Mira berjanji akan melakukan sesuatu agar bapaknya tak lagi berbuat semena-mena. Dia juga harus memikirkan cara untuk segera membayar tunggakan uang sekolahnya. Tapi, bagaimana?
***
Rumah megah bercat biru muda tampak sedikit ramai, tidak seperti biasanya, selalu sepi. Rumah besar yang hanya dihuni oleh Tante Mae dan Laksmana, tengah kedatangan tamu dari jauh. Keluarga besar dari mendiang ayah Laksmana, yang berasal dari Jawa Tengah.
Tante Mae memasak banyak jenis makanan khas Jawa Tengah untuk menjamu para tamu yang jarang bertandang sebab jarak yang jauh itu. Semua hidangan ditata dengan rapi di atas meja makan yang besar. Untuk sarapan, Tante Mae telah menyediakan sayur asem, ikan, tempe, dan tahu goreng, serta sambal terasi, juga tak ketinggalan lalapan segar.
Kakek, nenek, paman, dan bibi Laksmana dengan lahap menikmati masakan Tante Mae yang lezat. Selain cantik, Tante Mae memang pandai memasak. Hal itulah yang dulu membuat ayah Laksmana tertarik dan kemudian mempersunting wanita itu. Dari lidah turun ke perut, lalu timbul rasa cinta.
"Gimana kegiatanmu di pesantren, Le? Udah hapal berapa juz?" tanya sang kakek kepada Laksmana di sela-sela kegiatan sarapan.
Laksmana urung menyuapkan makanannya. Sendok berisi nasi yang sudah di depan mulut, dia letakkan kembali di piring. Sejenak pemuda itu terdiam.
"Le?" panggil kakeknya, melihat Laksmana termenung.
"Eh, itu, Mbah. Mmm ... baru tujuh juz aja, he he," jawab Laksmana kemudian.
Sang kakek tersenyum senang. Lelaki tua itu merasa bangga. Setidaknya, cucunya itu lebih banyak hapalannya dibandingkan dengan dirinya yang hanya hapal satu juz saja, dan itu pun hanya surah yang pendek.
"Kamu masih libur? Belum balik ke pondok, to?" tanya lelaki tua itu lagi.
Laksmana melirik sang ibu yang tetap menunduk, menikmati sarapannya dengan ekspresi datar. Setelah berpikir beberapa saat, Laksmana pun memberanikan diri untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Pemuda tampan itu tak ingin membohongi kakeknya, juga keluarga yang lain.
"Saya nggak balik lagi ke pondok, Mbah," kata Laksmana dengan suara lirih.
Kakek dan nenek Laksmana saling pandang. Wajah mereka tampak kebingungan.
"Nggak balik lagi? Udah lulus, tah?" tanya nenek Laksmana dengan kening berkerut.
Laksmana paham, jika kakek dan neneknya sampai tahu kalau dia memutuskan untuk keluar pesantren sebelum lulus, pasti mereka akan sangat kecewa. Mereka selalu memuji Laksmana di hadapan orang-orang. Mereka bangga dengan status sang cucu sebagai seorang santri.
Dengan berat, Laksmana menghela napas, dan diulangi beberapa kali sebelum memberi penjelasan kepada kakek dan neneknya. Dia harus berkata dengan hati-hati, agar sebisa mungkin tak menyakiti hati kedua orang yang sudah sepuh itu.
"Saya ... nggak bisa lanjutin di pondok lagi, Mbah. Saya kepikiran terus sama Bunda, sendirian di sini. Rumah gede, tapi sendirian. Saya jadi nggak fokus belajarnya di sana, Mbah," tutur Laksmana.
Kedua orang yang sudah sepuh itu kembali saling pandang, lalu tatapannya kembali fokus pada cucunya wajahnya sangat mirip dengan sang ayah.
"Saya mau nemani Bunda, Mbah. Dari pada nggak fokus belajarnya, mending pindah aja sekolah di sini, sekalian nemani Bunda. Tapi, biarpun nggak di pondok lagi, insyaa Allah saya tetep hapalan, kok, Mbah," lanjut Laksmana, panjang lebar.
Tante Mae yang sedari tadi tak acuh dan fokus melahap sarapannya, mau tak mau menoleh saat mendengar penjelasan dari putra satu-satunya itu. Menurut Tante Mae, alasan yang dilontarkan oleh Laksmana ada benarnya juga. Wanita itu memang selalu merasa kesepian jika Laksmana sedang di pondok.
