"Allah tidak akan menguji hambanya, di luar batas kemampuan hambanya."
"Cinta itu hadir karena terbiasa ...."
Tujuh tahun berlalu ....
Hari ini, Mihran sudah membuktikan pada Pak Taher, Papa Amaliya, jika ia bisa sukses dan membahagiakan anak istrinya. Mihran kini dikenal sebagai seorang pengusaha sukses dibidang advertising. Perusahaan periklanan yang dirintisnya telah banyak menangani klien besar dan menggunakan bintang iklan terkenal.
Amaliya pun kini sukses berkarir sebagai seorang desainer baju pengantin dan pemilik salon kecantikan terkenal. Seketika Mihran dan Amaliya menjadi pasangan muda yang sukses dan harmonis hingga menjadi banyak panutan pasangan muda.
Suatu hari, Mihran dan Amaliya pun diundang di sebuah acara TV yang mengisahkan perjalanan cinta dan kesuksesan mereka. Semua yang mengenal keduanya bangga, terlebih Oma Siska dan kedua orangtua Amaliya.
"Hore! Alia bangga sama Mama dan Papa, Oma. Coba Alia ikut, kan bisa masuk TV juga," ujar gadis polos berusia 8 tahun itu membuat gelak tawa Oma buyut serta Oma dan Opanya.
"Nanti kalau Alia sudah besar, Alia juga mau masuk TV jadi artis terkenal!" kata Alia, membuat Pak Taher syok.
"Alia, cucu Opa nggak boleh ada yang jadi artis!" kata Pak Taher, membuat cucu cantiknya itu memasang wajah kesal.
"Ah,Opa nggak asyik! Nggak gaul!" cecar gadis itu kemudian berlari ke kamarnya.
Ibu Arumi pun dibuat tertawa terpingkal melihatnya, sedangkan Pak Taher hanya bisa menarik nafas panjang menahan kesalnya pada sang cucu yang menggemaskan itu.
****
Eliza Says :
"Amaliya, Mihran, kenapa kita ditakdirkan bertemu lagi? Sudah cukup jauh aku melangkah pergi meninggalkan semua kenangan tentang kita, tetapi akhirnya takdir membawaku kembali bersama kalian. Cinta ini, membuatku harus menjauh dari kehidupan kalian. Aku bahagia, melihat kalian sudah bahagia, walau luka ini harus kurasakan .... "
Eliza Rifdatul Anam, sahabat keduanya yang memilih melarikan diri ke Amerika setelah mereka sama-sama lulus dari SMA atau lebih tepatnya sejak Eliza mengetahui jika kedua sahabatnya itu mengingkari janji persahabatan mereka. Amaliya dan Mihran memutuskan menjadi sepasang kekasih, tanpa Mihran sadari jika Eliza, sahabatnya yang lain juga menaruh hati padanya.
Eliza says :
"Mihran, kamu adalah cinta pertamaku. Aku sangat mencintaimu dari dulu, hingga saat ini. Namun, kekuatan cinta kamu dan Amaliya begitu besar hingga membuat kamu mampu mengkhianati janji persahabatan kita."
Janji persahabatan itu memang telah terkhianati saat Amaliya dan Mihran memutuskan menjadi sepasang kekasih. Dulu, saat ketiganya memutuskan menjadi sahabat, mereka pernah berikrar, agar tidak ada yang akan saling jatuh cinta. Namun, cinta tak pernah salah. Takdir yang membuat Amaliya dan Mihran saling mencintai.
Flashback Mihran, Amaliya dan Eliza
"Mihran, gimana kalau Eliza tahu?" kata Amaliya di sebuah sudut halaman sekolahnya, sesaat setelah mereka dinyatakan lulus.
"Kita kan udah lulus. Jadi semua perjanjian itu batal!" jawab Mihran sambil mengenggam tangan Amaliya erat.
"Perjanjian apa yang batal, Mihran?" tanya Eliza yang tiba-tiba hadir ditengah keduanya.
Amaliya hendak melepaskan genggaman tangan Mihran karena menjaga perasaan Eliza, tetapi Mihran kembali mengenggamnya lebih erat.
