"Oke Ridho aku paham, meski kamu tak bicara secara gamblang! Lihat saja nanti aku akan membuat mulut kamu membeberkan siapa jati diri kamu sekarang yang sebenarnya!"
Farhan bermonolog dalam batinnya sambil menutup resleting jaket dia setelah mengamankan uang pemberian Ridho.
"Rani?" desis Farhan.
Tiba-tiba dia ingat Rani, istrinya Ridho. Dia tertegun tapi tak lama setelah itu dia kembali berjalan untuk mengerjakan tugasnya.
"Tadi saat ketemu Ridho, sama sekali aku nggak ingat Rani. Saat berangkat aku nggak tahu lagi kondisinya bagaimana?"
Sambil bekerja mengecek barang yang baru masuk dari luar negeri lewat pesawat terbang, dalam benak Farhan tiba-tiba muncul nama Rani.
"Apa aku telepon saja ya! Aku beritahu dia jika aku baru ketemu Ridho," cetusnya.
Di sela-sela bekerja Farhan duduk santai sambil bersandar ke dinding gudang barang, karena dia bawa earphone yang ditempelkan ke lubang telinga jadi Farhan bisa menerima sambungan telepon sambil bekerja.
"Hallo Ran!" sapa Farhan.
"Ya Bang, ada apa?" balas Rani dengan suara yang sangat pelan sekali.
Mendengar nada bicara Rani yang mengundang rasa sedih tiba-tiba Farhan pun ingin menghentikan sambungan teleponnya namun dia tiba-tiba penasaran juga dengan kondisi te
rkini dari Rani.
"Maaf Ran, jika aku mengganggu! Apa kamu masih sakit? Apakah Ridho sudah menghubungi kamu? Kebetulan hari ini hari pertama aku bekerja lagi jadi aku belum cari informasi lengkap tentang Ridho ke perusahaan tempat dia bekerja,"
sst sst sst
Terdengar suara Rani terisak menangis, Farhan pun tidak tega melanjutkan obrolan dia.
"Ran,sebaiknya kamu istirahat dulu ya! Nanti aku hubungi kamu jika sudah ketemu nomor telepon Ridho!" tegas Farhan.
Tok Tok Tok
Suara seseorang mengetuk pintu gudang, di mana Farhan bekerja. Dia segera menyahutnya dengan meneriaki orang tersebut karena jarak ke pintu cukup jauh.
"Masuk saja!" teriak Farhan.
"Far, ada yang nyariin kamu tuh!" ujar temannya yang baru datang untuk menggantikan shift malam.
Dahinya mengernyit sebab selama ini jika bukan Bosnya tidak pernah ada yang mencari dia, tapi karena penasaran segera Farhan tergopoh mencari tahu.
"Ibu kan ...?" tunjuk Farhan terbata-bata.
"Ya, saya Monika. Apa bisa kita bicara sebentar?"
Jantungnya berdebar kencang karena kharisma perempuan yang pernah dia jumpai itu cukup membuat Farhan terkesima.
Farhan pun mengangkat pergelangan tangan dia untuk melihat jarum jam berputar ke arah mana.
"Kebetulan sebentar lagi mau ganti shift, kita mau bicara di mana Bu? Nggak mungkin dong di tempat kerja saya?" tanya Farhan.
Monika menelan salivanya sendiri lalu dia memberikan dua lembar uang seratus ribuan pada Farhan seraya berseru.
"Jika sebentarnya cuma beberapa menit saya tunggu di kafe sebelah kantor kamu ini! Namun jika lamanya masih dalam beberapa jam lagi kamu bisa kasih uang ini ke teman kamu sebagai penggantinya!"
Jiwa matrealismenya Farhan memang tengah menggebu-gebu, tanpa mempertimbangkan apapun dia langsung terima uang dua ratus ribu dari tangan Monika dan langsung dia masukkan ke saku celana jeansnya.
"Saya ganti seragam dulu ya Bu, saya pasti segera menyusul Ibu!" jawab Farhan.
Rasa senang mendapatkan uang dua kali tanpa dia duga dengan rentan waktu ke jadwal gajian masih lama membuat Farhan semangat untuk segera ijin ke bagian personalia. Meski cuma tiga puluh menit lagi tapi bagi Farhan menemui Monika sebuah tambang emas yang akan dia gali sedalam-dalamnya.
