Laksmana berhenti sejenak saat berada di hadapan Mira yang mengintip dari balik jendela kelas.
"Hai, Mir," sapa Laksmana dengan riang. Senyum pemuda itu yang lebar, membuat para siswi di kelas 1 akuntansi 2 itu sontak histeris.
"Uwaaa ... ganteng banget. Senyumnya bikin meleleh. Aaa!" jerit para siswi itu.
Mira yang mendengar kehebohan para siswi yang memekakkan telinga, menjadi geram. Dipelototi semua temannya yang genit itu hingga seketika mereka terdiam.
"Biasa aja, dong. Jangan ganjen, deh!" bentak Mira.
"Maafin teman-teman aku, ya, Mas. Emang norak mereka, tuh. Kek nggak pernah liat cowok ganteng aja. Hih!" Mira lalu mengalihkan pandangan ke arah Laksmana.
"Wah, saya jadi seneng, dibilang ganteng. Besok saya udah mulai sekolah di sini. Kita bisa berangkat bareng, ya. Ini kelas kamu?" tanya Laksmana kemudian.
Mira yang secara tak sadar memuji kegantengan Laksmana, pipinya bersemu merah. Dia merasa malu. Sambil menunduk, gadis itu menjawab pertanyaan Laksmana.
"Iā" belum selesai Mira menjawab, suara teriakan Tante Mae menginterupsi, meminta Laksmana untuk segera pergi.
"Sampai ketemu di tempat biasa, ya, Mir!" seru Laksmana sembari melangkah, menjauh dari kelas Mira.
Laksmana melambaikan tangan sekilas, yang dibalas oleh Mira dengan anggukan kepala. Senyum pemuda itu selalu merekah, membuat para siswi di kelas 1 akuntansi 2 semakin terpesona. Mira mencebik melihat tingkah teman-temannya.
"Dasar ganjen. Hih!" gerutu Mira sembari berjalan menuju kursinya.
Santi hanya melihat semua dari tempat duduknya. Gadis itu merasa senang saat mengetahui bahwa Laksmana akan pindah ke sekolah yang sama dengannya.
'Tapi, gue harus saingan sama Mira, dong,' batin Santi.
'Alah! Biarin aja, deh. Gue bakal curi hati Mas Laksmana diem-diem,' lanjutnya. Senyum tipis tersimpul di bibirnya yang sensual.
Cinta memang bisa membuat seseorang berubah, dan juga bisa membuat hubungan persahabatan pun berubah.
Hingga bel tanda pulang berbunyi, Santi lebih banyak diam. Tika dan Mira menyadari, bahwa Santi tidak seperti biasanya.
"Elu tumben hari ini pendiam. Lagi sakit gigi?" tanya Mira kepada Santi sembari membereskan buku-bukunya ke dalam tas ransel.
"Gue nggak pa-pa, kok. Capek doang," sahut Santi, lalu bergegas bangun dari duduknya dan keluar kelas.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah, lagi-lagi Santi banyak diam. Bahkan sampai di pertigaan dan ketiganya harus berpisah, Santi terus melangkah, tanpa lambaian tangan perpisahan yang menjadi kebiasaan mereka.
"Daaah, Mir ... sampai jumpa lagi, ya." Tika melambaikan tangan, lalu menyusul Santi.
Meski merasa aneh terhadap sikap Santi, Mira berusaha untuk tak acuh.
"Mungkin habis cekcok lagi sama nyokapnya," pikir Mira.
Sesampainya di rumah, Mira langsung mengganti seragamnya dengan pakaian santai, lalu bergegas pergi ke pos ronda, berharap bisa segera menemui pemuda yang sudah dia rindukan. Padahal, baru beberapa jam yang lalu bertemu. Akan tetapi, bukan Laksmana yang ada di sana, melainkan kedua anggota gengnya yang masih mengenakan seragam sekolah.
"Eh, kalian nggak jadi pulang tadi?" tanya Mira, heran.
Keduanya menggeleng serempak. Wajah mereka tampak muram. Mira duduk di antara Tika dan Santi yang menatap ke angkasa. Pandangan mereka kosong.
"Kalian kenapa?" Mira kembali bertanya.
Melihat kedua sahabatnya yang tampak murung, Mira tak tahan. Gadis itu penasaran. Tak mau menerka-nerka, si ketua geng lantas bertanya.
"Gara-gara ortu kalian, ya?"