"El, aku sama Amaliya sudah jadian," jawab Mihran tegas.
Sesaat hening, Eliza mencoba tersenyum dan menghapus bulir bening itu.
"Aku nggak apa-apa kok. Selamat ya, aku juga bahagia kalau kalian bahagia," ujar Eliza sambil memeluk erat Amaliya.
Mihran dan Amaliya juga Eliza saling berpelukan. Pelukan hangat seorang sahabat.
Eliza pun ijin ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi sekolahlah, ia meluahkan semuanya. Eliza menangis sejadi-jadinya. Hancur, kecewa, semua bercampur menjadi satu. Namun, ia harus berusaha tegar dihadapan kedua sahabatnya itu.
"Mihran, kamu cinta sejatiku. Tetapi kenapa kamu lebih memilih Amaliya?"
Eliza pun semakin terisak. Namun, ia mencoba menghapus airmatanya dan kembali berkumpul bersama Mihran dan Amaliya.
Sejak hari itu, Eliza pun menghilang dan memutuskan meninggalkan Jakarta demi menghapus rasa cintanya untuk Mihran Ghazzal, sahabat yang dicintai tetapi mencintai sahabatnya yang lain.
****
"Eliza, kamu nggak usah nangis. Papa nggak apa-apa kok. Sebaiknya kamu pulang ke rumah saja. Kasian, kamu pasti capek. Dari Amerika, langsung ke sini. Pulanglah dulu, istirahat ya, El," bujuk Pak Riswan, Papa Eliza yang kini terbaring lemah karena penyakit jantungnya.
"Eliza mau di sini aja sama Papa," jawab Eliza sambil menyeka airmatanya.
"Kali ini, nurutlah sama Papa!" perintah Papa Eliza, Eliza pun akhirnya menurut dan ia pulang ke rumah Papanya.
Dalam perjalanan, pikiran Eliza terus menerawang pada masalalu. Ya, masa di mana ada kebahagiaan. Kenangan persahabatannya bersama Mihran, jauh sebelum rasa cinta itu menghancurkan persahabatannya dengan Amaliya dan Mihran.
Eliza pun memutuskan menyambangi sebuah cafe di mana dulu ia dan Amaliya juga Mihran sering hangout bareng. Sungguh, Eliza merindukan masa-masa itu. Kini, ia ada di pelataran cafe itu. Tidak terlalu banyak yang berubah saat ia masuk ke dalam cafe. Namun, saat ia melihat Amaliya dan Mihran duduk di sebuah sudut meja, Eliza memilih bergegas pergi.
Tiba-tiba, saat hendak keluar, ia bertabrakan dengan seorang pelayan.
"E-e, maaf, Mbak, saya buru-buru .... " ujar Eliza, kemudian bergegas pergi dan masuk ke dalam mobilnya.
Amaliya pun melihat, ia merasa melihat Eliza, sahabat yang sangat dirindukannya.
"Eliza?" batin Amaliya.
Ia mencoba keluar, tetapi Mihran menghalanginya.
"Sayang, kamu mau ke mana?" tanya Mihran yang bingung saat melihat istrinya itu berlari seolah melihat sesuatu.
"Kayaknya tadi itu Eliza deh, Sayang."
"Kamu pasti kangen banget, jadi seolah yang terlihat itu Eliza. Udah, Yuk, kita lanjut lagi makannya," bujuk Mihran, merangkul Amaliya dan melanjutkan makannya.
Di dalam mobil, Eliza hanya bisa menangis dan terus menangis. Ia menyesal, kenapa harus kembali ke cafe itu dan melihat kemesraan Amaliya dan Mihran.
"Mihran, sejauh mana pun aku pergi, kenapa Allah membawaku kembali ke sini, mempertemukan kita Kembali."
-----
"Ketulusan itu bukan hanya dibutuhkan dua insan yang saling mencintai, tetapi juga dalam sebuah persahabatan."
"Alia, Bunda pulang, Nak!" panggil Amaliya sesampainya di rumah mewah miliknya bersama Mihran.
