Sejenak, Mira termenung setelah mendengar pengakuan dari kedua sahabatnya, Santi dan Tika. Dia lalu segera beranjak meninggalkan tempat nongkrongnya itu. Tiba-tiba saja sang ketua geng merasa tak enak badan dan ingin segera pulang. Kepalanya mendadak pusing.
Gadis itu pun bergegas pulang setelah berpamitan pada kedua sahabatnya yang masih bingung dengan sikap ketua geng mereka yang berubah menjadi aneh, seperti bukan Mira yang mereka kenal.
Kasto baru saja pergi meninggalkan rumah untuk melaut saat Mira sampai. Saat keduanya berpapasan di halaman rumah, gadis itu membuang muka. Emosi gadis itu selalu tersulut setiap kali melihat wajah sang bapak yang selalu bersikap kasar terhadap dirinya dan sang ibu.
"Heh, lonte! Lu sekolah pulangnya, kok, sore? Ngider dulu, ya?!" sinis Kasto.
Mira mengepalkan telapak tangan. Dia tak menyangka jika bapaknya begitu tega berkata demikian.
'Gue ragu kalau dia bapak kandung gue,' batin Mira sambil menahan amarah.
Tak mau bertambah kesal, Mira bergegas masuk ke rumah, meninggalkan bapaknya yang masih menatapnya dengan tajam.
Gadis itu sangat bersyukur saat bapaknya pergi melaut. Itulah kesempatan, di mana gadis yang berkulit sawo kelewat matang tersebut merasakan suasana rumah menjadi lebih damai. Mira bisa bermalas-malasan di kamarnya yang tak terlalu luas tanpa mendengar ocehan sang bapak yang selalu sinis dan menyakitkan hati.
"Makan dulu, Mir." Murni menawari makan begitu melihat putri semata wayangnya itu pulang.
Mira hanya menanggapi dengan gelengan pelan, lantas dia segera masuk ke kamar. Wajah sang anak yang murung tak seperti biasanya, membuat Murni merasa sangat khawatir. Wanita itu menebak-nebak, apa yang sudah dialami oleh anak gadisnya itu di sekolah.
Mira melemparkan tas punggung warna abu-abu yang bergambar tengkorak kecil ke lantai. Dihempaskan tubuhnya yang terasa lemas ke atas kasur dengan seragam sekolah yang masih melekat. Matanya menatap lurus ke plafon kamar. Pikirannya melayang jauh. Bayang-bayang wajah Laksmana yang sangat good looking kembali mengganggunya, terus menari-nari dalam pikiran.
"Dia ganteng banget pakai baju itu sama sarung. Bener-bener calon imam idaman gue. Saleh, rajin salat, baik, dan lembut suaranya. Coba gue bisa deket sama dia. Tapi ... kayaknya impossible, deh," gumam Mira, berandai-andai.
"Waktu kecil dulu, Emak ngajarin gue ngaji nggak, ya? Apa gue dulu juga dimasukin ke TPA kaya anak-anak lain?" Mira bertanya-tanya.
Tok ... tok ... tok ....
Mira bergeming saat terdengar pintu kamarnya diketuk. Sang ibu kemudian masuk setelah menunggu cukup lama, tetapi tak juga dibukakan pintu itu. Murni lantas masuk tanpa menunggu persetujuan dari sang anak. Dihampirinya anak gadis satu-satunya yang berbaring dengan tatapan kosong ke arah plafon.
Murni duduk di tepi kasur, di samping Mira yang sedang berbaring. Gadis itu bergeming, tak beranjak sedikit pun dari posisinya, sibuk membayangkan yang iya-iya dengan pemuda tampan yang selalu mengganggu pikirannya beberapa hari belakangan.
"Mir, kamu kenapa? Sakit?" Sang ibu menyentuh dahi anak gadisnya yang tampak lesu.
"Enggak, kok, Mak," jawab Mira dengan suara pelan.
"Iya. Nggak anget, kok. Terus, kamu kenapa diem aja, lesu gitu?" tanya sang ibu lagi. Wanita itu tak suka jika anak gadis satu-satunya menjadi murung.
Mira menghela napas sebelum menanyakan sesuatu kepada sang ibu.
"Mak ... aku, kok, nggak pernah liat Emak salat, ya?" Mira menatap wajah sang ibu lekat-lekat. Sementara yang ditatap menjadi salah tingkah.
