Chereads / Cerdaslah Mencintaiku / Chapter 1 - Pengantin Pengganti

Cerdaslah Mencintaiku

Ririnby
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 87.3k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Pengantin Pengganti

Setiap apapun sudah tertulis, jodoh maut hanya Sang Pencipta yang mengetahui.

Pacaran lama belum tentu membuktikan kalau berjodoh, itulah yang di alami Mahis CEO terkenal yang ternyata disaat hari pernikahannya, kekasihnya tidak datang dan pergi tanpa alasan yang jelas, kejadian yang mengejutkan itu tidak disangka oleh siapa pun.

Kenyataan pahit yang harus di terima dengan lapang dada. Jam 15:13 WIB, Mahis Arendra terpaksa menikahi gadis dadakan yang disediakan keluarganya. Gadis cantik nan sederhana bernama Kanaya Fitria.

Dengan perasaan kacau penuh pelampiasan dan bukan karena yakin bisa mencintai Kanaya, tapi Mahis ingin membuktikakan pada dunia jika bisa menikahi gadis lain walau terpaksa.

Dengan jaz hitam Mahis berjalan di tengah, walau sangat tampan kekacauan terlihat jelas dari wajahnya. Kemarahan dalam hati membaranya.

Dengan wajah yang terlihat sedih, tidak seperti seorang pengantin pemuda tampan penuh karisma ini berjalan memasuki Masjid.

Terlihat pemuda kembar ada di belakang Mahis

dan 10 orang berjalan mengiringinya. Sementara keadaan ramai di serambi di mana Kanaya duduk menanti, ada yang berbicara dan berjarak jauh.

'Ya Allah aku pasrah akan takdirmu, semoga hamba bisa mencintai suami hamba dan merubahnya perasaan terpaksa menjadi cinta, bantu hamba ya Allah, Ya Allah.' batin Kanaya dalam diam ia gelisah.

Sedangkan di dalam masjid, pria tampan beranak satu meminta penghulu dan pengurus pernikahan untuk mengganti nama mempelai wanita.

Butuh proses, mungkin satu mingguan untuk mengganti buku pernikahan.

Saat ijab qobul pun telah tiba, Peghulu bertanya.

"Ya ahki Mahis Rarendra benarkah saudara akan menikahi Kanaya Fitria?" suara penghulu itu sangat jelas terdengar di telinga Kanaya, membuat Kanaya gugup setengah mati.

"Ingat ya Aya. Jika kamu meminta cerai ibu tidak akan memaafkan kamu!" bisik wanita paruh baya kepada gadis cantik yang dirias sebagai pengantin.

Air mata berderai. 'Ya Allah, hamba bukan pembunuh. Karena ketidak sengajaanku, adikku yang tulang punggung keluarga meninggal dunia dan sebagai gantinya aku harus menikah dengannya. Orang angkuh yang keluarganya membantu melunasi hutang keluargaku. Semoga hamba mampu untuk bertahan, Aamiin.' Kanaya dalam lamunan ia sampai tidak mendengar jika Mahis sudah mengucapkan ijab qobul dengan bahasa arab semua berdoa.

Dan para saksi berkata "Sah."

"Apa sudah selesai ijabnya Mbak Jihan?" tanya Kanaya.

Jihan mengangguk dengan rasa bahagia, mereka pun berdiri dan akan menuntun Kanaya bertemu suaminya, mereka berjalan pelan, Kanaya menggenggam erat tangan Jihan, Jihan tersenyum dan menatapnya.

"Ingat, yang sopan!" bisik wanita paruh baya yang tidak lain ibu Kanaya. Kanaya hanya meneguk salivanya dengan menahan air mata yang hendak jatuh.

"Nak Jihan, titip Kanaya, pokoknya kalau dia tidak sopan dan berprilaku tidak baik, tolong tegur ya," ujar ibu Kanaya kepada Jihan.

"Ibu tenang saja. Kanaya pokoknya jangan sungkan, aku juga menantu dalam keluarga Rarenda, Allah maha mengabulkan doa, aku juga dulu nikahnya dijodohkan," bisik Jihan membuat Kanaya mengangguk.

Mereka pun sampai kepada mempelai laki-laki dan keluarga besarnya.

"Ayo cium tangan suamimu, dan suaminya menyentuh kepala istrinya," titah wanita keriput, kedua mempelai menuruti, tetapi tangan Mahis mengambang, tidak menyentuh kepala Kanaya.

'Ya Allah, jalan lain Engkau berikan dan ini pernikahan terpaksa.' batin Kanaya, ia menjatuhkan air matanya. Bacaan Asroqol masih di dendangkan dengan merdu oleh para tamu, mendoakan dan merestui mempelai. Seharusnya Mahis membaca doa saat menyentuh ubun-ubun Kanaya, jangankan berdoa, menyentuh saja dengan berat hati.