Alia yang sedang bergurau dengan Oma Siska pun langsung bergegas pergi menghampiri Bunda dan Ayahnya.
"Bunda, Ayah, tadi keren banget. Coba Alia bisa ikut, kan masuk TV juga," celoteh Alia kecil membuat kedua orangtuanya tertawa.
"Liya, Eliza sudah pulang ke Indonesia?" ujar Oma Siska menunjukkan sebuah berita di gawainya.
"Tuh kan, berarti yang tadi aku lihat di cafe itu Eliza?" ujar Amaliya pada sang suami, Mihran.
"Nggak mungkin deh. Kalau tadi itu Eliza, kenapa dia nggak menghampiri kita?" ujar Mihran yang tidak yakin jika wanita yang sekilas dilihat Amaliya itu sahabat baik mereka yang lama menghilang.
"Kalian sudah ketemu?" tanya Oma Siska penasaran.
"Belum sih, Oma, cuma tadi aku sekilas lihat dia," jawab Amaliya.
Amaliya dan Mihran pun saling tatap, begitupun dengan Oma Siska yang bingung dengan kehadiran Eliza di Indonesia yang tiba-tiba setelah sekian tahun menghilang.
****
"Gimana kabarnya, Om?" tanya Amaliya, saat menjenguk Pak Riswan, Papa Eliza.
"Alhamdulillah sedikit membaik." Pak Riswan berusaha tersenyum, meski agak lemah.
Tiba-tiba, Eliza pun memasuki kamar perawatan papanya.
"El, lihat siapa yang datang?" tegur Pak Riswan saat melihat sang putri masuk.
Amaliya pun membalikkan tubuhnya dan saat melihat yang ada dihadapannya itu adalah Eliza, sahabat yang sudah lama dirindukannya, ia langsung berlari memeluk sahabatnya itu penuh erat. Amaliya pun tidak mampu menahan airmatanya terjatuh.
"El, kamu ke mana aja? Aku kangen banget! Hei, aku kangen banget," ujar Amaliya merangkul sahabatnya. Eliza terpana, ia syok tidak bisa berkata apapun.
Akhirnya Amaliya pun mengajak sahabatnya itu untuk hangout bareng di cafe tempat dulu biasa mereka berkumpul dengan Mihran.
"El, kamu kenapa sih? Sejak lulus SMA langsung menghilang aja, nggak ada kabarnya? Apa aku ada salah sama kamu? Udah bikin kamu kecewa, sampai kamu nggak mau ngehubungin aku?" cecar Amaliya.
Eliza diam, wajahnya panik karena bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin baginya mengatakan alasan yang sesungguhnya.
"Ly, kamu kan tahu aku pengen banget kembangin karirku di dunia model? Jadi ya udah, sekalian aja aku kuliah di Amerika," jawab Eliza datar.
"Tapi kenapa kamu nggak mau hubungin aku?" tanya Amaliya lagi.
"Bukan gitu, Ly, tetapi aku kehilangan kontakmu," ujar Eliza mencoba tersenyum.
"Oh, gitu." Amaliya tersenyum.
Namun, perkataan Amaliya selanjutnya, membuat Eliza salah tingkah. Bingung, harus menjawab apa.
"Ehya, gimana kalau malam ini kita ketemuan sama Mihran. Kan kita udah lama nggak kumpul bareng lagi. Sekalian kamu ajak tunangan kamu. Gimana?" ajak Amaliya.
Eliza bimbang, bagaimana mungkin ia bertemu kembali dengan Mihran? Cinta masalalunya yang sulit dilupakan.
"Duh, kayaknya nggak bisa deh, Liya, soalnya aku udah ada janji malam ini," jawab Eliza mencoba menghindar.
"Please!" Amaliya pun kembali memohon, mendesak sahabatnya itu agar mau membatalkan acaranya dan kumpul bareng lagi bersamanya dan Mihran.
"Ok, deh! Nanti jam 8 malam ya?" ujar Eliza.
