Pemandangan yang jarang terjadi saat semua siswa dan siswi berlarian menuju gedung olahraga sekolah. Dea sama sekali tak mengetahui apa yang tengah terjadi saat ini. Obsidiannya sampai pusing melihat keramaian ini, pun memekakkan telinga ketika suara sepatu yang beradu dengan tanah. Sampai Dea mencegah salah satu siswi yang berjalan.
"Ada apa?" tanyanya.
"Akan ada artis yang datang ke sini,"
Detik itu juga Dea mengerutkan kedua alisnya, membiarkan siswi itu melanjutkan langkahnya. Masih berdiri di ambang pintu kelas menyaksikan banyaknya murid yang mulai memasuki gedung olahraga dengan tidak sabaran. Pun selepas sahabatnya menghampirinya, keduanya turut berjalan mengikuti semua orang.
"Apa dia bilang?" tanya Arin—sahabat Dea.
"Akan ada artis,"
"Siapa?"
Hanya gelengan yang Dea berikan, pasalnya dia sendiri juga tidak mengerti siapa yang akan menjadi bintang tamu di sekolah ini, begitu juga dengan tujuannya. Karena rasa penasarannya memuncak, Dea sengaja mengajak Arin untuk melewati jalur terjauh menuju gedung olahraga. Melewati lobi sekolah, berharap ada sosok bintang yang telah menunggu di sana. Sayangnya itu semua tak sesuai harapan, yang berada di sana hanyalah para kru yang memegang kamera serta beberapa lampu sorot.
Ada sedikit dengusan kekecewaan, namun tak berlangsung lama saat ia terkejut Arin menarik pergelangan tangannya lantaran pintu gedung olahraga yang akan ditutup. Mereka berdua akan terlambat jika tidak segera berlari. Memang agak menyesal karena memilih jalur terjauh sampai tidak mendapatkan hasil yang baik, dan kini mereka berakhir dengan berlari. Beruntung, guru konseling itu masih memberikan kesempatan mereka untuk masuk ke dalam gedung olahraga ini.
Turut bergabung dengan teman-teman satu kelasnya, Dea dan Arin mengatur nafas yang masih tersengal. Dea mencoba untuk melongok melihat benda apa yang ada di depan para murid ini. Hanya ada spanduk dengan tulisan yang tak Dea mengerti maksudnya, tertempel rapi di dinding polos berwarna putih itu. Usahanya yang sampai mencari tulisan itu di internet pun tidak membuahkan hasil.
"Apa itu judul acara ini?" tanya Arin dengan suara lirih.
"Mungkin," jawab Dea.
Walaupun tidak semua berbicara, tapi ruangan ini menangkap banyak suara yang diciptakan oleh para murid. Entah itu yang mengobrol atau bermain game online di ponselnya. Pikiran Dea kini lebih jauh, saat melihat pintu gedung yang dipilih untuk ditutup rapat. Padahal ditutup ataupun tidak, semua siswa dan siswi akan mengetahui siapa artis yang akan datang, persetan dengan kata 'kejutan'.
Yang semakin membuat kesal adalah disaat mereka harus menunggu lebih dari lima belas menit untuk berada di ruang olahraga yang tertutup rapat. Jika memang artis belum lengkap, lebih baik dikumpulkan nanti. Hingga pada akhirnya, guru yang menjabat sebagai kesiswaan datang mengambil salah satu pengeras suara yang menyala. Memberi tahu jika ada perubahan dari rencana awal, yang mana para artis akan menghampiri masing-masing kelas dua belas.
Memang membuat kekesalan, 'kan? Bahkan, mereka mengatakan jika perubahan ini bertujuan untuk mempermudah mereka berkomunikasi dengan para siswa dan siswi. Tak ada kuasa atas perintah itu, semua murid dengan langkah terpaksanya memasuki kelas. Tak sedikit yang meracau lantaran lelah menunggu dan berakhir akan melakukannya di kelas.
