Semalaman Mira gelisah. Dia berpindah dari kamar menuju ke ruang tengah. Diliriknya jam yang menempel pada dinding, pukul tiga dini hari. Sudah selarut itu, dan dia masih juga terjaga. Padahal, akan ada ulangan Matematika di jam pelajaran pertama esok.
"Dari pada susah tidur, mending belajar aja, deh," ujar Mira.
Gadis yang perawakannya tak terlalu tinggi itu mengambil buku dan mulai membaca. Tetapi, belum habis satu halaman dia baca, matanya sudah terpejam. Mira tertidur di karpet, di depan televisi, dengan buku di tangannya.
Baru sekejap Mira terlelap, dia mendengar suara pintu diketuk. Semakin lama, ketukan itu terdengar semakin keras, bahkan diiringi dengan suara teriakan. Gadis itu tak peduli. Dia tetap meringkuk dan tak berniat untuk membukakannya. Matanya sudah terlalu berat sebab terjaga hingga larut.
"Bukaaa!" Kasto sudah tidak sabar dan semakin kencang menggedor pintu.
Ibu Mira keluar kamar dan melangkah ke depan, melewati sang anak yang tampak sedang tertidur pulas. Setelah pintu dibuka, wanita itu melihat sang suami berdiri dengan wajah yang memerah karena marah.
"Lama banget bukain pintu!" bentak lelaki itu. Aroma alkohol menguar dari mulutnya.
"Bapak minum?" tanya Murni sembari menutup hidung.
Lelaki itu tak mengindahkan pertanyaan dari sang istri. Didorongnya tubuh wanita itu ke samping, lalu Kasto merangsek masuk dengan langkah terhuyung. Lelaki itu pulang dalam keadaan mabuk, seperti biasanya.
Melihat Mira yang tertidur di karpet, emosi Kasto kembali menyeruak. Dihampirinya sang anak yang sedang terlelap, kemudian ditendangnya sembari mengumpat.
"Dasar anak kurang ajar! Dari tadi gue gedor-gedor pintu, nggak dibukain."
Mira terhenyak. Dia merasakan sakit pada punggungnya. Namun, gadis itu tak acuh dan tetap meringkuk sembari menahan sakit pada punggung, dan juga hatinya.
Masih terdengar oleh telinga Mira, lelaki yang sedang mabuk itu bersumpah serapah. Segala kalimat kasar dilontarkan. Semua nama hewan disebutkan.
"Udah, Pak, Mira lagi tidur. Mungkin nggak dengar Bapak ketuk pintu tadi," ujar Murni, membela sang anak.
"Nggak dengar? Memangnya dia budeg, hah?!" bentak Kasto lagi.
Ingin rasanya Mira bangkit dan menampar mulut bapaknya. Tetapi dia tahu betul, hal itu takkan berguna, sebab sang ibu yang nantinya akan menjadi sasaran amukan lelaki yang berperangai kasar itu.
Mira mengepalkan tangannya diam-diam, berusaha menekan amarahnya yang meluap-luap. Di sudut matanya, cairan bening menetes begitu saja tanpa permisi.
***
Fajar baru saja menyingsing. Mira terbangun dengan wajah lesu. Sungguh malam yang berat, seberat badan Bu Ayang, Kepala Sekolah SMK Rawa-Rawa.
"Mira ... Miraaa ... ayooo sekolah!"
Santi dan Tika sudah berteriak-teriak memanggil namanya dari depan rumah. Mira bergegas mandi, lalu memakai seragam putih abu-abu. Di saat melewati kamar orang tuanya, gadis itu melihat bapaknya yang masih mendengkur. Mata gadis itu berkilat penuh dendam kala memandang lelaki kasar dan tukang mabuk itu.
Usai berpamitan dan meminta uang jajan, Mira segera berangkat ke sekolah untuk menimba ilmu. Ketiga anggota Geng Mirasantika berjalan beriringan, menyusuri jalan kecil di pinggir sungai.
"Gue bete banget di rumah. Pingin kabur, deh. Nyokap gue lama-lama bikin gue naik darah!" keluh Santi, gadis bertampang cool, anak janda kaya Kampung Rawa-Rawa.
"Saya juga nggak betah di rumah. bapak tiri saya bikin saya susah," timpal Tika, anak pemilik restoran yang cabangnya sudah tersebar di berbagai kota dengan mata berkaca-kaca.
Mira menghela napas berat mendengar keluh kesah dua sahabatnya itu. Nasib mereka memang tak jauh berbeda. Tapi setidaknya, kondisi ekonomi Santi dan Tika lebih baik dibandingkan dengan dirinya.