Tiba-tiba, Tante Mae merasakan sesuatu di dalam sanubarinya. Dia tidak akan lagi memaksa Laksmana, meski dia sangat berharap agar Laksmana dapat terus menuntut ilmu di pesantren agar bisa memiliki keluasan ilmu agama. Tante Mae pikir, mungkin, dengan adanya Laksmana di rumah, hidupnya tidak akan sunyi lagi. Selain itu, anak lelakinya itu pun bisa menjaga dirinya.
Tante Mae tersenyum tipis. Sudah dia putuskan, akan mendaftarkan Laksmana di sekolah yang ada di desanya, SMK Rawa-Rawa.
***
Mira, Santi, dan Tika berjalan menuju ke sekolah tanpa semangat. Sebagai teman satu geng, mereka seolah-olah memang ditakdirkan untuk memiliki nasib yang sama, menjadi anak broken home.
"Gue bete banget. Bokap gue bawa kabur uang buat bayar SPP gue.. Nyebelin!" gerutu Mira sembari menendang sebuah kerikil yang menghalangi langkahnya.
"Gue juga lagi bete banget, nih. Males ngapa-ngapain," sahut Santi. Tika hanya menanggapi keluhan kedua sahabatnya dengan tatapan sedih.
Sesampainya di kelas, Mira, Santi, dan Tika langsung duduk di kursi masing-masing. Ketiganya tampak lesu. Jika biasanya mereka akan mengerjai teman di kelas, kali itu mereka hanya menopang dagu dengan pandangan menerawang jauh.
Sementara Geng Mirasantika sedang merenungi nasib, para siswi kelas 1 akuntansi 2 itu berebutan untuk berdiri di jendela dan di ambang pintu. Sesuatu telah menarik perhatian para gadis remaja itu.
Kasak kusuk di antara para siswi itu membuat Mira merasa terganggu. Gadis itu mengepalkan tangan, lalu memukul meja sambil mengomel.
"Bisa diem nggak? Jangan berisik!" bentak Mira.
Para siswi itu seketika bungkam. Akan tetapi, tak serta merta mengalihkan pandangan mereka ke luar kelas.
Karena penasaran, Mira bangkit, lalu menghampiri para siswi itu. Kerumunan yang memenuhi pintu kelas dia singkirkan dengan kasar, dan tidak ada yang berani protes. Mereka hanya diam dan menyingkir, memberikan Mira ruang.
"Kalian lagi liatin apa, sih?" tanya Mira. Dia sangat penasaran, apa yang membuat teman-temannya begitu heboh.
Mira mengikuti arah pandangan teman-temannya. Di depan kantor guru yang letaknya persis di seberang kelas 1 akuntansi 2, berdiri seorang pemuda yang sangat dia kenal. Dari dalam kantor, Tante Mae keluar, beriringan dengan Bu Ayang.
"Eh, ngapain dia di sini?" gumam Mira. Suaranya yang lirih masih dapat didengar oleh siswi yang berdiri di samping kanan dan kirinya.
"Lu kenal dia, Mir?" tanya mereka, kompak.
Mira menatap sinis secara bergantian, pada kedua siswi yang bertanya. Dia tidak suka jika ada yang mendekati Laksmana.
"Kenal, dong. Kenal baik malahan. Kalian jangan macem-macem sama dia, ya. Awas, lo!" ancam Mira sembari memasang wajah garang.
Kedua siswi itu mencebik, lantas kembali ke tempat duduk mereka sambil menggerutu. Meski kesal, mereka tidak berani untuk melawan Mira. Kedua siswi itu hanya bisa bersungut-sungut dalam hati.
Mira menatap pemuda yang telah mencuri perhatian semua temannya, dari balik jendela kelas. Dalam balutan seragam putih abu-abu, pemuda itu terlihat semakin tampan saja.
'Mau ngapain dia di sini, ya? Bukannya dia anak pesantren?' Mira bertanya-tanya dalam hati.
Keributan kembali terdengar saat pemuda tampan itu melintas di depan kelas 1 akuntansi 2. Namun, seketika para siswi terdiam begitu si pemuda berhenti di depan jendela kelas dan menyapa Mira.