***
Di kelas ini nampak semua murid yang telah duduk pada kursinya. Menunggu hal apa yang akan mereka dapatkan nantinya. Hingga seorang wanita datang bersama dengan gadis kecil yang merupakan putrinya dari wanita itu. Iya, yang datang adalah wali kelas mereka. Beberapa ada yang penasaran ketika wali kelas mereka membawa putrinya untuk datang ke kelas ini. Namun, seketika semua pasang mata teralihkan melihat para artis yang mulai memasuki kelas ini diikuti kru yang siap merekam.
Dea masih abai kendati ia merasa penasaran, dengan segera melepas pandangannya dari ponsel setelah mendapat senggolan dari Arin karena para artis mulai memasuki kelas mereka. Betapa terkejutnya Dea melihat ada tiga artis yang masuk, salah satu dari mereka adalah artis kesukaannya.
Julio adalah penyanyi sekaligus aktor kesukaannya. Melihat perawakan laki-laki itu membuat Dea menutup mulutnya yang terbuka. Gadis itu terlampau bahagia kedapatan artis kesukaannya yang memasuki kelas ini. Sebisa mungkin ia meredam teriakannya dengan telapak tangan. Arin yang berada di sebelahnya tampak terkejut dengan reaksi Dea yang hampir tidak pernah ia lihat.
"Kau menyukainya?"
"Iya!" suara Dea terdengar lantang.
Saat semua sudah berkumpul di kelas ini, Dea sama sekali tak memutus pandangannya pada Julio yang nampak bersinar di maniknya. Pun gadis itu nampak berbinar menatap Julio dari jarak beberapa meter. Guru mereka pun juga sudah bangkit untuk mengawali kegiatan di kelas ini. Sejenak meninggalkan sang putri yang asyik bermain pensil warna di meja guru.
"Jadi, kedatangan mereka adalah untuk melakukan promosi dari film yang mereka bintangi. Film ini ditujukan untuk para kelas dua belas yang sebentar lagi akan lulus," jelas wali kelas itu.
Baru beberapa menit menjelaskan, secara mendadak putri dari wali kelasnya merengek agar bisa terus menempel dengan sang ibu. Dari kejauhan sini, Dea tak tega jika gadis kecil itu nantinya merengek karena diabaikan oleh ibunya, pun hatinya tergerak untuk mengajak gadis kecil itu bersamanya. Bukan mencari perhatian, tapi jika berhubungan dengan anak kecil, Dea tak tega mendengar tangisan itu.
Berhasil menarik perhatian gadis kecil itu, Dea memangkunya dan memberikan beberapa mainan dari lipatan kertas agar gadis kecil itu anteng. Dengan begitu, Dea bisa kembali memperhatikan apa yang dijelaskan oleh guru dan para artis.
Di sana Dea sangat memperhatikan semua yang dibicarakan oleh para artis—selain menikmati visual Julio. Sesekali memperhatikan anak dari wali kelasnya ini dengan perlakuan lembutnya, sampai pada akhirnya gadis kecil itu tertidur dalam pelukannya—saking nyamannya.
"Agar pertemuan kita ini tidak terlalu serius, kita ingin adakan mini game. Tiga orang dengan akan dipilih untuk memilihkan pakaian untuk kami bertiga," kata salah satu dari ketiga artis itu.
"Kau bisa memilihnya duluan, Julio" ucap artis lainnya pada Julio.
Nampak kedua bola mata Julio bergulir ke banyak siswa dan siswi, namun pandangan itu berhenti pada seorang gadis yang tengah memangku gadis kecil yang tertidur. Dea adalah penggemar yang beruntung yang dipilih langsung oleh idolanya. Jujur saja, Dea sama sekali tak mampu menahan senyumnya.
"Apa alasan kau memilihnya?"
"Aku hanya tertarik ketika melihat dia mengurus anak kecil. Begitu lembut," jawab Julio.
Wali kelas itu menghampiri Dea untuk mengambil putrinya dan dibawa menuju ruangan guru—satu-satunya tempat dimana ia bisa menitipkan sang putri. "Ibu akan membawanya ke ruangan guru, dan tolong jangan membuat malu kelas," titah sang guru bersamaan mengambil putrinya.
