Chereads / Terpaksa Mendua. / Chapter 22 - Farhan versus Ridho

Chapter 22 - Farhan versus Ridho

"Alhamdulilah, meski cuma seratus ribu. Ini sangat berarti bagi aku untuk bertahan hidup," gumam Rani.

Sambil merapikan dua lembar uang lima puluh ribuan dari Maya kakak iparnya dan Farhan, dia bermonolog karena rasa syukurnya tersebut melebihi rasa sakit yang tengah dia derita saat itu.

"Alhamdulilah juga Bang Ridho sudah ada kabar baik, meski tak langsung aku dengar namun aku harap dia bisa secepatnya pulang!" monolog Rani kemudian.

Pikiran positifnya ini pula yang sangat membantu pemulihan sakit lambung yang dideritanya saat itu.

"Suster!" panggil Rani pelan.

Kebetulan ada perawat lewat, Rani segera memanggilnya. Setelah dihampiri segera pula Rani memintanya untuk pulang.

"Sus saya mau pulang! Saya merasa sudah baikan kok," ujar Rani dengan ekspresi wajah yang dipaksakan ceria supaya sang suster percaya jika dirinya memang sudah sehat.

Suster mengernyitkan dahi dia lalu tanpa banyak bicara dia menawarkan Rani untuk memeriksa tekanan darahnya dulu.

"Saya periksa kestabilan darahnya dulu ya! Setelah itu saya bantu untuk konfirmasi ke dokter, karena yang paling berhak memutuskan pasien pulang atau tidak adalah dokter," tutur

sang suster.

Rani mengangguk patuh, tapi dia sudah sangat percaya diri jika dia akan diijinkan pulang. Dia duduk dengan ke dua kaki bergelantung di atas ranjang, dia menunggu sang dokter melepaskan infusan dari lengannya.

"Selamat sore Dek Rani!" sapa sang dokter.

"Sore dok, saya mau pulang karena perih dan mual di perut saya sudah hilang. Demamnya pun sudah hilang juga,"

Kesannya Rani seperti memaksa, sang dokter pun paham akan kondisi pasie

nnya tersebut. Namun dia tidak mau gegabah memberinya keputusan sebab tanggung jawabnya sebagai dokter cukuplah berat.

"Dek Rani, coba tidur kembali! Saya periksa dulu, jika memang hasil dari pemeriksaan sudah sembilan puluh persen stabil maka silahkan pulang!"

Kembali Rani pun harus berbaring lagi karena dokter akan memeriksanya terlebih dahulu sebelum diyakini jika kondisi Rani sudah pulih.

"Kalau mau pulang silakan, tapi di rumah harus istirahat total ya! Jangan banyak pikiran dan harus makan yang teratur! Makan dulu makanan yang lembut seperti bubur dan nasi tim!"

Rasa senang langsung terpancar dari wajah Rani yang manis tersebut, bangun lalu dan membenahi posisi duduknya lantaran suster mau membantu mencabut infus dari tangannya.

***

Singkat cerita, Farhan dengan segala upaya dia pun akhirnya bisa kembali ke Jakarta untuk bekerja lagi. Dalam waktu yang bersamaan Ridho pun sama telah kembali dari Lombok ke Jakarta.

"Itu kan Ridho, ngapain dia di Bandara? Apa dia pindah kerja ke Bandara?" tanya Farhan pada dirinya sendiri.

Farhan bekerja di bagian ekspedisi barang, setiap hari dia bolak balik ke Bandara untuk mengurusi barang yang keluar masuk dari luar negeri. Secara kebetulan Farhan melihat Ridho tengah mendorong saru koper besar.

Meski sebagian wajah ditutupi masker medis namun sebagai orng yang sangat dekat mengenalnya Farhan tetap mengenali Ridho apalagi dari cara dia berjalan.

"Do!" panggil Farhan.

Matanya celingak celinguk ke sekitar area dia berjalan mencari sumber suara.

"Do," panggil lagi.

Lagi dan lagi panggilan tersebut membuat mata Ridho harus mengedarkan pandangannya ke seputar tempat dia berjalan.

"Oke, dari cara dia menanggapi panggilan pendeknya. Aku yakin jika dia memang Ridho!"

