Tiga bulan kemudian, Angga masih saja belum menepati janjinya untuk melamar Tiara. Seketika itu Tiara mulai merasa resah. Muncul banyak pikiran aneh dan prasangka buruk.
Tepat saat itu, suara ponselnya berbunyi dan mengejutkannya dari lamunannya. Melihat ID pemanggil, Tiara mengerutkan keningnya karena panggilan itu dari nomor ibunya Rasty.
"Assalamu'alaikum Bibi, ada apa?" Tanya Tiara setelah menggeser ikon berwarna hijau di ponselnya.
"Wa'alaikumsalam ... Tiara, apa kamu lagi sibuk?"
"Tidak kok. Memangnya ada apa Bi?"
"Begini, tolong bantu bibi bicara sama Rasty agar dia mau menikah dengan Rafi! Karena ayahnya ingin sekali dia menikah dengan Rafi. Terus terang bibi tidak setuju dia sama Rama yang agak kasar dan tidak jelas. Apalagi sekarang Rasty sudah berusia hampir 30-an, Bibi khawatir padanya"
Tiara terkejut mendengar kejujuran ibu Rasty. Tapi, ia harus tetap sopan pada Ibu dari sahabatnya itu.
"InsyaAllah Bibi! Aku akan mencoba bicara dengan Kakak Rasty!"
"Terima kasih ya Tiara, kalau begitu Bibi pamit dulu, Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam ... "
Setelah menutup telepon, Tiara langsung berpikir sama dengan ibunya Rasty, akan tetapi dia tau betul bagaimana kisah cinta Rasty dan Rama.
Sudah dua tahun mereka bertahan dan sudah berjanji saling setia. Rasty sangat mencintai Rama begitupun sebaliknya, jadi bagaimana caranya dia bisa meyakinkan Rasty untuk bersama Rafi. Apalagi Rafi juga sudah memiliki kekasih.
Kenapa para orang tua jadi egois begini?
Setelah bergulat dengan pikirannya, Tiara teringat kalau sudah tiga hari Angga tidak menghubunginya. Seketika itu ia berinisiatif untuk menghubungi Angga lebih dulu untuk menghilangkan rasa penasaran dan prasangka buruknya.
"Assalamu'alaikum sayang, kamu lagi apa?"
Jantung Tiara berdetak lebih kencang karena ia merasa cemas dan tidak sabaran menunggu balasan pesannya.
Selang tiga jam, Angga pun akhirnya membalas pesan Tiara.
"Wa'alaikumsalam Ra, maaf baru bales!"
Setelah membaca pesan Angga, Tiara langsung menelepon Angga karena dia masih belum merasa tenang.
"Halo sayang!" Tiara tersenyum saat mendengar desah napas Angga dari seberang telepon.
"Selamat malam sayang!" Suara Angga masih selembut dulu saat memanggilnya sayang sehingga Tiara menjadi tenang.
"Kakak Angga lagi apa?"
"Lagi rebahan di kamar, soalnya tadi agak telat pulang kantor, ada apa Ra?"
"Tiara cuman mau tanya, kenapa kak Angga tidak pernah menghubungiku selama 3 hari?"
"Oh ... itu, aku sibuk banget di kantor sayang makanya aku tidak sempat menghubungimu!"
"Tapi dulu kamu tidak begini, sesibuk apa pun kamu, pasti kamu selalu punya waktu untuk menghubungiku, terus bagaimana dengan rencana pernikahan kita? Kapan kamu akan melamarku, sedangkan keluargaku sudah tau, ini sudah lebih dari perjanjian kita dulu?" Tanya Tiara dengan gugup karena ia takut membuat Angga risih.
"Bisa gak kamu kurangi cerewetmu sedikit dan tolong mengertilah! Aku bekerja sekeras ini untuk biaya pernikahan kita, dan juga soal lamaran aku pasti akan segera melamarmu tapi aku masih diskusi dengan keluargaku!"
Nada bicara Angga terdengar kesal sehingga Tiara menjadi semakin cemas.
"Baiklah, tapi tolong jika kamu memang tidak ingin menikahiku maka katakan saja, biar aku tidak menunggumu dan bisa mempertimbangkan lamaran orang lain!" Kata Tiara dengan putus asa.
"Jika memang ada yang lebih baik, maka kamu boleh menerimanya!"
Tiara terkejut mendengar perkataan Angga. Karena yang dia tau kalau Angga akan mempertahankannya dan memohon agar dia bersabar, tapi sekarang dia seperti orang yang berbeda, bahkan dia mengungkit soal betapa cerewetnya Tiara.
"Kok Kakak pasrah begitu?"
"Ra udah ya merajuknya! Aku sedang capek jadi aku tidak punya tenaga mendengar ocehanmu, aku akan menghubungimu besok, Assalamu'alaikum!"
Setelah itu Angga menutup teleponnya dengan sepihak dan itu membuat hati Tiara tidak karuan dan semakin tidak tenang.
'Apa aku sudah keterlaluan? Apakah dia marah karena aku terlalu cerewet? Tapi kenapa dia harus bersikap seperti itu? Kenapa aku merasa Angga yang sekarang tidak sama dengan yang dulu?'
Setelah bergumam, Tiara merebahkan tubuhnya di ranjang. Ia berjuang keras untuk terlelap karena besok ia harus bekerja.
Keesokan Paginya.
Pagi ini Tiara sangat sibuk mengurus acara akreditasi sekolahnya, sehingga dia jarang bawa ponsel.
Setelah istirahat, barulah Tiara bisa memegang ponselnya sekaligus memeriksa pesan masuk.
Ada beberapa pesan dari Angga yang langsung dibuka dengan semangat oleh Tiara.
"Apa kamu marah? Ya sudah kalau kamu marah dan tidak mau membalas pesanku, teruskan saja!"
Tiara langsung membalas pesan Angga dengan memohon maaf. Tapi, Angga tidak mau membalasnya. Tiara pun langsung meneleponnya tapi Angga tidak juga mau menjawab panggilannya.
'Ya Allah ada apa dengan Kakak Angga? Kenapa dia sangat marah hanya karena aku telat bales pesanya, Tuhan tolong bukakan pintu hati Kak Angga untuk memaafkanku!'
Beberapa hari berlalu, Tiara terus mencoba menghubungi Angga tapi semua percuma, karena Angga tidak pernah mau membalas atau menerima panggilannya. Tiara ingin bertanya pada kakaknya tapi dia malu, akhirnya dia minta bantuan Mbak Amelia.
Sebulan telah berlalu, Tiara berada dalam kegalauan yang menggila, karena Angga benar-benar sukses membuatnya bingung, mungkinkah hanya karena masalah kecil, Angga akan semarah itu?
"Ini sudah hampir satu bulan, apa kamu tidak curiga?" Tanya Rasty yang baru saja datang menemui Tiara di kelas sehabis mengajar.
Tiara melirik Rasty dengan malas, "Ini salahku, makanya dia seperti itu?"
"Ra kamu jangan bodoh begitu!" Rasty menjadi sedikit kesal.
"Aku kemarin ke kantornya, dia menyapaku kok, seolah tidak terjadi apa-apa, tapi aku bingung setelah pertemuan itu dia kembali tidak menghubungiku, aku beranikan kirim pesan tapi tidak dibalas juga, kenapa ya?" Tiara seperti orang linglung karena semua pertanyaan yang ada di otaknya tidak menemukan satu jawaban yang pasti.
Mendengar penuturan Tiara, Rasty merasa geram dengan kelakuan Angga yang lebih tidak tau malu daripada cara Ferdinan yang blak-blakan.