Sepasang mata coklat Wanita itu membelalak. Tiba-tiba seseorang berdiri dihadapannya.
Sial!!
"kau seperti melihat hantu" cibir Fabian mendengus kasar. "kenapa? kau takut?"
Miranda melengos, rupanya Fabian belum puas tadi hendak mengintimidasi dirinya.
"aku takut? kenapa aku harus takut?" balas Miranda tak ingin mundur selangkah pun "katakan apa yang kamu inginkan??"
Fabian mendekat perlahan kearah wanita yang menantangnya saat ini.
"kau mau tahu apa yang aku mau??" kali ini istri Damar itu bisa merasakan deru nafas Fabian yang berada dengan jarak dekat dengannya. "aku mau kau dan suami wayangmu itu enyah dari hidup adikku!!"
Miranda tertawa mengejek sembari mendorong tubuh Fabian agar menjauh darinya.
"kau sangat lucu!!" cibir Miranda terus tertawa, Fabian mengepalkan tinjunya, seandainya bukan wanita mungkin dia sudah menghajar si materialistis ini. "dengarkan aku, seharusnya yang pergi itu adalah adikmu sendiri, dia yang sangat menginginkan suamiku, bukan suamiku yang menginginkan dia" ujarnya sarkas.
Fabian merasakan dadanya terbakar, dia begitu ingin melumatkan wanita berambut kecoklatan didepannya.
Miranda memincingkan mata "kau ingin menyogok ku lagi seperti waktu itu, hah?! berapa uang yang mau kau berikan?"
"kau sangat menjijikkan....," hardik Fabian
Miranda mendengus kasar.
"anggaplah aku yang menjijikkan, dengarkan aku tuan Fabian Radjasa, aku memang telah mengorbankan suamiku sendiri demi uang, tapi kau harus tahu, ada sebuah janji yang tak harus aku ingkari demi uang!! kau paham itu?!"
"kau...." Fabian mengepal kuat tinjunya, hingga kulit putih itu nampak kehilangan darah.
bip!bip!
Ponsel Miranda berdering. Satu nama tertera disana. Sebuah panggilan dari suaminya.
"maafkan aku kakak ipar,, suamiku mungkin sudah datang, aku harus pulang, lain kali kita bicara lagi, senang bertemu dengan mu" ujar Miranda tetap tenang meskipun dia sempat gentar sebelumnya.
.
Saat ketoilet tadi sebenarnya Damar sudah minta Miranda mengirimkan lokasinya saat ini. Untung saja panggilan telepon itu datang disaat yang sangat tepat.
huft! hampir saja ....
Netra Fabian mengekori langkah Miranda yang hilang dikejauhan. Baiklah, tidak mudah menyingkirkan parasit itu dari kehidupan adiknya, dia akan gunakan cara lain dan si sombong Miranda akan menyadari posisinya.
***
Alya melambaikan tangan, mengucapkan terimakasih sudah diantar pulang kerumah. Singel parents itu tidak membawa mobil sendiri saat mereka tadi bertemu Luna.
Akh! Alya berharap kelak Luna tidak mempersulit temannya itu.
.
Sepanjang perjalanan pulang dari cafe, Miranda lebih banyak diam memandang gemerlap lampu jalan yang tampak indah, berkilauan.
Sungguh untuk memandang wajah pria disebelahnya rasanya dia tak mampu. Bayangan kebahagiaan dimana hanya ada keluarga kecil mereka seakan memudar tergerus kisah cinta segitiga.
"kamu kenapa?" tanya Damar melihat Miranda yang terdiam sejenak tadi.
"hah? A-aku.. aku cuma lelah"
"benarkah?" Damar mengelus lembut rambut istrinya sambil tetap fokus menyetir.
~aku ingin menangis!~ lirih Miranda dalam batinnya, jika hanya dia yang dihina oleh Fabian mungkin rasanya tidak sesedih ini, tetapi Damar, suami yang dia cintai harus ikut menanggung hinaan dan cibiran orang lain tentang dirinya yang dianalogikan seperti sebuah benda yang digadaikan demi membayar hutang!
"makasih mas..."
Damar mengerenyitkan dahi.
"untuk apa?"
"untuk semuanya, aku mencintaimu..," Miranda menyandarkan kepalanya dipundak pria yang masih membawa kemudi mobil.
Sungguh perasaan hangat yang tak mampu diucapkan. Bahkan kata cinta yang terkadang seperti sengatan listrik seolah tidak punya daya untuk memberikan kejutan didalam relung. Semua telah terbagi.
