"Apa kau akan langsung bekerja?"
Adalah suara sang ibu yang melambung saat meletakkan makanan di atas meja makan. Mendengar cerita putrinya semalam tentang posisi yang dilamar, membuat ibunya agak penasaran. Pasalnya, putrinya ini adalah lulusan baru dan tentunya belum memiliki pengalaman apapun. Takutnya jika Dea akan kesulitan atau mungkin mendapat banyak teguran dari pihak salon. Tentu saja sang ibu merasa khawatir dengan putrinya.
"Sepertinya belum," jawabnya bersamaan dengan duduk. "Mereka bilang aku harus menjalani pelatihan. Sebenarnya, cukup khawatir juga karena ini salon besar,"
"Yang terpenting kau tidak mencoba untuk membuat kesalahan," tutur ibunya.
Ibu dan anak itu kini tengah memakan sarapan bersama. Memang ini lebih pagi dari biasanya, karena sang ibu akan berangkat ke pasar lebih dulu, sedangkan Dea masih ada waktu sekitar satu sampai dua jam lagi untuk keluar dari rumah. Masing-masing memiliki kunci rumah, jadi tak masalah siapapun yang akan pulang lebih dulu.
Wanita paruh baya itu mengunyah seraya menatap Dea yang sibuk memeriksa semua barang yang akan dibawa. Rupanya tak banyak yang dimasukkan ke dalam tas hitam Dea, hanya barang-barang pribadinya. Entahlah, ibunya tak mengetahui tentang itu semua, jadi membiarkan sang anak yang mengurusnya.
"Jangan sampai ada yang tertinggal," pesan ibunya bersamaan mengangkat piring kotor yang akan dibawa ke wastafel.
Ibunda Dea telah bersiap untuk pergi, menitipkan beberapa pesan pada sang putri untuk tidak lupa menutup semua jendela serta membuang sampah sebelum mengunci rumah. Tentu saja agar tidak tercium bau busuk di sekitar rumah mereka.
Kini tinggal Dea seorang diri, merasakan debaran jantungnya sendiri menunggu waktunya untuk berangkat ke salon. Di bawah sana, kaki gadis itu tak dapat diam, melampiaskan rasa gugupnya. Ya ampun, belum apa-apa saja, perutnya terasa sakit. Panggilan alam terus memaksanya untuk pergi ke kamar mandi. Tak ada waktu untuknya bolak-balik ke sana, yang ada semakin mempercepat detak jantungnya.
Dea sudah melakukan semua perintah ibunya, sebelum akhirnya tungkainya membawanya keluar rumah. Kunci rumah itu ia masukkan ke dalam tas, berjalan menuju jalan raya demi mencari angkutan untuk sampai ke salon. Hari pertamanya ini sangat mendebarkan.
***
Memasuki tempat ini lagi sangat membuat Dea sampai linglung, lantaran tak tahu harus kemana dan melakukan apa. Bagian resepsionis pun tak menampilkan adanya seseorang di sana. Ditambah, Dea melihat ada beberapa artis yang telah datang ke tempat ini. Semakin tak bisa mengatur ritme jantungnya. Dea sampai menggigit bibir bawahnya, menyaksikan satu artis mampu disentuh oleh dua sampai tiga pegawai di sini.
Hingga gadis itu terkejut selepas merasakan pundaknya disentuh oleh seseorang. Pandangannya yang tengah asyik memperhatikan kegiatan itu, seketika terbuyarkan melihat sosok yang mewawancarainya kemarin berdiri dengan senyuman hangat. Tangannya yang menyatu di depan tubuh, menambah kesan yang kuat dari sosok pemilik salon kecantikan ini.
"Bagaimana? Sudah siap?" tanyanya.
Tampak Dea mengangguk yakin. "Saya siap," jawabnya penuh antusias.
Lantas gadis itu dibawa oleh sang pemilik menuju tempat yang tidak jauh dari gedung ini. Sepertinya memang dia akan mendapat pelatihan dari pihak salon sebelum turun tangan guna melakukannya sendiri terhadap para pelanggan. Ada beberapa gadis lainnya yang ternyata juga mendapatkan pelatihan. Namun tak banyak, ia rasa salon ini sangat selektif memilih calon pegawai. Dea beruntung bisa mendapatkan kesempatan emas ini.
