'Siapakah dia? Ganteng banget!'
Mira terpana, menatap si pemuda yang tampan, tanpa kata. Ketua geng yang garang itu mendadak tersenyum-senyum sendiri, membuat semua orang di pos ronda yang sedang tegang karena menunggu apa yang akan Mira perbuat pada mereka, menjadi saling pandang.
'Duhai siapakah dia? Ke mana aja dia selama ini, kenapa baru muncul?' batin Mira.
Jantung Mira berdetak lebih kencang, dan senyumnya kian merekah saat si pemuda tampan berjalan semakin dekat ke arahnya sambil mengulas senyum, dua lesung pipinya menambah tingkat ketampanannya, membuat hati gadis itu bertambah kebat-kebit. Namun, gadis yang dijuluki singa betina itu lekas menggelengkan kepala.
'Ish, jangan ge-er, Mir! Inget, elu ketua geng. Jaga wibawa!' tukasnya, mengingatkan diri sendiri.
Tepat ketika Mira berhasil menguasai hatinya, si pemuda tampan justru menghampiri, membuat hati ketua geng itu kembali berkecamuk.
'Sial!' umpatnya seraya melirik ke arah para pemuda di pos ronda yang seharusnya sudah dia beri pelajaran karena telah membuat Tika menangis.
"Maaf, Mbak, mau tanya," ucap si pemuda tampan.
Mira terhenyak. Jantungnya kembali berdetak tak beraturan, bertalu-talu tak karuan. Gadis yang suka memakai ikat kepala itu merasakan desiran yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
"Mbak!" Si pemuda mengibaskan tangan di depan wajah Mira, membuat ketua geng itu tersadar dari lamunan.
"Eh, i-iya, Mas. Ada apa? Apa ada cinta untuk aku? Eh!" Mira membekap mulutnya yang tak tahu malu.
'Aduh! Suruh jaga wibawa, malah bikin malu,' gumamnya, dalam hati. Gadis itu menyesal sebab tak dapat menjaga mulutnya.
Para pemuda di pos ronda sontak pecah tawanya, lalu seketika bungkam saat Mira menoleh dan memberikan tatapan tajam yang menghujam.
Rupanya, si pemuda tampan itu hendak menanyakan alamat. Tak mau melewatkan kesempatan, sang ketua geng lekas beralih peran menjadi pemandu jalan, menunjukkan arah yang benar pada si pemuda menuju ke alamat yang dimaksud.
Mira mengajak si pemuda tampan untuk meninggalkan pos ronda. Tika yang sedari tadi berdiri mematung pun langsung angkat suara.
"Mir ... gak jadi ngasih pelajaran sama cowo-cowo itu?"
Mira menoleh, lantas menempelkan jari telunjuknya di bibir, memberi isyarat pada Tika untuk diam. Para pemuda pun merasa lega, terselamatkan dari amukan Mira.
"Terima kasih, cowok ganteng!" seru para pemuda sembari berjingkrak kesenangan.
Mira, si ketua geng paling garang menjelma menjadi sosok gadis manis sepanjang perjalanan menuju alamat yang ditanyakan oleh si pemuda tampan. Sungguh sebuah keajaiban, si singa betina berubah menjadi bidadari dalam waktu sekejap mata saja.
"Masih jauh, ya, Mbak?" tanya si pemuda tampan, lagi-lagi membuyarkan lamunan Mira.
"Eh, enggak, kok. Bentar lagi juga sampai, Mas," sahut Mira, berbohong.
Nyatanya ... alamat yang dituju oleh pemuda tampan itu sebenarnya berada di belakang pos ronda. Hanya terhalang oleh pohon-pohon rambutan besar yang tumbuh subur dan lebat buahnya. Mira sengaja mengambil jalan memutar agar bisa lebih lama berduaan dengan pemuda itu.
"Betewe, jangan panggil mbak, dong. Aku, 'kan, masih imut-imut," protes Mira dengan suara manja.
"Oh, maaf, Mbak. Eh, siapa namanya?" tanya si pemuda tampan.
"Kenalin, Mira." Ketua geng yang mendadak berubah manis itu menyodorkan tangan, mengajak bersalaman. Namun, si pemuda tampan menyambutnya dengan tangan yang ditangkup di depan dada.
"Saya Laksmana," sahut si pemuda.
Mata gadis itu berbinar. Ada desiran halus yang menjalari sekujur tubuhnya.