"Maaf Pak, teman saya yang mengganti shift saya kebetulan sudah datang. Jadi saya mohon ijin pulang lebih dulu dikarenakan ada kepentingan yang mendesak!"
Sempat sulit dapat jawaban ,tapi pertimbangan yang hanya tiga puluh menit lagi dan penggantinya sudah ada maka Farhan pun dipersilakan untuk pulang.
"Silakan! Tapi jangan keseringan! Karena lerusahaan ini bukan punya Nenek kamu,"
Bagian personalia memang terkenal tegas tapi bagi Farhan itu tidak mengapa, lantaran orang yang akan dia hadapi akan menjanjikan banyak perubahan bagi dirinya.
"Ya Pak terimakasih," sahut Farhan.
Setelah mengganti seragam, segera Farhan menuju kafe yang disebutkan Monika. Hanya butuh jalan kaki beberapa langkah Kafe tersebut sudah jrlas terlihat.
"Apa aku bau badan? Aduh aku nggak percaya diri begini sih? Oh iya aku kan punya parfum, semprot sedikit sajalah!"
Sebelum sampai tepat ke kafe tersebut, Farhan menyemprotkan parfum ke sebagian tubuhnya terutama bagian ketiak dan leher.
"Aku rasa ini sudah cukup! Yups Bos nya si Ridho sudah terlihat di sana tengah tumpang kaki, aku langsung saja hampiri!" tegasnya.
Jalan Farhan sangat percaya diri sekali, sambil sesekali menyisir rambutnya yang lurus itu dengan kelima jarinya. Berusaha tidak memperlihatkan gugup supaya tidak mengundang pertanyaan pada security yang tengah berdiri tegap di ambang pintu masuk.
"Saya mau menemui Ibu yang di meja no 40!"
Farhan menjemput bola dengan langsung mengungkapkan tujuannya pada sang security supaya tidak banyak bertanya.
"Oh iya silakan masuk!" sahut Sang security.
Monika pun langsung berdiri tatkala melihat Farhan masuk dab mendekat menuju mejanya, namun ketika Farhan sudah sama-sama berhadapan Monika malah mengajaknya ke ruangan yang lebih privat.
"Kita ngobrolnya pindah ke tempat yang tidak mengundang tanda tanya orang, terutama pemburu berita yang melihat wajah saya!" ajak Monika.
Sambil menyatukan ke dua tangan, Farhan menunduk serta mengangguk patuh pada Monika.
Sebuah ruangan yang lumayan tertutup, yang terdiri dari dua kursi saja. Dengan nuansa lampu warna warni menambah suasana di dalamnya romantis bak sepasang kekasih yang memadu asmara.
"Aduh, Ibu nggak salah ajak saya ke tempat seperti ini?" tanya Farhan sembari celingak celinguk.
Bukan hanya romantis, tapi bagi Farhan ini yang pettama kalinya dia menginjakkan kaki dia ke tempat mewah tersebut. Sekalipun dia ajak berkencan perempuan paling mewah ya ajak jalan-jalan ke mal sekedar jajan di tempat makan biasa yang harganya sesuai dengan isi kantong dia.
"Jangan GR (Gede Rasa)kamu! Saya ke sini itu hanya untuk menawarkan kerjasama!"
Langsung Monika bicara pada poin penting, supaya mempersingkat waktu lantaran dia bicara ke Ridho untuk sekedar beli jajanan.
"Iya Bu, tapi kok kenapa harus ajak saya? Memangnya saya punya kapasitas apa?"
Monika langsung mengangkat jari telunjuknya ke depan wajah Farhan dengan ekspresi tidak ada senyum sedikit pun.
"Di sini yang boleh bicara banyak hanya saya!" tegas Monika.
Segera Farhan melipatkan ke dua bibirnya ke dalam dan fokus a
mendengar apa yang akan Monika bicarakan.
"Ini kartu nama saya dan ini sejumlah uang yang akan kamu terima!"
Mata Farhan seketika melotot dan tangannya gatal ingin segera meraih amplop berwarna kuning tersebut t
yang masih dalam gengg
aman Monika.
"Tangan kamu tidak sabar kan ingin memegang sekaligus membuka isinya berapa? Tapi maaf ini tidak semudah yang kamu bayangkan!" tegas Monika.
***