Bergabung bersama mereka untuk pertama kalinya cukup membuat Dea hampir kehilangan kesadarannya. Bukan karena dia ingin pingsan, melainkan rasa gugupnya yang terlalu menguasai tubuhnya ini menjadikan Dea tidak fokus dengan tujuan utamanya. Ini adalah pengalaman pertamanya berada di salon mewah—oh bukan, lebih tepatnya tempat pelatihan yang merupakan bagian dari salon mewah itu. Tak hentinya dengan mengigit bibir bawahnya karena terlalu gugup. Beruntung, seseorang mengajak dirinya berbicara terlebih dahulu. Dea adalah orang yang kaku untuk memulai percakapan.
Dea menduduki salah satu bangku yang kosong. Di atas meja terdapat banyak benda yang akan digunakan untuk mengikuti pelatihan ini. Dirinya juga melihat ada kepala manekin yang masih polos, beberapa wig dan jenis rambut-rambut lainnya, serta barang-barang yang masih belum Dea tahu namanya. Baru kali ini Dea melihat peralatan yang digunakan untuk pelatihan pun tidak jauh berbeda dengan yang berada di salon. Rasanya takut untuk menyentuh dan malah merusaknya. Biaya ganti ruginya pasti sangat mahal.
Seorang instruktur yang berada di depan itu tengah menjelaskan hal-hal mendasar pada semua peserta pelatihan. Memasang telinga dan mata untuk menangkap semua suara dan gambaran yang berasal dari instruktur itu. Setiap detailnya, Dea coba untuk merekamnya dalam ingatan.
Sampai sekitar tiga jam berlangsung kegiatan tersebut akhirnya dijeda—istirahat. Dea dan teman-teman barunya tengah mengistirahatkan diri, memakan makan siang yang disediakan. Sembari menghabiskan, Dea kembali melanjutkan obrolan bersama para calon pegawai yang lain. Mereka saling memperkenalkan diri satu sama lain, karena beberapa bulan kedepan, mereka akan terus bertemu dan bekerja sebagai tim.
"Aku tidak menyangka akan berada di tempat yang sama dengan para artis terkenal," ucap salah satu gadis di sana.
Dea yang tengah mengunyah makanannya itu tersenyum kala melihat gadis yang usianya dua tahun lebih muda darinya itu sangat bersemangat. "Tapi, daripada mengharapkan bertemu dengan artis, lebih baik mengutamakan kemampuan diri dan finansial," tutur Dea.
"Oh, kalau itu tidak usah ditanyakan. Aku juga membutuhkannya," jawab gadis bernama Caca itu.
Secara tiba-tiba, mereka mendengar suara peserta pelatihan lainnya yang ramai membicarakan sesuatu. Karena rasa penasarannya, Dea dan Caca mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tidak, hanya Caca yang bangkit dari duduknya dan bertanya pada para gadis yang sedang tersenyum setelah melihat seseorang keluar dari mobil yang baru saja berhenti di salon. Entahlah, Dea tak melihat dari tempatnya duduk.
Memilih untuk abai, Dea hanya terus menghabiskan makan siangnya. Sekitar sepuluh menit lagi, mereka akan kembali menjalani pelatihan. Sampai akhirnya Caca kembali duduk guna melanjutkan menghabiskan makanannya. Dia memberi tahu jika seorang artis baru saja mendatangi salon ini.
"Siapa artis itu?" tanya Dea bersamaan memasukkan suapan terakhirnya.
"Rian," jawab Caca.
Tangan Dea sudah merapikan semua sampah untuk dimasukkan ke dalam kotak bekas makan siangnya ini. Berjalan menuju tempat sampah, sebelum kembali berjalan menghampiri Caca yang masih mengunyah. "Mungkin akan ada projek baru, yang membuatnya datang ke sini," kata Dea yang langsung mendapatkan tatapan menyeramkan dari Caca. "Kenapa? Apa ucapanku salah?"
"Darimana Kak Dea tau?"
Tangan Dea terbuka dan bahunya terangkat bersama. "Aku hanya menebak. Setahuku, Rian itu datang ke salon jika ada projek yang membuatnya harus merawat atau mengubah tampilannya,"
"Kau penggemar Rian?" tanya Caca lagi.
"Temannya Rian, alias Julio," balas Dea, dan kini dia mendapat tatapan yang berbeda dari gadis itu.