Farhan sangat percaya diri jika pria yang tengah dipanggilnya itu adalah Ridho, teman sekampungnya dan kebetulan sama-sama bekerja di kota besar namun Farhan jauh lebih dulu sedangkan Ridho baru masuk masa training.

"Tapi apa aku nggak salah lihat? Penampilannya kok jauh banget ya? Dan siapa perempuan berkaca mata hitam di sampingnya itu? Wah fillingku nggak beres nih si Ridho,"

Perlahan dari arah yang berlawanan Ridho dan Farhan saling berjalan dan bertemu lalu saling menyapa, meski sempat gugup namun Ridho berhasil menetralkan situasi.

"Hai Rid? Kamu kok keren amat sih, dan kamu dari mana? Apa kamu pindah kerja?"

Monika yang ada di sampingnya merasa gregetan ingin menyambar mulut Farhan yang nyerocos bertanya sambil memperhatikan penampilan Ridho dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

"Nggak sopan amat sih nih orang, nggak tahu apa saya ini Bosnya Ridho sekaligus istrinya," Monika mengomel di dalam batinnya.

Dengan ekspresi wajah menahan senyum Monika mencoba santai menunggu Ridho menjawab apa pada Farhan.

"Kenalin ini Bos aku Far! Aku habis ada tugas dari luar kota jadi aku baru turun dari pesawat,"

Sambil mengernyitkan dahi, Farhan tersenyum kecil lalu menjulurkan tangan pada Monika mengajaknya berkenalan.

Tak ada kata-kata tanggapan apapun dari Farhan, namun sorot mata tajam tertuju pada bahasa Ridho yang tak biasa berbohong.

"Oh ya, saya pulang duluan ya! Kalau kalian mau ngobrol-ngobrol silakan lanjutkan!"

Monika peka dengan kondisi psikologis Ridho yang saat itu seperti serba salah, tak mampu menahan keputusan serta langkah Monika juga namun dalam batinnya segera akan kondisikan Farhan terlebih dahulu.

"Ya Bu, terimakasih," sahut Farhan.

Tangan Farhan pun menarik tangan Ridho menuju kursi yang disediakan pihak Bandara untuk duduk santai di sana sambil menunggu jadwal berangkat atau istirahat saat hendak pulang.

"Bahasa tubuh kamu tidak bisa membohongi aku Rid! Katakan siapa perempuan tadi? Dan di mana sebenarnya kamu bekerja sekarang? Aku sampai bingung cari kamu, sebab telepon kamu sulit dihubungi!"

Ridho terdiam lalu meneguk air minum dalam kemasan botol yang dia selipkan di samping tas ranselnya.

"Gila emang kamu ya? Sepatu yang kamu pakai saja nggak mungkin aku beli dengan gaji UMR aku, kamu yang masih training kok bisa sih? Belum ditambah jaket jeans kamu ini, kaos juga, celana jeans juga, dan koper ini! Setahu aku kamu berangkat ke Jakarta cuma bawa beberapa potong baju dengan tas ransel butut,"

Ridho biarkan dulu Farhan mengoceh sepuasnya, sambil menyandarkan punggung dia ke kursi tunggu berbahan besi Ridho menunduk tanpa berani menatap Farhan.

"Hei, Rid! Kamu dengar kan aku ngomong apa? Jawab dong!" desak Farhan.

Mulutnya seperti kena lem, tak mampu mengeluarkan satu patah katapun. Lalu beberapa saat kemudian dia mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dari dompet berbahan kulit yang masih baru pula. Hal tersebut semakin membuat Farhan bertanya-tanya.

"Kamu masih tinggal di tempat yang dulu kan? Ini ada sedikit untuk bayar kos-kosn kamu, anggap saja sebagai ganti pada saat aku numpang saat kemarin! Aku masih ada urusan pekerjaan jadi aku pulang duluan ya!"

Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut Ridho , tidak ada jawaban yang berarti dari semua pertanyaan Farhan. Namun beberapa lembaran uang berwarna merah itu membuat bibir Farhan merekah karena dia berniat membayar hutang pada temannya di kampung bekas ongkos ke Jakarta.