'Aih ... namanya sesuai dengan tampangnya. Pas banget kalau namanya Laksmana, sama kek nama adeknya Sri Rama. Selera gue banget ini, ihik!' batin Mira, girang bukan kepalang.
Setelah berjalan memutari Desa Rawa-Rawa, melewati tujuh belokan, tujuh tanjakan, dan tujuh turunan, Mira menghentikan langkah di depan sebuah rumah megah bercat biru cerah.
Halamannya luas, ditumbuhi beraneka macam pohon buah. Ada rambutan, mangga, pisang, dan jambu. Pot-pot bunga hias dengan aneka warna dan jenis, tersusun rapi di depan teras rumah itu.
"Mas Laksmana, ini rumahnya," kata Mira dengan suara yang dibuat selembut mungkin. Tak seperti biasanya.
Laksmana mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Pemuda tampan dengan lesung pipi itu merasa tak asing dengan pos ronda yang terlihat dari halaman rumah megah itu.
"Lho, bukannya itu pos ronda yang tadi, ya, Mir?" tanya Laksmana dengan kening berkerut.
Mira menunduk. Kaki kanannya dia goyangkan ke depan dan ke belakang. Sesekali, dia melirik Laksmana malu-malu, kemudian kembali menundukkan kepala.
"Ng ... anu ... itu ... maaf, Mas. Tadi aku seperti mendadak amnesia, terhipnotis oleh pesonamu. Jadi, nggak sadar kalau jalannya jadi muter-muter, he-he," sahut Mira, memberi alasan.
Laksmana menggelengkan kepala seraya tersenyum. Dia gemas sekaligus geli melihat tingkah Mira yang konyol dan absurd.
'Untung manis,' batin Laksmana.
"Oke, Mira. Terima kasih, ya, udah ditunjukin jalan. Saya permisi, masuk dulu," ucap Arjuna. Suaranya begitu lembut, membuat Mira makin terhipnotis oleh pesonanya.
Ditatapnya pemuda tampan di hadapannya itu. Mira benar-benar mabuk kepayang, hingga tak menyadari, ada seorang wanita yang menghampiri dan menarik telinganya, membuat buyar seketika angan-angan indahnya.
"Kamu ngapain liatin Laksmana terus begitu? Dasar anak nakal! Jangan coba-coba ganggu dia, ya!" tukas wanita yang memakai gamis hitam dan hijab lebar.
Mira meringis. Alangkah terkejutnya gadis itu saat tahu siapa yang menarik telinganya.
"Aduh! Sakit. Ta-tante Mae?"
Wanita yang dipanggil Tante Mae itu mendelik. Dia memang kurang suka pada Mira. Semua orang tua di Kampung Rawa-Rawa memang tak menyukai gadis urakan itu. Ketua Geng Mirasantika itu sudah terkenal sebagai gadis yang suka membuat onar.
"Tak pantas dijadikan mantu," ujar beberapa warga, suatu hari.
Mira merasa bodoh. Saking terpesonanya pada ketampanan Laksmana yang tiada tara, dia tak menyadari rumah siapa yang ditanyakan oleh pemuda itu, hingga akal pikirannya seolah-olah tak dapat bekerja.
'Ah, sial! Ada hubungan apa Mas Laksmana sama Tante Mae yang galaknya nyaingin gue ini, ya?' batin Mira, gusar.
"Eh ... eh ... ditanyain malah bengong. Kamu ngapain liatin Laksmana kaya gitu? Nggak usah, ya, kamu deket-deket dia! Nanti ketularan nakal kaya kamu. Aku nggak mau. Awas aja kalau kamu nekad!" ancam wanita yang masih tampak cantik meski sudah berumur lebih dari empat puluh tahun itu. Belum apa-apa, Tante Mae sudah merasa geram.
Bagaimana tidak, semua warga Kampung Rawa-Rawa tahu, bagaimana kondisi keluarga Mira. Orang tua gadis itu selalu membuat bising jika ada masalah.
Mira tumbuh menjadi anak broken home. Selalu keluyuran bahkan hingga tengah malam, membuat gadis itu dicap sebagai 'bukan anak baik-baik' oleh warga desa.
Meski begitu, ibu Mira percaya penuh pada sang anak. Dia yakin, bahwa putri semata wayangnya itu bisa menjaga diri dari perbuatan yang memalukan. Ya, meski suka jahil dan bikin onar, menurut sang ibu, itu hanya kenakalan remaja yang masih dalam batas wajar.