Pernikahan selesai, Mahis dan Kanaya keluar dari masjid, pria beranak satu mendekat ke Mahis, Jihan mendekat ke Kanaya.

"Gandengan dong," suruh keduanya bersamaan. Dengan terpaksa keduanya melakukan itu, kecantikan Kanaya sama sekali tidak memikat hati pemuda tampan itu, bahkan Mahis tidak mau melihatnya, matanya mencari hal lain.

Kanaya di boyong ke rumah Mahis, di depan Masjid ia berpamitan kepada Ayah yang ada di atas kursi roda, Ibu dan sanak keluarganya.

Tidak lama dengan perasaan sedih, Kanaya dan Mahis masuk ke dalam mobil, mereka duduk di kursi kedua.

"Mas Rahmat ayo," ajak Jihan yang lalu di kursi depan sambil menggendong anaknya.

Rahmat masuk mobil dan siap mengemudi, mereka saling diam dan tiada yang bicara, Rahmat dan Jihan mengumbar kemerasaan di depan mata, bukan menjadikan iri malah membuat risih, kedua pengantin berpaling dan melihat ke luar jendela mobil masing-masing.

"Makasih sayang, kamu cantik, harum, dan aku ingin segera membawamu ke kamar," ujar Rahmat menggoda pengantin baru dengan berbicara genit.

"Mas," tegur Jihan melirik ke mereka yang saling diam tanpa kata.

"Mereka pengantin dan kita pengantin lawas, jadi ingin bercinta di malam ini, aduh, ada pengantin bikin tambah ingin." Rahmat sengaja berkata karena juga menggoda keduanya yang salin acuh.

"Mas aku juga ingin, tidak usah nanti malam habis ini saja." Jihan tahu maksud suaminya, Rahmat mengerem dan mobil berhenti.

"Heh, kalian sudah punya anak."

"Tapi anakku juga butuh adik, iya kan Baim." Rahmat segera mengajak putranya mengobrol. Baim diam dan fokus bermain mobil-mobilan.

"Yes, Baim sini sama Om. Nanti Om belikan mainan," bujuk Mahis, Baim segera pindah ke kursi kedua, Rahmat tersenyum kecut setelah tidak berhasil membujuk putranya untuk bicara dengannya.

'Ya Allah ini hanya pernikahan terpaksa, apa bisa aku membuka hati untuk dia. Dia sangat manis ketika membujuk keponakkannya,' batin Kanaya.

Baim ke kursi belakang dan menghadap belakang, sementara ibunya bertingkah manja.

"Siap berapa ronde?" tanya Rahmat.

"Hentikan Mas!" titah pengantin bersamaan dengan suara keras, Rahmat dan Jihan tertawa karena pengantin emosi melihat hal intim di depan mata.

"Ciye, barengan. Kompak," ujar Rahmat kembali menyetir dan menginjak Gas. Mobil melaju dan sangat cepat sampai di depan rumah.

Mobil terparkir dan Mahis pun berjalan cepat meninggalkan sang istri, Jihab menggandeng Kanaya.

Para tamu menyambut namun Mahis acuh. Sungguh itu pemandangan yang menyedihkan.

"Kok tidak di gandeng?" tanya wanita renta menarik lengan tangan Mahis. Mahis menurunkan keponakannya yang berusia tiga tahun.

"Ke kamar mandi. Oma," kata Mahis melepas tangan Omanya, ia berjalan cepat, belum apa-apa di muka umum Mahis sudah menghindar.

Entah bagaimana keadaan nanti malam, malam pertama dan malam di tempat yang sudah di hias dengan cantik, semua itu tiada artinya.

Kanaya mencium tangan oma dan keluarga dari Mahis, ia sangat sopan.

"Rania sahabatku saat SMA?" panggil Kanaya. Rania sangat senang, Kanaya terkejut melihat Rania ada di sampingnya, mereka saling tersenyum dan berpelukan.

"Selamat ya, ayo masuk pengantin," ajak Rania, Jihan pergi ke belakang.

"MasyaAllah cantik, untung Kak Mahis nikahnya sama kamu." puji salah Rania, Kanaya hanya tersenyum tipis.

"Walau masih terpaksa lama-lama cinta kok," imbuh Rania.

"Aamiin."

"Yuk kita ke dalam dulu, kan harus solat asar dan nanti magrib harus ke pelaminan, untuk foto pengantin." pamit Rania, Kanaya tersenyum tipis dengan perasaan yang berkecamuk.