Santi dan Tika menghela napas. Lagi-lagi mereka kompak. Mungkin, karena nasib yang sama membuat mereka menjadi satu hati dan satu pikiran. Eaaa.
"Mamah saya lagi pergi sama bapak tiri saya, Mir. Pintunya dikunci. Saya jadi nggak bisa masuk rumah." Air mata Tika menitik saat mengatakannya.
Mira mengusap-usap punggung Tika agar gadis yang super baperan itu merasa lebih baik.
"Kalau gue tadi nggak jadi masuk rumah. Nyokap gue lagi ngobrol berdua sama cowok. Dan ... cowok itu pegang-pegang pipi nyokap gue, Mir. Najis!" keluh Santi dengan ekspresi penuh amarah.
"Yang bikin gue kesel, itu cowok umurnya cuma dua tahun di atas gue, Mir!" sambung Santi, dengan nada suara yang lebih tinggi.
Mira terenyuh mendengar penuturan dari kedua sahabatnya. Nasib mereka memang tak jauh berbeda. Karenanya mereka merasa cocok satu sama lain dan akhirnya membentuk geng yang suka berbuat onar. Tak ada yang luput dari kejahilan ketiga gadis itu, bahkan orang tua pun mereka kerjai jika ada yang berkata seenaknya tentang mereka.
Sebagai ketua geng, Mira yang paling arogan. Namun, semenjak kehadiran Laksmana, dan kedekatan mereka setiap hari, sikap Mira perlahan berubah.
Mira, Santi, dan Tika tengah larut dalam pikiran masing-masing ketika sebuah suara membuat mereka terlonjak.
Crak! Crak! Crak!
Tante Mae memukul-mukulkan sapu lidi pada pos ronda.
"Heh! Ngapain kalian di sini? Mau gangguin Laksmana, ya? Sana ... nongkrong di tempat lain!" tuduhnya.
Tante Mae berkata sembari berkacak pinggang. Matanya melebar, menatap Mira, Santi, dan Tika secara bergantian.
Ketiga gadis itu sontak berdiri, tetapi tak pergi dari pos ronda.
"Enggak, kok, Tante. Kami nggak mau gangguin Mas Laksmana. Kami cuma lagi meratapi nasib berjamaah, Tante. Suwer," kilah Mira.
"Halah! Nggak usah ngeles. Kalian ini memang tukang bikin onar. Pokoknya saya nggak mau liat kalian deketin Laksmana!" tukas Tante Mae dengan mengacungkan sapu lidinya sebagai ancaman.
Tepat di saat itu, Laksmana datang dan menenangkan sang ibu.
"Udah, Bun. Jangan marah-marah terus, nanti cantiknya ilang, lho," bujuk pemuda itu.
Mendengar kalimat anak lelakinya yang manis begitu, emosi Tante Mae yang sudah naik ke ubun-ubun kembali turun bersamaan dengan sapu lidinya.
"Bunda nggak boleh suudzon sama mereka, ya. Aku suka, kok, berteman sama mereka. Selain mereka, aku nggak ada teman lain, Bun. Apa Bunda mau aku nggak punya teman?" rajuknya kemudian.
"Tapi, 'kan, nggak harus mereka, Nak!" protes Tante Mae.
"Bun ... pliss." Laksmana menggenggam jemari sang ibu.
Akhirnya, meski hati dongkol, Tante Mae meninggalkan Mira dan geng bersama Laksmana. Wanita itu tak masuk ke rumah, tetapi tetap di halaman. Selain untuk melanjutkan menyapu, dia juga ingin mengawasi anak lelaki satu-satunya saat bersama para gadis urakan.
Di saat Tante Mae membersihkan daun-daun kering yang berserakan di halaman rumahnya, dia kembali terkenang saat Laksmana pulang diantar oleh Mira. Dia menyesalkan hal itu. Namun, itu memang salahnya. Ketika pindah rumah, Laksmana sedang berada di pesantren. Jadi, anaknya itu tak tahu letak rumahnya yang baru.
"Tapi, kenapa harus Mira, sih?" sesal Tante Mae.
Sementara itu di pos ronda, Laksmana meminta maaf kepada Geng Mirasantika atas sikap ibunya. Siapa sangka, anak dan ibu memiliki sifat yang sangat bertolak belakang. Tante Mae yang super galak, sedangkan Laksmana yang sangat baik dan lembut.