Suara gaduh sudah tercipta sejak dua jam lalu. Itu berasal dari Dea yang tengah sibuk mempersiapkan diri untuk melamar pekerjaan dihari pertamanya ini. Ibunya sudah menyiapkan bekal untuk putrinya, lantaran Dea tak memiliki banyak waktu untuk menyarap. Pun sang ibu memaklumi, walaupun juga mengkhawatirkan perut kosong Dea. Namun, ia yakin pada putrinya itu. Sudah dewasa, pasti tahu apa yang terbaik untuknya.
Lagi-lagi ada suara gaduh saat Dea menginjakkan kakinya keluar rumah. Itu adalah suara kakinya yang tak sengaja terpentok pintu saat mengenakan sepatu dengan satu kaki yang digunakan untuk berjalan keluar dengan lompatan kecil. Mulut gadis itu juga tengah mengunyah buah pisang yang ia ambil ketika melewati meja makan.
"Hati-hati, Dea," peringat sang ibu.
Tak ada suara apapun dari gadis itu, ia hanya menggunakan bahasa tubuhnya untuk memberi tahu sang ibu bahwa dirinya baik-baik saja. Di tangannya sudah ada amplop coklat yang berisi semua persyaratan untuk melamar pekerjaan. Sebagai lulusan dari jurusan Tata Rias dan Kecantikan, tentu saja membuat Dea semangat mencari pekerjaan dibidang yang sesuai dengan yang ia tekuni. Rencananya, saat ini dia akan melakukan tes wawancara sebagai posisi beautician di sebuah salon kecantikan, hingga nantinya ia memiliki cukup uang untuk membangun salonnya sendiri. Semua hal besar dimulai dari hal kecil.
Rasa kegugupan yang menyerang Dea membuatnya agak berantakan untuk menuju tempat yang sudah ia temui seminggu lalu melalui situs online. Beruntung, ia mendapat panggilan untuk melakukan tes wawancara. Sungguh, ini lebih mendebarkan daripada melakukan sidang skripsi. Hampir saja barangnya terjatuh di transportasi umum yang ia naiki saat ini. Tangannya juga sudah terasa dingin dan mengeluarkan keringat. Debaran jantung yang sama sekali tak bisa ia kontrol, menyambar pada kakinya yang mendadak terasa lemas dan gemetar saat angkutan ini semakin dekat dengan lokasinya.
Bibir gadis itu tak dapat berhenti untuk mengingat jawaban dengan pertanyaan yang kemungkinan akan keluar. Dea sudah mempelajarinya dari jauh hari. Tangannya ia remat sendiri di atas paha, kedua maniknya bergerak acak berharap bisa merangkum semua kalimat yang ia tulis di atas kertas—jawaban dari tes wawancara.
Hingga kurang dari tiga puluh menit, angkutan ini membawa dirinya tepat di lokasi tujuannya. Membayar ongkos sebelum turun dan menatap gedung di hadapannya. Obsidiannya kembali meniti penampilannya. Ini adalah sebuah salon, yang mana penampilan pasti menjadi salah satu poin untuk melakukan pekerjaan nantinya. Ini bukan salon kecil, tempat yang Dea datangi ini adalah salon yang biasanya digunakan oleh para artis merawat diri.
Pintu kaca akhirnya terbuka, yang pertama tertangkap retinanya adalah mewahnya salon ini. Sulit untuk Dea ungkapkan dengan kata-kata. Dia melangkahkan tungkainya menuju resepsionis untuk mengatakan tujuan datang ke sini. Pun Dea diharuskan menunggu untuk waktu beberapa menit. Jujur saja, Dea hampir tak bisa mengingat jawaban yang sudah ia persiapkan setelah bertemu dengan seorang wanita cantik yang nampak memiliki usia seperti ibunya dengan rambut yang tergerai panjang.
***
Betapa luar biasanya rasa gugup Dea. Bahkan, setelah diwawancarai, debaran jantungnya masih belum membiarkan nafasnya berderu santai. Pasalnya, gadis itu sempat gagal fokus, selepas melihat semua alat rias yang begitu lengkap dan pastinya mahal bersemayam nyaman di dalam ruangan pemilik salon itu. Wanita yang ia temui di resepsionis adalah pemilik salon. Dea diwawancarai secara langsung oleh pemiliknya.
