ....
"BEN?!!! APA YANG KAU LAKUKAN????!!!!!"
"Diam, Sialan!!!" ucap Ben Eddic kesal. Tanpa ada rasa ragu-ragu. Ia menggunting bagian tengah klitik Gi Selle.
"BEN!!! KAU SIALAANNNN!!!! SAKIT!!!!!" Gi Selle berteriak sebisa mungkin. Jangan lupa Red Room Ben Eddic kedap suara.
"Sakit? Sakit? Itu juga yang dirasakan Te Ressa, Sundal!!! Kau melukai Te Ressa Klein-ku!!" ucap Ben Eddic yang amarahnya belum kunjung reda. Ia menggunting bibir mahkota bawah Gi Selle dan membiarkannya berteriak dan menangis kesakitan.
Ben Eddic melihat darah yang keluar dari mahkota bawah Gi Selle. Ia mengambil darah itu dan melumuri tubuh Gi Selle dengan darah itu. Ben Eddic tak peduli berapa kali Gi Selle mengutukinya dan berapa kali Gi Selle memohon padanya untuk menghentikan semua aksi psycho Ben Eddic.
"Katakan padaku, tangan mana yang kau gunakan untuk menampar Te Ressa tadi, huh?!" ucap Ben Eddic yang sedikit memainkan dada Gi Selle yang di mana masih terpasang penjepit bunga putih.
"Mmh ~ Ben kumohon hentikan semua ini," ucap Gi Selle pasrah.
"Aku tanya tangan yang mana, Stupid Gi Selle. Jangan memohon dengan menjijikan seperti itu!"
"S ... Sebelah kanan!" jawab Gi Selle.
Tanpa ragu, Ben Eddic segera memegang tangan kanan Gi Selle, melebarkan jari-jemarinya dan pada akhirnya ia memegang jari tengah Gi Selle.
"Berjanjilah kau tidak akan pernah menyentuh Te Ressa!!" Ben Eddic hanya mendapat anggukan dan tanpa perintah apa pun, Ben Eddic menggunting paksa jari tengah Gi Selle.
"HELL YOUR BEN EDDICH!!!! SHIT!!!!! SHIT SHIT!!!!!" Gi Selle berteriak kesakitan dan menangis menahan rasa sakit ketika Ben Eddic tanpa rasa bersalah menggunting paksa jari tengahnya. Darah pun membanjiri tangan dan kasur merah Ben Eddic.
"Ini akibat kau menyentuh bahkan menampar Te Ressa. Aku bisa menghancurkan tubuhmu di sini jika kau menyentuhnya lagi!" ucap Ben Eddic yang kini menunjukkan jari tengah Gi Selle di hadapannya. "HELL WITH YOURSELF, GI SELLE," sambung Ben Eddic yang kini menaruh jari tengahnya di dalam mulut Gi Selle. Setelahnya Gi Selle memuntahkan jarinya sendiri dan tak percaya apa yang Ben Eddic lakukan padanya.
Ben Eddic pun kembali mencambuk Gi Selle dengan ikat pinggang kulit hingga lecet dan memar di beberapa bagian tubuhnya. Gi Selle lelah dengan semua perlakukan Ben Eddic, hingga ia tak ada tenaga walau pun hanya untuk desauan kecil. Setelah puas, Ben Eddic pun melepaskan ikatan tali Gi Selle, dan kembali menyeretnya hingga ke kamar Gi Selle.
Ben Eddic menghempaskan tubuh Gi Selle di lantai kamarnya. Ia menjambak rambut dan sebelum ia pergi dari kamar Gi Selle. "Ini peringatan pertama, Gi Selle. Jika kau menyentuhnya sekecil apa pun, aku jamin kau akan lebih mengenaskan dari pada ini," ucap Ben Eddic yang kemudian melenggang pergi meninggalkan Gi Selle yang masih merasa kesakitan dengan keadaan tubuhnya yang tak sehelai benang bulat.
***
Ben Eddic berusaha mengatur napasnya yang memburu akibat perlakuan sadisnya pada Gi Selle. Setelah tenang, ia pun membuka knop pintu kamarnya, dan mendapati Te Ressa sudah terlelap.
Ben Eddic mengukir senyum dan mendekati Te Ressa. Ia bahkan tak peduli jika ia sedang tak memakai atasan hingga mengekspos dada bidang yang menggodanya itu juga berkeringat. Ben Eddic naik ke kasur dan mengambil posisi di samping Te Ressa. Ben Eddic mengangkat tubuh Te Ressa, agar tidur di atas tubuhnya. Namun pergerakan Ben Eddic membuat tuan putrinya terbangun.
"Hey hey, Baby? Kau terbangun?" tanya Ben Eddic yang merasa bersalah ketika Te Ressa terbangun. Ia menganggu kesayangannya. Ia mengusap kepala Te Ressa dan mengecup puncak kepalanya.
"Mm? K ... Kakak dari mana? Aku menunggu lama sekali," ucap Te Ressa mengosok matanya dan menguap.
"Maaf sayang, aku ada urusan yang harus aku kerjakan."
"Malam-malam begini? Dan kenapa badanmu berkeringat, Kak? Kau habis berolahraga?" tanya Te Ressa yang kaget dengan tubuh Ben Eddic yang berkeringat namun terlihat seksi.
Ben Eddic mengangguk mengiyakan pertanyaan Te Ressa. Te Ressa tidak boleh tahu jika ia habis menghajar Gi Selle. "Tidurlah lagi. Maaf aku sudah menganggu tidurmu."
"Tapi aku mau tidurnya denganmu, Kak," ucap Te Ressa yang malu-malu menyembunyikan wajahnya di dada Ben Eddic. Entah ke mana emosi Ben Eddic, tapi kini ia mengumbar senyum melihat tingkah Te Ressa.
"Iya Baby, aku juga akan tidur denganmu," sahutnya yang kemudian merengkuh Te Ressa dan menepuk pelan punggung Te Ressa hingga dengkuran halus terdengar tanda bahwa Te Ressa telah kembali ke alam mimpinya. Namun tidak dengan Ben Eddic. ia masih terjaga.
"Ini baru permulaan. Siapa pun yang menyentuh Te Ressa apalagi hanya melihatnya tanpa seizinku akan berakibat fatal. Tunggu permainanku selanjutnya."