"Ng ... kamu udah makan belum, Mir? Ayo makan dulu, nanti kamu bisa sakit kalau telat makan. Yok, emak tunggu di depan, ya. Kita makan bareng." Murni mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Lalu, dia segera beranjak dan keluar dari kamar anak gadisnya.
Mira mendengkus. Dia merasa heran, mengapa ibunya tak mau membicarakan tentang salat, tetapi justru menghindar. Gadis itu jadi bertanya-tanya, bukankah ibunya itu Islam? Dia pernah melihatnya di kartu identitas sang ibu. Dan, bukankah dirinya pun sama?
"Ish, kok, gue tiba-tiba jadi malu, ya, sama diri gue sendiri," gumam gadis itu.
'Halah! Biasanya juga nggak pernah mikirin tentang salat. Biarpun sering dengar ceramah ustadz dari toa mushalla, dan pesan dari guru agama, lu nggak pernah terpengaruh. Kenapa tiba-tiba jadi mikirin itu? Apa karena Laksmana?' sinis suara yang berasal dari dalam diri Mira.
Gadis itu berpikir sejenak. Dia tak mengerti, kenapa sekarang memikirkan tentang hal itu. Apa memang karena kehadiran Laksmana?
"Aaakh!"
Mira mengacak rambutnya dengan kasar. Dia lalu membenamkan wajahnya pada bantal, berharap bisa melupakan wajah tampan Laksmana yang suka sekali mengganggu pikirannya. Tak lama kemudian, gadis berkulit sawo kelewat matang itu pun terlelap. Hingga hampir tiba waktu Maghrib dia terbangun sebab mendengar suara ibunya yang nyaring memanggil namanya.
"Miraaa ... ayo makan dulu!" seru sang ibu.
Dengan malas, gadis itu bangun, lalu membersihkan badan dan bergegas menuju ke meja makan.
***
Hari Minggu kelabu. Mira duduk termenung, menatap langit yang tertutup awan hitam dari balik jendela kamar.
"Kayaknya bakal hujan lebat, nih. Gelap banget," gumam Mira.
Hari itu Mira berencana untuk nongkrong dengan Santi dan Tika di tempat biasa. Akan tetapi, sepertinya, rencana itu akan batal jika turun hujan.
Murni menepuk pundak Mira, membuat gadis itu terlonjak. Wajahnya ditekuk karena kesal telah diganggu saat sedang melamun.
"Emak bikin aku kaget aja, ih!" gerutu Mira.
Murni hanya tertawa melihat Mira yang cemberut. Wajah gadis itu tampak lucu saat sedang marah.
"Ada Santi sama Tika, tuh, di depan," ujar Murni, lalu bergegas keluar kamar.
Baru saja kaki Murni hendak melangkah keluar kamar, Mira menghentikannya dengan sebuah pertanyaan.
"Mak, Bapak kapan pulangnya?"
Murni berbalik badan. Ditatapnya anak gadis satu-satunya itu dengan penuh sayang.
"Bapak bilang, empat atau lima bulan, Mir. Kenapa? Baru juga Bapak pergi kemarin, udah ditanyain," sahut sang ibu.
"Semoga pulangnya lima bulan. Biar aku bisa hidup tenang. Emak juga agak lama bebas dari Bapak yang suka kasar sama Emak!" Mira bergegas keluar untuk menemui Santi dan Tika usai mengatakan hal itu.
Murni hanya bisa menghela napas berat. Dadanya tiba-tiba terasa nyeri. Ya, Mira memang ada benarnya. Saat suaminya pergi melaut, dia dan anaknya bisa lebih damai dalam menjalani hari. Tak ada caci maki, tak ada pukulan, dan perkataan sinis terhadap Mira yang selalu membuat Murni menangis diam-diam.
Namun, biar bagaimanapun, Kasto adalah suaminya. Dulu mereka menikah atas dasar cinta. Kasto yang romantis, dan selalu bersikap manis, membuat Murni jatuh hati waktu itu. Siapa sangka, lelaki itu berubah seratus delapan puluh derajat sejak Mira mulai tumbuh menjadi anak-anak. Dan, Murni tak tahu mengapa.
Air mata Murni menggenang di pelupuk mata. Lekas disekanya dengan ujung kaus yang dia pakai. Wanita itu tak ingin jika Mira sampai melihatnya bersedih.