Mira sakit hati. Di hadapan Laksmana, Tante Mae telah menjatuhkan wibawanya sebagai ketua geng. Wajah gadis itu tercoreng. Tanpa menoleh lagi, sang ketua geng pergi meninggalkan halaman rumah megah bercat biru cerah itu. Namun baru beberapa langkah, dia membalik arah, kembali ke halaman itu dan mendekati Laksmana.
"Heh! Mau ngapain lagi kamu? Angkat kaki dari halaman rumahku!" pekik Tante Mae.
Mira menatap wajah Laksmana lekat-lekat. Kemudian menoleh ke arah wanita cantik tapi garang, yang melotot ke arahnya. Setelah menarik napas dalam-dalam, ketua geng itu berucap dengan suara pelan.
"Maaf, Tante. Hatiku tertinggal di sini. Kalau boleh, aku mau ambil dulu sebelum angkat kaki dari halaman Tante yang luas ini." Mira lantas mengalihkan pandangan pada Laksmana. Keduanya saling menatap, diam.
Tante Mae murka. Ditariknya telinga Mira, lagi.
"Dasar bocah nakal! Pergi!" seru wanita itu, membuat Mira segera mengambil langkah seribu.
Laksmana tak tahan menahan tawa. Pemuda itu tergelak. Tapi tawanya langsung terhenti saat Tante Mae berdeham. Pemuda itu pun bergegas masuk ke rumah sebelum wanita cantik berusia empat puluh lima tahun itu semakin marah.
***
Purnama malam itu memancarkan sinar yang temaram. Di bawah pohon kersem yang tumbuh di samping rumah, Mira duduk termenung. Banyak hal yang ada di pikirannya. Terutama bayang-bayang wajah Laksmana. Tatapannya menerawang jauh ... ke arah bulan yang sedang bulat-bulatnya.
Santi dan Tika saling pandang. Mereka hanya bisa menatap heran. Tingkah sang ketua geng yang mendadak aneh membuat dua anggota Geng Mirasantika penasaran.
Santi, anggota geng yang bertampang cool memberanikan diri untuk bertanya.
"Mir, elu kenapa? Dari tadi bengong aja." Hening. Mira bergeming dan tetap memandangi sang rembulan.
Santi memandang Tika penuh tanya. Yang dipandang hanya mengangkat bahu, tak tahu apa yang terjadi pada sang ketua.
"Udah, kalian pulang aja. Gue mau sendiri di sini, menatap purnama yang baru gue sadari, ternyata begitu ... indah," kata Mira, lirih.
Santi dan Tika terkejut dengan apa yang baru saja mereka dengar, tak percaya kalau Mira yang telah mengucapkan kalimat itu.
"Sejak kapan dia bucin gitu?" bisik Santi pada Tika.
Tika hanya bisa mengedikkan bahu, tak tahu.
"Iya. Tumben dia nggak galak, ya? Suaranya lembut gitu kek bubur sumsum," timpal Tika.
Merasa tak dipedulikan, Santi dan Tika lantas pergi, meninggalkan sang ketua sendiri di malam yang sepi.
Mira menghela napas panjang. Bayang-bayang wajah Laksmana terus menari-nari di pelupuk mata.
"Duh, Mas Laksmana, apa nggak capek mondar-mandir terus di pikiranku?" keluh Mira.
Gadis itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Bagaimana tidak? Laksmana begitu tampan. Tubuhnya tinggi, tegap, dengan kulit putih bersih. Wajahnya mulus tanpa cela, tak berjerawat seperti kebanyakan pemuda di kampungnya. Hidungnya mancung, alisnya tebal menghiasi matanya yang tajam bak mata elang. Sosok sempurna di mata Mira.
"Ah, calon imam impian," katanya sembari terus menatap rembulan.
Prang!
Suara benda pecah dari dalam rumah membuyarkan angan-angan Mira. Dia tahu betul siapa yang membuat keributan.
'Hhh ... pasti Emak sama Bapak berantem lagi,' keluhnya.
Gadis itu kembali menatap purnama, membayangkan hal yang indah-indah dan mencoba tak peduli dengan yang terjadi pada orang tuanya.
Braaak!
Suara pintu dibanting membuat gadis yang sedang kasmaran itu terlonjak. Dia menoleh, dan mendapati sang ibu tengah menarik-narik lengan bapaknya, berusaha menahan agar lelaki yang jarang pulang itu tak meninggalkan rumah.
Mira sudah bosan menyaksikan pemandangan itu. Rumah yang seharusnya adalah surga, sebaliknya dia rasakan bagai neraka. Tak pernah ada kedamaian setiap kali Kasto, bapaknya, ada di rumah.