Dan saat ini, ia berada di sebuah kios kecil guna membeli minuman—sekaligus memakan bekal yang dibawakan sang ibu. Memang, menyantap makanan saja Dea sampai merasa tidak cukup tenang. Sampai akhirnya saat ia tengah menutup kotak bekal kosongnya, Dea mendapat pesan jika dirinya diterima bekerja di sana. Jantung gadis itu rasanya sudah melorot hingga sejajar dengan kedua ginjalnya. Agak malu, lantaran mendapat perhatian dari banyak orang di kios itu. Dengan segera gadis itu bersiap untuk pulang ke rumah, memberi tahu pada sang ibu, betapa beruntungnya Dea dihari pertama melamar pekerjaan.
Sinar matahari masih menyengat, namun Dea tak sabar ingin segera tiba di rumah dan menjumpai ibunya. Pasti sang ibu akan sangat bahagia mendengar kabar baik ini. Dia baru saja turun dari angkutan umum, berjalan beberapa meter guna tiba di rumahnya. Mulai besok, dia sudah resmi menjadi pekerja di salon mewah itu.
"Ibu.." serunya seraya membuka pintu.
Tungkainya berjalan, meniti setiap ruangan yang biasanya menampilkan presensi ibunya. Namun, setelah berusaha mencari, wanita paruh baya itu berada di kamarnya, tengah merapikan tempat tidur lantaran baru saja mengganti seprai.
"Ibu," Dea mendekat, mencium tempurung tangan ibunya dengan penuh hormat. Tampak raut wajah kebingungan yang tercetak di kulitnya yang mulai berkeriput, lantaran putri tunggalnya sudah kembali diluar ekspektasinya. "Aku diterima," sambung Dea.
Tangan yang semula memeluk gulungan seprai kotor, langsung terbuka lebar guna memeluk putrinya, membiarkan seprai kotor itu tergeletak di lantai. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, merasa senang pun tenang saat sang putri mendapatkan pekerjaan dengan cepat.
"Ibu sangat senang mendengarnya. Selamat untukmu, sayang,"
Dea mengangguk lembut, pun ia turut merasakan kebahagiaan sang ibu hanya melihat dari guratan mata akibat senyumannya. Gadis itu segera membantu membawakan seprai kotor yang berada di lantai, berajalan bersebelahan menuju kamar mandi untuk merendam gulungan kain itu.
"Kapan kau akan mulai bekerja?" tanya sang ibu.
"Besok, bu,"
Sang ibu berjalan membawa gelas berisikan minuman untuk melarutkan dahaga putrinya—mengingat sang putri tadi tidak membawa minuman. "Ibu doakan semua berjalan dengan lancar,"
"Amin,"
Gadis itu melepaskan tasnya, meneguk minuman buatan sang ibu. Air segar baru saja melewati kerongkongannya, menyegarkan harinya yang sebelumnya tersedot oleh rasa gugup sebelum melakukan wawancara.
"Ibu, jangan terlalu banyak mengambil pekerjaan lagi, ya. Karena aku yang akan bekerja keras untuk kita berdua," lontarnya pada sang ibu.
Pribadinya merasa khawatir jika sang ibu selalu mengambil banyak pekerjaan selain berjualan di pasar. Setiap hari, sejak pagi hingga siang, ibunya pasti berada di pasar berjualan sayuran, lalu setelahnya sore hingga malam pasti akan berada di laundry milik orang lain. Belum lagi jika ada orang yang memesan kue. Waktu istirahatnya sangatlah kurang, Dea tak ingin membuat ibunya bekerja terlalu keras.
"Iya, ibu hanya akan berjualan di pasar. Tapi, ibu akan tetap mengambil pekerjaan di laundry jika pemiliknya membutuhkan tenaga ibu,"
"Asal ibu tidak lelah,"
Gadis itu tersenyum mendengar penuturan ibunya yang setuju dengan permintaan Dea. rasanya benar-benar lega saat bisa membebaskan ibunya dari pekerjaan yang berat. Jika ia pikir, bahkan setelah Dea dewasa pun, ibunya masih bersusah payah seperti saat melahirkannya dulu. Akan seperti anak durhaka jika Dea tak mengambil alih kesusahan ibunya.