Arabella jengah dengan drama murahan di lantai satu kediamannya itu, Rose yang sedang memohon dilepaskan sementara Vivaldi terus menjambak rambut merah wanita itu dan memakinya.
' Pasangan yang sangat cocok, ' pikir Arabella dengan perasaan jijik.
" Ayah, saya mohon.. maafkan Selir Rose. Mungkin dia tidak sengaja, dan karena saya tinggal lama di desa makanya Selir Rose tidak percaya dengan usulan saya. Kasihan Selir Rose, Ayah " ujar Arabella sambil menuruni tangga. Orchidia mengamati semua tindak tanduk putri tirinya dari lantai dua, ia kagum dengan akting Arabella yang bisa tetap bersikap baik di depan Rose padahal sebenarnya memendam benci.
Vivaldi menghempaskan rambut Rose yang ia pegang, " membuat tanganku kotor saja karena menyentuh tubuh murahanmu itu " gerutu Vivaldi.
Tawa Arabella hampir saja menyembur, ' tubuh murahan? Tanganmu kotor karena menyentuhnya? Lalu, bukankah selama ini tubuh murahan itu yang membuatmu tergila-gila, Ayah? Sampai meninggalkan ibu, menyiksa ibu, dan menyiksaku sampai mati ' batin Arabella geli.
" Tolong ambilkan air dan handuk untuk Ayah cuci tangan, Philip " perintah Arabella pada kepala pelayan.
" Baik, Nona. "
" Putriku sungguh sangat mengerti diriku ya, " gumam Vivaldi dengan nada lega. Ia melangkah ke ruang tamu di lantai satu dan duduk di sana dengan perasaan dongkol, Rose pun muncul.
" Hentikan, " tangan Vivaldi menunjuk ke arah Rose, " jangan perlihatkan batang hidungmu di depanku hari ini, karena rasanya menamparmu beberapa kali sangat tidak cukup, j*lang " desis Vivaldi. Rose mundur teratur dan pergi dari sana dengan perasaan berkecamuk, kehadiran Arabella mulai menimbulkan beberapa perubahan di rumah ini.
Philip, kepala pelayan muncul dengan sebaskom air dan handuk, " tolong bantu Ayah membersihkan tangannya, " ujar Arabella pada beberapa pelayan yang berdiri di sebelahnya.
Dengan ekspresi angkuh, Vivaldi mengangkat tangannya untuk dibersihkan oleh para pelayan. Handuk yang dipakai untuk membersihkan tangan Vivaldi tampak kotor, terkena bedak dan perona pipi yang dipakai oleh Rose.
Di ruang tamu ini hanya ada Vivaldi, Arabella, Selir kedua dan ketiga, lalu para pelayan. Sedangkan Rose dan anak-anaknya menghilang, mungkin takut dipukul oleh Vivaldi.
" Ayah mau minum? Saya dengar, teh chamomile bisa membuat orang lebih tenang. Bagaimana jika kita minum itu bersama, Ayah?" tawar Arabella dengan nada lembut. Ia masih berdiri, karena Vivaldi belum menyuruhnya duduk. Salah satu hal yang Arabella pelajari dari kehidupannya yang lalu, Vivaldi yang sok berkuasa itu sangat tidak suka jika ada orang yang bergerak sebelum ia perintah.
" Boleh. Pelayan, siapkan teh chamomile untukku, Arabella, dan kedua selirku!" perintah Vivaldi.
" Baik, Tuan. Mohon tunggu sebentar, " balas para pelayan yang kini serempak menjalankan perintah dari Marquess Falzen.
Mata Vivaldi melirik Arabella yang masih berdiri, " kenapa kamu masih berdiri, Arabella? Duduklah!"
" Saya tidak berani duduk jika tidak Ayah suruh, Ayah. Saya sangat menghormati Ayah dan ingin Ayah tau bahwa hanya perintah Ayah yang akan saya lakukan " jawab Arabella sambil mendudukkan dirinya dengan gerakan anggun.
Ekspresi puas terukir di wajah Vivaldi, sejak kedatangan Arabella ia semakin merasa senang. Semua hal dari Arabella sangat sesuai dengan keinginannya.
" Kamu sungguh sangat sesuai dengan harapanku, Arabella. Bahkan.. kamu berhasil melebihi harapanku hari ini " ujar Vivaldi.
" Orchidia dan Vivian juga duduklah, " lanjut Vivaldi memerintah kedua selirnya yang masih berdiri agar duduk.
" Terima kasih, Tuan. "
Kedua selir, Arabella, dan Vivaldi duduk di sofa yang berbeda. Namun, Arabella berniat menaikkan nilai Orchidia di depan Vivaldi.
" Ayah, bolehkah saya meminta Selir Orchidia duduk bersama saya? Saya sangat menyukai Selir Orchidia karena dia banyak mengajari saya tentang ibu kota akhir-akhir ini " pinta Arabella dengan senyum tipis nan elegan, khas wanita bangsawan.