'Dasar Bapak! Pulang cuma bikin ribut. Mending nggak usah pulang aja. Huh!' gerutu Mira.
Gadis itu menatap nanar kedua orang tuanya yang masih bertengkar. Dari bawah pohon kersem, dia menyaksikan bapaknya melontarkan sumpah serapah. Hatinya berdenyut, nyeri. Dia bertanya-tanya, sampai kapan kedua orang tuanya akan terus bertengkar. Kapan rumahnya damai dan bisa menjadi seperti pepatah 'rumahku surgaku'?
Mira mendekati ibunya yang tergugu di depan pintu. Kasto pergi. Seperti biasanya, lelaki itu pulang hanya untuk merampas uang tabungan ibunya, lalu pergi begitu saja dan berhari-hari tak kembali.
"Mak ... ayo masuk, udah malem." Mira merengkuh bahu ibunya, dan membimbingnya masuk ke kamar.
Ibu Mira terus menangis. Dia hanya pasrah saat tubuhnya dibaringkan di atas ranjang oleh anak gadisnya.
Mira menutupi tubuh sang ibu dengan selimut, lalu mematikan lampu. Ditinggalkannya wanita itu agar bisa beristirahat.
'Emak pasti capek abis berantem tadi,' batin Mira, mengira-ngira. Dia lalu menuju kamarnya yang terletak di bagian belakang, berhadapan dengan kamar kosong yang digunakan sebagai gudang.
Dihempaskan tubuhnya di atas kasur. Dia tak segera tidur. Pikirannya mengembara, membayangkan kembali pemuda tampan yang telah mencuri hatinya.
'Mas Laksmana ... kamu ganteng banget. Makannya apa, sih? Kira-kira, gue bisa dapetin kamu nggak, ya?'
Malam itu, hanya Laksmana yang bercokol dalam pikiran Mira. Gadis itu terus membayangkan wajah sang pemuda. Sebelum terlelap, dia berbisik pada malam.
"Duhai penguasa malam ... tolong sampaikan padanya, aku tunggu dia di alam mimpi. Di pengkolan yang ada tukang baksonya, yaa. Biar pas nunggu, aku nggak kelaparan."
Ah, cinta ... benar kiranya pepatah yang menyebutkan, bahwa cinta bisa membuat orang menjadi gila.
***
Mira berdiri di tepi dermaga. Dia mengenakan gaun hijau tanpa lengan dengan panjang sebatas lutut. Rambutnya digelung, dan disematkan jepit rambut perak bermotif bunga.
Jemari lentiknya menggenggam setangkai mawar putih. Gadis itu sedang menanti seseorang. Pemuda tampan idaman yang membuat dia lupa daratan.
"Mira ...." Seseorang memanggil namanya.
'Itu suara Mas Laksmana!' Mira melonjak, senang.
Perlahan, Mira mengalihkan pandangan. Senyumnya merekah indah bak kelopak mawar, bersiap menyambut kedatangan sang pujaan.
Tetapi, gadis itu terhenyak begitu melihat siapa yang memanggil namanya.
"Pait ... pait ... pait!" Mira terbangun, lalu meludah ke sebelah kiri sebanyak tiga kali.
"Beneran mimpi buruk. Ish! Pingin mimpi ketemu Mas Laksmana, malah ketemu tukang cilok. Sial bener!" sungut Mira, kesal.
Mira hendak kembali tidur ketika samar-samar mendengar suara tangisan. Dia menajamkan pendengaran. Suara itu semakin jelas, berasal dari kamar ibunya.
Merasa khawatir, gadis itu menuju kamar sang ibu yang pintunya sedikit terbuka. Mira mengintip, dan mendapati wanita yang telah melahirkannya itu sedang tersedu sedan.
Dibukanya pintu kamar lebih lebar. Mira masuk dan duduk di tepi ranjang. Dielusnya punggung ibunya penuh sayang.
"Emak kenapa nangis? Sakit?" tanya Mira.
Wanita itu menggeleng. Dia tak ingin Mira tahu apa yang tejadi. Disembunyikan pipinya yang lebam dengan rambut yang sengaja digerai. Dia tak ingin anaknya bertambah benci terhadap bapaknya.
"Emak nggak apa-apa, kok. Cuma tadi mimpi sedih, jadinya kebawa nangis," jawabnya, berbohong.
"Udah, sana tidur! Udah malem," lanjutnya sembari membaringkan tubuh membelakangi Mira, menyembunyikan air mata yang tak kuasa untuk dibendung.
Mira menurut. Dia menuju ke kamarnya untuk kembali merajut mimpi.
"Gue harus berdoa dulu, biar mimpinya nggak ketemu sama orang yang salah lagi!"