Gadis itu mengangguk patuh, ia juga beranjak dari kursinya guna bergabung dengan kedua temannya yang sudah berada di depan. Dea berada di samping kanan laki-laki itu, memasang senyum tipis lantaran terus membayangkan jawaban Julio tadi. Sungguh, ia tersipu mendengarnya.
Sudah disediakan tiga tirai yang akan menjadi penutup untuk artis dan tiga murid ini. Cukup merasakan gugup saat dirinya dan Julio berjalan masuk ke dalam tirai itu. Dea sampai kesulitan untuk menelan ludahnya sendiri.
"Hai, Kak Julio. Aku penggemarmu, namaku Dea," ucap Dea yang mengawalinya dengan perkenalan.
Anggukan Julio itu mampu membuat sepasang tungkainya terasa lemas, serta senyuman yang tak bisa luntur walau untuk satu detik saja.
"Aku percayakan padamu. Kuharap kau memiliki selera yang bagus," pinta artis tampan itu.
Tugas Dea dan kedua temannya itu tak hanya memilihkan pakaian, bahkan mereka juga bisa mengubah gaya rambut yang sesuai. Ini permintaan para artis, bukan atas kemauan para murid. Pun dengan seksama Dea memperhatikan satu persatu semua pakaian yang disediakan. Sampai sorot tatapnya terarah pada sebuah kaos putih dengan garis-garis tipis berwarna biru tua yang akan dipadukan dengan jas berwarna biru tua juga. Untuk celana, Dea memilih untuk tidak mengubahnya.
"Aku tidak akan mengubah gaya rambutmu. Kau hanya perlu memakai pakaiannya saja. Aku akan menunggu di luar," saat langkahnya hendak keluar, mendadak tertahan mendengar kalimat laki-laki itu.
"Saat ini kau menjadi make-up artist yang tengah mengurusku. Bantu aku,"
Astaga, demi apapun Dea rasanya ingin berteriak sekeras mungkin. Atau bisa saja ini hanya fantasinya, tapi merasakan pergelangan tangannya yang dipegang dan Dea dapat merasakan hangatnya tangan itu, ia yakin jika ini memang nyata. Lantas hanya anggukan kecil yang dia berikan sebagai respon.
Detik berikutnya, Dea memperhatikan saat Julio melepaskan jaket hitamnya. Menampilkan tubuh dengan kaos tanpa lengan serta tato yang menghiasi lengan kanannya. Pertama kalinya ia melihat jelas tato milik Julio.
"Apa boleh kupegang?" tanya Dea—entah sadar atau tidak.
"Tentu saja,"
Jari telunjuknya mulai menyentuh epidermis yang sudah berisi oleh tinta permanen. Menjelajah dari lengan atas hingga bawah, wajahnya menunjukkan rasa takjub dengan seni ini. Pikir Dea, hanya sesama teman artis dan para make-up artist yang melihat tato ini dengan jelas. Dan kini, Dea adalah orang yang juga dapat melihatnya secara langsung.
"Kau menyukainya?"
"Iya," jawab Dea dengan malu.
Selang beberapa detik, Dea terkejut saat pinggangnya ditarik mendekat ke arah Julio, mengikis jarak antara tubuh mereka. Pun tanpa seizin Dea, laki-laki menaruh bibirnya pada bibir Dea, membuat gadis itu terbelalak. Tangan kanan yang berada di udara, dituntun untuk meletakkannya di atas pundak kiri Julio.
Tak lama, Julio melepaskan lebih dulu, menatap Dea kelewat lekat dengan senyuman tipis. "Berapa usiamu?" tanyanya lembut.
"De-delapan belas tahun," jawab Dea dengan amat gugup.
"Jika kita bertemu lagi, maka akan aku pastikan kau menjadi milikku," tuntasnya yang langsung mengenakan pakaian pilihan Dea tadi.