Eliza pun menarik nafas panjang. Mereka akhirnya berpisah. Eliza kembali ke rumah sakit menemani Papanya yang masih lemah, sedangkan Amaliya kembali ke butiknya.
****
Eliza perlahan melangkahkan kakinya menuju lantai atas sebuah cafe. Terlihat, Amaliya sudah menunggunya di sebuah meja. Menikmati keindahan langit malam Jakarta.
"Bagaimana aku harus bertemu Mihran? Aku masih mencintainya hingga detik ini .... "
Eliza akhirnya kembali berbalik menuju meja Amaliya. Ia pun menguatkan hatinya untuk bertemu dengan Amaliya dan Mihran.
"Sudah lama nunggu?" tegur Eliza.
Amaliya pun berbalik arah, ia memeluk sahabatnya itu.
"Kamu sendiri?" tanya Eliza, berharap jika Mihran tidak jadi datang.
"Mihran masih ada meeting, nanti dia ke sini kok," jawab Amaliya tersenyum.
Amaliya pun balik bertanya soal tunangan Eliza.
"Kamu juga sendiri. Tunangan kamu mana?" tanya balik Amaliya.
"Sama, dia masih ada meeting. Biasalah cowok, lebih pentingin kerjaannya. Tapi dia nanti datang kok," ujar Eliza mencoba tersenyum.
"El, aku bahagia banget akhirnya kita bisa ketemu lagi. Ohya, sekarang aku udah jadi desainer lo," ujar Amaliya bercerita tentang dunia barunya.
"Iya, aku tahu. Siapa sih yang nggak kenal desainer papan atas," jawab Eliza tertawa.
"El, aku mau buatin baju pengantin buat kamu. Anggap aja ini hadiah pernikahan dari aku," kata Amaliya. Bulir bening itu tak bisa ditahannya lagi. Amaliya terharu, sahabat yang sudah dianggapnya saudara itu kini ada dihadapannya lagi setelah sekian lama pergi tanpa berita.
"Serius? Pernikahan aku tinggal seminggu lagi, Ly?" Eliza ragu, apa mungkin Amaliya bisa mengejar waktu.
"Buat kamu, aku rela bergadang. Aku mau kamu terlihat cantik dihari pernikahanmu, El," ujar Amaliya. Netranya menahan bulir bening itu, tetapi terlanjur keluar deras.
"Amaliya, jangan nangis dong!" kata Eliza.
Kedua sahabat itu berpelukan erat.
"Ly, aku ke toilet dulu ya." Eliza tak mampu lagi menahan airmatanya jatuh, rasa bersalah karena masih mencintai suami sahabatnya itu terus menghimpit dadanya. Semakin sesak.
Di dalam toilet, Eliza pun menangis. Rasa sesak itu sedikit berkurang. Eliza mencoba menghapus airmatanya.
"Apa kamu masih mau menganggapku saudara jika tahu kalau aku mencintai Mihran?"
Eliza pun keluar dari toilet. Gawainya pun berbunyi.
[Sayang, sorry banget, aku nggak biss ikut kumpul sama kamu dan sahabatmu. Meetingku belum selesai. Ini klien besar, jadi nggak bisa diwakilkan]
[Ya udah, nggak apa-apa]
[Sorry ya, Beb, lain kali kita kumpul bareng lagi ya. Sampaikan salamku buat mereka]
[Ok, nanti kusampaikan]
Eliza pun mematikan sambungan telepon itu sambil terus melangkah menuruni anak tangga hendak kembali ke meja di mana Amaliya menunggunya.
Tiba-tiba
Pikiran Eliza yang tidak fokus, membuatnya bertabrakan dengan seorang lelaki tampan dan bertubuh atletis, hingga gawainya pun terjatuh. Lelaki itu pun mengambilnya dan saat kedua wajah mereka bertemu, Eliza pun kaget. Kini ia tak bisa mengelak lagi.
"Berpuluh kilo aku menjauh darimu, tetapi semua kini percuma. Takdir membawaku kembali bersua denganmu, Cinta pertamaku .... "
bersambung ....