Vivaldi mengamati Orchidia, satu-satunya selir dari kaum bangsawan, selirnya yang tercantik dan pintar, tidak banyak berulah juga, namun selama ini kehadirannya ditutupi oleh Rose yang selalu mengalihkan perhatian Vivaldi dari Orchidia.
" Ah, Orchidia.. selirku yang kedua. Dia memang wanita bangsawan asli yang mengerti tentang ibu kota, pastinya. Bukan seperti wanita yang SOK mengerti seperti Rose tadi " dengus Vivaldi.
" Orchidia, duduklah bersama Arabella " perintah Vivaldi pada Orchidia.
" Ya, Tuan. "
Diam-diam, Arabella melemparkan senyum tipis pada Orchidia yang baru saja pindah duduk ke sebelahnya, di sofa yang sama. Orchidia, salah satu orang baik di rumah ini. Apapun akan Arabella lakukan untuk membebaskan Orchidia dari belenggu Vivaldi br*ngsek ini.
Teh dan camilan telah tersaji di depan meja, Vivaldi menyeruput teh yang dituangkan pelayan untuknya.
" Arabella, tadinya suasana hatiku sangat buruk karena dijadikan lelucon oleh kepala keluarga bangsawan lainnya, tapi berkatmu.. putri cantikku, aku sedikit senang " ujar Vivaldi.
Arabella menoleh dengan anggun, " ada apa, Ayah? Saya senang mengetahui bahwa saya bisa bermanfaat untuk membuat Ayah senang " balasnya.
Tidak ada yang berani memakan camilan di meja selain Vivaldi, karena wanita bangsawan tidak akan menunduk untuk mengambil camilan di meja yang lebih rendah dari tubuh mereka. Mereka hanya boleh meminta di ambilkan teh pada pelayan, tidak dengan camilan. Tampaknya Vivaldi ingin menguji tiga wanita di depannya.
Vivaldi tergelak, raut licik tidak lepas dari wajah menyebalkannya, " aku sungguh beruntung memiliki putri sepertimu, Arabella. "
' Karena berkatmu, nilai dan pandangan pada keluarga Marquess Falzen semakin meningkat. Dan aku harus secepatnya menikahkanmu sebelum memasuki usia dewasa agar tidak sempat mengambil alih gelar Marchioness Falzen ' lanjut Vivaldi dalam hati.
" Grand Duke Julian Malven Kingston mengundangmu ke kediamannya besok sore, jam tiga " ungkap Vivaldi.
Gigi Arabella bergemeletukan menahan teh yang ingin ia semburkan saking terkejutnya, ' Grand Duke Julian Malven Kingston? Si iblis haus darah itu? Berarti, dia putra pertama dari menteri keamanan kan? Kenapa dia mengundangku?!' pekik Arabella dalam hati.
Di kehidupannya yang lalu, Arabella sangat jarang bertemu dengan Grand Duke itu, karena Julian menghabiskan lebih banyak waktu di medan perang dibandingkan di ibu kota.
Arabella berdeham pelan dengan kipas yang menutupi di deoan setengah wajahnya, " kalau saya boleh tau, dalam rangka apa beliau mengundang saya ke kediamannya, Ayah? Apakah saya melakukan sesuatu yang membuatnya tertarik?" tebak Arabella.
Vivaldi mengangguk, " tadi Ayah sedang berbicara dengan Count Brown, " mata Vivaldi menunjuk ke arah Orchidia, " dan saat kami bercerita tentangmu, Grand Duke menginterupsi dan bertanya siapa namamu. Setelah aku memberitahu namamu, dia mengatakan bahwa dia mengundangmu ke kediamannya besok dan akan menunggu " terang Vivaldi.
Tenggorokan Arabella terasa kering, ia meneguk ludahnya kasar, ' ada suatu variabel yang muncul di masa ini, padahal di masa lalu aku tidak pernah berhubungan dengan Grand Duke itu " batin Arabella. Ia meremas sedikit kipasnya, menahan diri untuk berlari keluar dari sini dan menyembunyikan diri di kamar.
Julian Malven Kingston adalah salah satu orang yang sangat Arabella ingin hindari, baik di kehidupan yang lalu ataupun sekarang. Pria itu, kemampuannya di luar nalar manusia dan bukan orang yang mudah dihadapi. Bukan hanya dalam artian kemampuan bertarung, melainkan sifatnya. Mata Julian cukup jeli untuk menangkap hal-hal yang orang sembunyikan dengan baik, bukan lawan yang mudah untuk Arabella. Mengingat, banyak hal yang Arabella sembunyikan saat ini.
" Bagaimana, Arabella? Apakah kamu menerima atau.. menolak undangan dari Grand Duke?" tanya Vivaldi memancing. Padahal, jelas-jelas Arabella tidak boleh menolak. Tapi Vivaldi ingin tau, sampai mana batas Arabella menurut dan sifat bangsawan tanpa celah itu.