"Kita harus tetap semangat, yaa." Sang ketua geng menepuk-nepuk pundak kedua anggotanya, mencoba memberi kekuatan, meski dirinya sendiri sebenarnya pun butuh bahu seseorang untuk bersandar.
"Kita akan saling menguatkan. Kita, 'kan, sahabat selamanya," lanjutnya lagi.
Saat melintasi pos ronda, Mira melihat Laksmana, pemuda yang telah mencuri hatinya sejak beberapa hari yang lalu. Pemuda itu tampak gagah dengan setelan pakaian olah raga. Dia berlari-lari kecil ke arah tiga gadis berseragam putih abu-abu yang menatapnya tanpa berkedip.
"Hai, Mira," sapa Laksmana sambil lalu.
Hati Mira pun menjadi berbunga-bunga.
"Aww! Meleleh gue ...." Mira terus menatap Laksmana yang berlari menjauh. Dia memegangi dadanya, dan merasakan jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya.
Santi menarik lengan Mira sembari bersungut-sungut, "Buruan. Kita ada ulangan!"
"Lu iri, ya, nggak disapa sama Mas Laksmana?" cibir Mira, membuat kedua sahabatnya itu cemberut.
***
Siang itu terasa lebih terik dari biasanya. Mira, Santi, dan Tika tak segera pulang ke rumah usai sekolah. Mereka menuju warung yang berada di dekat sekolah.
Biasanya, ketiganya betah berlama-lama nongkrong di warung itu hingga sore hari.
Bagi ketiga gadis itu, berada di rumah rasanya seperti di neraka. Tak pernah ada kedamaian, hanya ada keributan dan ketidaknyamanan.
Tak terasa, waktu pun berlalu.
Azan Asar berkumandang dari pengeras suara mushalla tak jauh dari tempat Mira dan kedua sahabatnya berada.
Laksmana melintas di depan warung tempat Mira dan yang lain menghabiskan waktu sepulang sekolah, menuju mushalla yang terletak di sebelah kanan SMK Rawa-Rawa. Rumah pemuda itu sendiri tak terlalu jauh dari sana. Hanya terhalang tiga rumah dan melewati warung tempat nongkrong favorit Geng Mirasantika.
"Mas Laksmana mau ke mana?" tanya Mira sembari menahan degup jantungnya yang bertalu-talu, melihat pemuda yang tampak semakin tampan dalam balutan baju koko dan sarung.
"Mau ke mushalla. Ayok bareng," jawab Laksmana sambil mengulas senyum.
Tiba-tiba Mira merasa kikuk. Sejak kecil, dia belum pernah memasuki mushalla atau pun masjid. Masuk ke TPA saja belum pernah. Orang tuanya tak pernah mengajari, atau menyuruhnya salat dan mengaji.
Gadis itu tertunduk, lesu. Tiba-tiba saja, dia merasakan seolah-olah ada batu besar yang menghimpit dada. Menyesakkan.
"Saya duluan, ya, Mir." Laksmana kembali tersenyum, lalu pergi meninggalkan Mira yang menatap kepergiannya dengan pandangan nanar.
Mira merasakan sesuatu, jauh di lubuk hatinya. Dia tak tahu perasaan apa itu. Yang jelas, hatinya merasa hampa. Seolah-olah, ada sesuatu yang dirasa kurang dalam hidupnya.
"San, Tik, kapan terakhir kali kalian salat dan ngaji?" tanya Mira, dengan suara setengah berbisik.
Santi dan Tika saling melempar pandang, terkejut saat mendapat pertanyaan dari Mira yang menurut mereka aneh. Pikir mereka, sejak kapan sang ketua menjadi peduli dengan hal yang religius seperti itu?
"Heh! Ditanya malah pada bengong." Mira melotot ke arah kedua sahabatnya itu.
"Elu berdua pernah salat? Pernah ngaji? Kapan terakhir kali lu salat dan ngaji?" Mira kembali mengajukan pertanyaan kepada Santi dan Tika.
Lagi, kedua anggota Geng Mirasantika itu saling pandang, kemudian menatap Mira, heran.
"Ng ... gue nggak ingat, Mir. Kayaknya terakhir waktu gue umur lima tahun, deh," jawab Santi, ragu-ragu.
"Saya salat, kok. Cuma ... Maghrib sama Isya doang, Mir," sahut Tika dengan suara pelan.
Mira termenung sejenak. Lalu segera beranjak. Tiba-tiba saja gadis itu merasa tak enak badan dan ingin segera pulang.