Seorang gadis dengan motor matic hitam, baru saja tiba di tempat parkir sebuah perguruan tinggi. Baru saja ia ingin memarkirkan kendaraan, namun sebuah motor sport merah justru menyerobot tanpa dosa dan menempati tempat sudah biasa ditempati.
"Apa-apaan sih, Lo?! Gue yang dateng duluan, enak banget lo main serobot aja!" tegurnya, pada lelaki yang baru saja turun dari motor dan membungkuk untuk bercermin.
Menarik sangat dalam napas ketika teguran diabaikan, gadis berbalut celana jeans panjang itu membuka kaca helm. Motor masih menyala, di gas olehnya hingga menabrak motor milik lelaki sudah dikenal siapa orangnya.
"Lo gila?!" terkejut Aldo, menegapkan tubuh dan menoleh. Berjalan mengintip ke arah belakang motor kesayangan, Aldo memeriksa dengan mata lebar.
"Motor gue," lirihnya menyentuh spakbor belakang. Aldo menoleh tajam pada Luna, gadis yang masih bertengger di atas motor tanpa merasa bersalah.
Aldo memukul kencang tempat spidometer motor Luna, "ganti rugi gak, Lo?!" membeliak sempurna.
Luna mengabaikan, manik matanya sibuk mencari-cari tempat kosong, mengingat sebentar lagi kelas akan segera dimulai. Menangkap adanya satu tempat kosong di ujung, Luna memundurkan motor dan memutar setang untuk segera memarkirkan kendaraan.
"Eh, gue lagi ngomong!" teriak Aldo, sekali lagi tak dipedulikan olehnya yang sudah memosisikan kendaraan.
"Udah telat lagi!" kemam Luna, melihat jam analog melengkapi spidometer. Buru-buru ia melepaskan helm, turun dari motor dan berlari menuju kelas di lantai atas.
Melewati tubuh Aldo yang masih berdiri dengan memasang wajah kesal, Luna mengabaikan seolah lelaki tampan bertubuh tinggi itu hanyalah sebuah patung.
Aldo merapatkan gigi putihnya, kaki panjangnya melebar dengan tangan kanan menjangkau tas ransel warna biru muda Luna. "Enak aja lo mau pergi!" kata Aldo seraya menarik tas, menghentikan langkah darinya yang meronta kasar lalu menoleh tajam.
"Apaan lagi?! Gue ada kelas!" sinis Luna.
"Lo kira, gue peduli?! Ganti rugi gak kerusakan motor gue?!" tegas Aldo.
"Lo kira, gue peduli?! GAK!" sahut Luna mengulang kalimat sama, membentak pada kata akhir hingga kedua pundak Aldo terangkat bersamaan.
"Dasar gila! Lo mau bikin gue kena serangan jantung?!" protes Aldo, mengusap dada cepat. "Suara sama ember pecah gak ada bedanya, haran gue! Tuh emaknya ngidam apaan coba pas dulu?" gumamnya pelan.
"Ngidam bapak lo main barbie!" sarkas Luna, berbalik badan meninggalkan tempat parkir.
"L-lo—," terhenti protes hendak diutarakan. "Gila! Tuh cewek apa baling-baling bambu, cepet banget ilangnya? ucap Aldo, mengamati punggung menggendong tas ransel sudah tidak ada lagi.
Aldo meletakkan kedua tangan pada pinggang, menoleh pada motornya dan memejamkan kedua mata. Berjalan ke arah motor, mengambil tas ransel hitamnya, ia mengabaikan motor dan pergi ke kelas.
Keduanya memang sudah terlambat untuk mengikuti kelas, tapi sepertinya itu bukan masalah besar bagi Aldo, karena dia adalah putra pemilik kampus.
Akan tetapi, bukan itu yang membuat Luna terlampau kesal padanya dan menyiratkan kebencian tanpa keraguan. Mereka sudah bermusuhan dari bangku SMA, di mana Aldo adalah kakak kelas dua tingkat Luna dan merupakan anak OSIS yang telah dicoret dengan tinta merah dalam hidupnya.
Bagaimana tidak, Aldo sudah membuatnya sangat malu ketika MOS dulu, memberikan syarat untuk menyatakan cinta di tengah lapangan hanya demi sebuah tanda tangan. Parahnya, Aldo justru menolak mentah-mentah di depan semua anak juga guru, seakan terlempar kotoran wajah Luna saat itu.
Tak pernah tahu jika musuh bebuyutannya ada di kampus sama, lebih apesnya lagi adalah itu yayasan milik keluarga Aldo. Sudah tidak mungkin bagi Luna mundur, mengingat biaya cukup besar dikeluarkan oleh kedua orang tuanya serta upaya mati-matian dirinya untuk bisa diterima.