~Maaf kan aku mas... aku telah menacap duri dalam pernikahan kita~ lirihnya, menelan dalam-dalam tangisnya saat ini.
***
Tak berapa lama Damar dan Miranda tiba dirumah. Tampak Kinanti yang baru keluar dari kamar Putri kecil. Damar tercekat, sedari tadi Amanda bermain bersama Kinanti, menunggu mamanya yang tak kunjung pulang.
"Kinan?? Amanda sudah tidur?" tanya Miranda merasa bersalah.
"baru aja mba, dari tadi Manda cariin mba tapi sekarang udah tidur, aku bacain dongeng, terus juga ikut sholat isya bareng" cerita Kinanti membuat Miranda merasa sangat berterima kasih.
Sorot mata kinanti dan Damar bertemu, getaran bak melodi lagu cinta mengalir dalam darahnya. Dia senang setidaknya tatapan itu tidak dingin seperti sebelumnya.
Seharian ini, Kinanti yang mengurus Damar dan putri kecil, mengisi perut mereka dengan makan malam yang lezat, lalu mandi air hangat, dan bermain bersama putri kecil.
Miranda segera menemui putri kecil untuk menebus hari yang berlalu tanpa dirinya.
**
Dalam kamar dengan lampu tidur yang menyala Damar melangkah masuk, malam ini giliran dia harus tidur dikamar Kinanti, padahal dia masih merindukan sosok Miranda yang hanya beberapa jam dia temui hari ini.
"belum tidur?" tanya Damar mendapati istri kedua masih terjaga.
Kinanti menggeleng terus memandangi Damar yang masuk dengan menenteng laptop ditangan.
Pria itu mengambil posisi duduk di meja kerja yang menghadap ke jendela dengan pemandangan taman kecil di halaman belakang rumah.
"mau kerja??" cegat Kinanti menghampiri suaminya yang sudah terlanjur menyalakan laptopnya.
"uhmm.. ya, ada yang belum diselesaikan"
"jangan mencari alasan" sekak Kinanti dingin,
Damar berkilah "a- aku tidak mencari alasan, kamu tahu kan kita sedang ada proyek besar"
Gadis itu menyibakkan rambutnya.
"baiklah bapak Damar, kamu ngga akan rugi dengan tidur,oke.. kita tidur.." titahnya menarik lengan Damar.
"Kinan.. aku.."
"kamu punya asisten Damar, biar Sultan menyelesaikan sisanya "
Biasanya memang lelaki itu akan mencari alasan jika Kinanti belum tidur, dia akan tidur di sofa.
"percayalah kita ngga akan bangkrut cuma karena kamu tidur Damar.." Kinanti melompat ketempat tidur lalu menepuk posisi disebelah yang kosong.
Damar tidak mengerti akhir -akhir ini Kinanti tampak agresif, apa mungkin sesuatu telah terjadi, atau mungkin kepalanya terbentur sesuatu sampai jadi begini.
Pria itu sedikit canggung, dia mengambil posisi disebelah kinanti. Merebahkan diri dengan menatap langit-langit kamar. Gadis itu mendekati Damar lalu mendekat tanpa membuat jarak diantara mereka.
deg!
.
ya Tuhan,, bagaimanapun dia pria dewasa yang masih menyukai wanita, dan disebelahnya adalah seorang istri yang sah secara hukum dan agama!
"Damar..." suara Kinanti terdengar serak, rasa kantuk menyergapnya, beberapakali dia menguap.
"ya.."
"bicaralah tentang sesuatu sampai aku tertidur" pintanya kini memeluk tubuh kaku sang suami.
Damar tertawa.
"ada yang lucu?" rajuk Kinanti tanpa meloloskan pelukannya, dia menenggelamkan wajah pada tubuh dengan aroma maskulin bagai candu yang terus membujuknya untuk menghirup aroma yang memabukkan Sukma.
"tidak,, hmm.. baiklah apa yang mau kamu dengar?"
"peluk! aku cuma mau dipeluk" ilusi Kinanti diantara tidur dan tidak, dia baru saja hendak pergi ke alam mimpi
"heh?"
Tanpa basa basi Kinanti membimbing lengan Damar untuk melingkar di tubuhnya.
"bicaralah,, bukan kah semua masalah bisa selesai di tempat tidur?"
Damar berdelik. Mendengar ucapan sang istri yang tampak sudah menjejaki alam nirwana.
Sesekali gadis dalam pelukannya menggeliat, dia memberikan puk puk agar sang gadis tidak berbicara lagi atau akan meminta hal-hal aneh setelah ini.