"Shayna gimana? Dia marah-marah?" Kakek Dome menghubungi Sagara di malam harinya. Dia menanyakan tentang reaksi Shayna saat Herlina datang. Dia menduga Shayna pasti akan mengamuk.
Tetapi, yang di dengarnya ternyata salah besar. Shayna tidak marah sedikitpun.
"Enggak, Kek. Dia biasa aja. Bahkan langsung terbang ke New York tadi." Jawab Sagara, pria yang kini tengah sibuk dengan segelas whisky nya.
Mendengar jawaban yang tidak memuaskan, Kakek Dome mendumel kesal. "Jadi Shayna gak marahin kamu?"
"Enggak. Shayna mana bisa marahin Saga?" Suara dentuman musik terdengar begitu kencang. Karenanya, Sagara menggunakan volume paling tinggi agar bisa mendengar suara sang kakek.
Kepergian Shayna ke New York bukannya membuat Sagara sadar bahwa istrinya bekerja begitu keras, justru membuat Sagara semakin terlena dengan yang namanya 'menjadi beban istri' dia pergi ke club malam, menyewa seorang pelacur, dan membeli banyak pakaian, serta game tidak jelas.
Semua itu tentu bukan menggunakan uangnya sendiri. Dia menggunakan uang yang Shayna tinggalkan untuknya. Uang yang seharusnya habis dalam waktu enam hari hari, nyatanya habis dalam semalam.
Sagara mana peduli dia besok makan apa? Di pikirannya, dia tinggal meminta uang lagi pada Shayna, dan Shayna akan mengirimkan dia uang.
Sesederhana itu. Lagipula, kalaupun Shayna tidak mau mengirimkannya uang, Sagara tinggal berhutang. Setelah itu, Shayna yang akan melunasi hutang-hutangnya. Sederhana bukan?
Sederhana bagi dia, berat bagi Shayna.
"Bukan gak bisa, tapi karena kamu cucu kakek! Shayna sejak dulu gitu. Dia segan marahin kamu karena dia sadar kalau dia hutang budi sama keluarga kita." Ucap sang kakek.
Sagara manggut-manggut tidak peduli. Lagipula apa pedulinya dengan yang kakeknya ucapkan? Memang begitu jalan hidup Shayna. Sagara tidak bisa memprotes pada Allah atas jalan hidup Shayna yang begitu berat. Dosa!
"Kakek gak mau ngomong apapun lagi 'kan? Saga sibuk soalnya." Sagara yang tidak tahu harus membahas apa dengan kakeknya mulai berniat untuk memutus panggilan secara sepihak.
"Halah! Sibuk apa kamu?! Hidup kamu ya dosa taubat dosa taubat, gitu mulu dari dulu. Kamu habis sholat jum'at aja sempet ke club dan berbuat zina. Sibuk dimana nya?" Sang kakek mulai menyindir Sagara, mengungkit hidup Sagara yang tidak benar.
Sagara sadar dirinya tidak benar. Dia sadar dia berbuat dosa. Namun bagaimana lagi? Dia tergoda oleh setan. Mungkin, suatu hari dia bisa bertaubat yang sungguhan. Bukan tobat palsu seperti ini. Lagipula, diam-diam Sagara sering berusaha berhenti dari kebiasaan buruknya ini.
"Masalah dosa sama pahala Saga gak perlu kakek atur juga. Mending kakek banyak-banyak sholat, udah bau tanah gitu harus cepetan tobat."
Sangat tampaknya ingin menguji kesabaran kakeknya. Di cucu kurang ajarnya itu seenaknya saja bawa-bawa kematian. "Heh! Kurang ajar kam—"
Tuttt
Tuttt
Panggilan itu terhenti secara sepihak. Sagara yang memutusnya. Lagipula dia tau apa yang kakeknya ingin katakan. Apalagi jika bukan mengungkit masalah betapa besarnya jasa Kakek Dome dalam hidup Sagara? Betapa besarnya pengorbanan dia dalam membesarkan Sagara? Ya… sesuatu yang sedikit memuakkan untuk Sagara dengar karena tanpa diberitahu berkali-kali, dia sudah mengerti.
***
***
Sinar mentari New York yang sedang cerah-cerahnya. Musim panas di luar sana terasa membakar. Meski belum puncak, namun sudah cukup mengganggu tidur Shayna yang lupa mengatur suhu AC nya.
Dia terbangun saat jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Yang mana artinya, masih ada sekitar tiga sampai empat jam untuk pertemuan bisnisnya.
Sesaat manik amber nya terbuka lebar, Shayna langsung meraih ponselnya yang tak jauh-jauh dari dia. Gadis itu bagai anak remaja yang sulit lepas dari handphone. Namun, sebenarnya Shayna memiliki alasan tersendiri mengapa ponsel harus selalu ada di dekatnya.
Yaitu, masalah kerjaannya yang tak akan habis. Jadi, Shayna harus stand by selalu.
Jam sembilan pagi artinya adalah jam sepuluh malam di Indonesia. Shayna yang merasa bahwa Sagara belum tidur jam segitu mulai menghubungi sang suami.
Tidak tanggung-tanggung, Shayna menghubunginya menggunakan panggilan video.
Nyatanya, tidak butuh waktu lebih dari lima menit sampai panggilan video itu diterima Sagara.
"Mas, Herlina gimana?!" Tanya Shayna.
Di seberang sana, Sagara masih belum bisa mencerna pertanyaan Shayna. Karena dia sedang tidur setelah mabuk! Walaupun di satu sisi dia harus berterima kasih pada Shayna karena gadis itu membangunkannya di saat Sagara belum menjalankan sholat isya.
"Bentar, masih pusing…" Sagara membuka mata, memegangi pelipisnya yang berdenyut tak tentu. Dia bisa melihat wajah bangun tidur Shayna dari layar ponselnya.
Oke, sejak kapan Shayna cantik di pagi hari? Dan sejak kapan wajah Shayna sesehat itu?
"Lo mabuk?" Shayna memicing tak suka.
Sagara menggeleng, tengkurap. "Enggak! Eh, dikit!"
Shayna yang kesal akhirnya mendengus. "Lacur satu itu aja belum lo urusin, udah ke yang lain! Minimal kalau mau mabuk, urusin dulu masalah lo, Mas Saga…" Shayna gemas. Ingin memelintir kepala Sagara namun tak bisa.
"Ihhh! Tau lah! Gemes gue sama lo!"
"Ih, bentar Ay! Gue masih pusing. Lagian masalah Herlina 'kan masalah lo, bukan masalah gue!" Sagara sibuk mengucek matanya dengan begitu santai. Amarah Shayna sepertinya sia-sia.
Mendengar ucapan Sagara, Shayna semakin marah. "Bagus… masalah gue? Yang menghamili dia lo. Dan kalau sampai beneran terbukti itu anak lo… gue gak segan-segan suruh Herlina aborsi."