Awal mula Luna berusaha sekuat tenaga untuk diterima di kampus itu, adalah karena Noah—lelaki yang dicintainya dari pertama masuk SMA hingga sekarang. Meski, tak pernah ia berani mengutarakan pada seseorang yang menjadi idola banyak kaum hawa itu.
Ya, meskipun tak sebanyak penggemar Aldo memang. Bisa dibilang, Noah adalah deretan ketiga dari urutan cowok paling populer. Karena posisi pertama selalu ditempati oleh Aldo, dan kedua sahabat baiknya yang merangkap urutan nomor dua sekaligus, karena memiliki penggemar seimbang.
Selain keturunan dari orang kaya dan memiliki nama juga pengaruh, ketiganya memiliki wajah yang tak bisa dikatakan jelek. Postur tubuh mereka juga hampir mendekati sempurna, kemahiran bermain basket juga musik pun menambah daya tarik tersendiri.
Siapa yang tak akan meleleh karena ketiganya? Bahkan sepertinya, semua juga akan rela ketika suara harus habis, hanya demi meneriakkan nama mereka setiap kali terlihat oleh mata.
Padahal, tidak sedikit dari gadis-gadis itu harus menangis meraung-raung, pindah sekolah karena malu atas cinta yang ditolak, juga dijadikan bahan hinaan oleh seluruh penghuni sekolah, karena cinta diutarakan tidak pernah disambut baik.
Entah buta atau apa, tapi sepertinya tidak ada yang menjadikan hal buruk itu sebagai pelajaran, dan tetap saja banyak yang mencoba untuk mendapatkan ketiga sahabat itu, terutama Aldo. Hal itu terlalu memuakkan bagi gadis yang sudah menempati kursinya di dalam kelas.
"Apaan sih lo, Nis?!" tegur Luna melihat sahabat baiknya menutup wajah dengan buku ekstra tebal.
"Gue takut lo sembur," polos gadis berkacamata tebal itu menjawab. "Lo lagi baca jampi-jampi kan sekarang? Habis itu, lo bakalan nyembur air dari mulut lo, kan?" susulnya masih menyembunyikan wajah.
Luna menghela napas, menarik buku bersampul putih temannya. "Gue juga mikir-mikir buat kasih jampi-jampi ke orang! Seenggaknya, aktor seksi yang tampan bakalan gue jampi-jampi duluan, bukannya lo, Nisa!"
"Emang bisa kalau jampi-jampi artis? Bantuin gue dong, Lun. Gue cinta banget tuh sama satu aktor Korea, nanti gue traktir deh kalau sampai jadian. Mau ya? Bantuin gue!" cerca Nisa.
"Serah!" malas Luna, menarik kasar tas di atas meja dan memindahkan ke bawah.
"Bukan Serah, Lun. Emang ada ya aktor Korea namanya Serah? Gue gak pernah denger tuh," sahut Nisa.
"Aduh! Tau ah, gelap!" Luna menggaruk rambut belakang hingga acak-acakan.
Nisa mengabsen sekitar, bahkan tubuh sampai menempel pada meja demi bisa mengintip keluar pintu kelas yang cukup jauh dari pandangan. Luna mengernyitkan alis, perasaan sudah tidak enak mendapati sahabatnya bertingkah macam itu.
"Ih, Luna. Ini kan siang, mana ada gelap?" kemam Nisa. "Kayaknya lo butuh kacamata deh," sambungnya.
"Haduh, idup gini amat ya?! Mati aja lah mati!" mengeluh Luna, bibir dengan garis tegasnya dipukul keras oleh Nisa cepat dan mengejutkan. "Lo ngapain gampar gue, Nis?" memelas Luna memegangi bibir.
"Gak boleh ngomong gitu! Dosa! Orang tuh, gak boleh gampang nyerah sama hidup, harus ada perjuangannya. Ngerti gak?" tutur Nisa, melengkung ke bawah bibir Luna siap menangis kencang. "Jangan nangis, lo harus semangat! Oke?! Ada gue yang bakal nemenin lo, Lun! Semangat!" sambungnya ceria, mengepalkan tangan memberi semangat.
Luna meliriknya, menggigit bibir bawah kuat memasang wajah pasrah nan memelas. Nisa memang sedikit lemot, butuh penjelasan panjang untuk berbicara dengannya.
Mungkin, itu yang membuatnya selalu dibuli selama ini, dijauhi oleh beberapa anak dan hanya Luna yang bersedia menjadi kawannya. Membela setiap kali ada yang mengerjai Nisa dari saat duduk di bangku SMP, dan dari saat itulah mereka tak pernah berpisah, selalu berusaha masuk dalam tempat mengenyam pendidikan bersama.