_Dan aku akan menghubungi kamu jika aku sudah membaik_
...
"Irina, gue harus hubungin dia." Kanneth mengambil ponsel di sisi kursi kemudi dan memanggil nomor kontak sang kekasih.
Panggilan masuk, Kanneth segera bicara tanpa titik."Irina, sayang. Maaf aku ketiduran dirumah temanku, aku baru bangun karena mabuk. Tolong maafin aku, setelah mandi aku pulang. Tolong tetap disana, kamu masih disana kan?!!"
"Iya, aku masih disini. Ini rumah aku, mau kemana lagi aku pergi?Em... Kita lupa mengisi kulkas, ternyata kosong, harusnya kamu beli tanpa perlu aku suruh ."
"Maaf, aku lupa. Tunggu disana, oke. Aku mandi dulu." Ujar Kanneth yang terlalu panik tak mendengar jelas ucapan terakhir Irina.
Diapartemen Irina menatap kearah ponselnya yang baru saja mati, hebat bahwasannya Kanneth bahkan masih berbohong padanya. Dia akan melihat sampai mana Kanneth ingin bermain sandiwara ini, Irina akan berikan ksuaminya itu panggung bersama Olivia.
Menaruh ponselnya perlahan di meja, menatap ke arah meja yang sudah berisi masakan yang dibuat Irina untuk Kanneth. Meski sederhana, tapi ini dibuat dengan luka dan duka pagi hari. Karena Olivia mengiriminya lagi sebuah poto lain yang lebih vulgar dari semalam, cukup membuatnya berdarah-darah.
"Baiklah, semua sudah selesai. Apa kita perlu mempersiapkan diri untuk berakting kalau semua sudah selesai, berikan dia kepuasan." Ucap Irina pada angin kosong.
....
Irina duduk di kursi dapur sedari tadi sambil memandangi sarapan pagi yang dia buat, itu sudah tak lagi mengepulkan uap panas. Sarapannya sudah dingin dan suaminya baru saja datang, Irina menoleh untuk melihat wajah berkeringat Kanneth.
"Hai, maaf aku jadi telat. Ternyata tadi ada kecelakaan dan agak macet, ya ampun!" Ucap Kanneth berjalan mendekat ke arah Irina dengan selubung rasa bersalah."Aku pikir kamu bakalan pergi karena aku lama, aku benar-benar minta maaf..."
Posisinya kali ini bersimpuh di depan Irina yang duduk di kursi dapur, perempuan itu mengusap kepala suaminya itu. Sedangkan Kanneth menikmati kelembutan dan usapan tangan Irina, betapa rindunya ia.
Kanneth masih terus berucap kata maaf, dalam pikirannya sekali maaf tak akan bisa menghapus segala dosa miliknya, pengkhianatan yang dilakukan olehnya. Entah apa yang akan terjadi jika Irina tau, dia memang benar berselingkuh dengan Olivia sampai saat ini malah menjadi lebih buruk dari sandiwara didepan ibunya.
"Gapapa, kamu udah makan?"
"Belum, bangun tidur aku langsung telepon kamu dan mandi terus berangkat." Jawab Kanneth yang langsung bangun dan menarik kursi di sisi Irina untuk ia duduki.
"Kalau gitu aku panasin dulu ya."
Setelah selesai dipanaskan, Kanneth makan selahap mungkin. Tetapi ditengah sarapan itu, air mata tak terasa mengalir perlahan. Dia mendongak dan Irina tersenyum diam tak menanggapi Kanneth, lebih tepatnya sekarang dia bangun dan berkata.
"Aku mau buat kopi, kamu mau?"
"S-susu, aku mau tambahan susu juga." Jawab Kanneth dengan suara bergetar.
Irina sama sekali tak memedulikan tetesan air mata rasa bersalah milik Kanneth, bahkan dia mengabaikan hal itu. Tak bertanya kenapa dan ada apa selain berjalan mendekat dan memeluk kepala Kanneth ke dalam rengkuhannya, dia menepuk punggung kokoh yang bergetar itu.
"Maaf... Maafin aku..." Kata maaf lagi-lagi keluar dari mulut Kanneth.
"Sedari tadi kamu minta maaf, untuk apa?"
"Untuk semua yang aku lakukan, aku minta maaf..."
Irina tak menjawab, dia membiarkan saja tangisan Kanneth mengudara melintasi penjuru sudut ruang makan. Menemani kekasihnya menangis, setidaknya Irina tau kalau Kanneth mengakui kesalahannya.
....
Setelah kejadian pagi itu, Irina tak lagi membahas perihal orang ketiga dalam hubungan mereka. Dan entah bagaimana isu tentang dia adalah selingkuhan Kanneth tak lagi pernah terdengar, pagi ini Kanneth ada kelas. Begitupun Irina yang untuk hari ini saja mengambil kelas pagi, dia berjalan menuju kelas berbeda gedung.
Kanneth bersama teman-temannya, hubungannya dan Olivia agak sedikit renggang setelah itu. Tetapi mereka tetap berada di lingkaran pertemanan yang sama, begitupun Irina yang tidak begitu mempermasalahkan tentang gaya hidup Kanneth.
Atau lebih tepatnya, sikap Irina mulai tak lagi perhatian seperti yang sudah-sudah.
Santi, Diki dan Rio adalah teman satu lingkaran dengan Olivia dan juga Kanneth. Mereka adalah sekumpulan anak-anak yang memiliki kekayaan turun temurun dari kakek nenek mereka, itulah kenapa kehidupan mereka berlima cukup terlihat hedon juga arogan untuk beberapa pandangan orang lain.
"Santi, gue mau ke kosan lo dong. Enak ih, di sana bisa cuci mata. Mana ada cafe juga, bisa sekalian nongki." Ucap Diki yang baru duduk di sebelah Santi.
"Dateng aja, lu kayak sama tetangga aja pake acara bilang. Biasanya gue lagi tidur aja dibikin rusuh!"
"Ikut gue, males dirumah. Babeh gue bawa selingkuhan, emak gak bisa apa-apa. Keluarga besar malah dukung, lucu sih!" Timpal Rio dengan wajah yang seakan semua itu bukanlah masalah.
"Lu gak bawa emak lu kemana gitu, cere aja kalau bisa." Ujar Santi memberi suara pada Rio.
"Nggak lah, kakak gue udah bawa nyokap ke singapore sih. Cuman nyokap masih cinta, susah kalau belum capek sampe mati. Nyokap bakalan nunggu bokap terus, yang bangsatnya, bokap nggak ada sadar-sadarnya. Apa harus kena struk dulu baru sadar kali, ya."
"Heh! Jangan asal ngomong lu, begitu-gitukan tetep bokap lu."
"Yeah.... whatever!" Rio melengos mendengar peringatan dari Santi.
Diki sendiri hanya tertawa karenanya, sedangkan Kanneth disisi Rio menatap layar ponselnya. Irina belum membalas pesan darinya, padahal sebelumnya saat di jalan dia melihat kekasihnya itu berjalan ke gedung pendidikan. Bahkan sempat melihat ke arahnya dan tersenyum, tapi tak ada balasan bahkan dibaca pun belum.
"Ngapain bos?! Loyo amat kayak kangkung kena panas." Kelakar Rio sambil mengintip ponsel Kanneth yang menampilkan isi pesannya kepada Irina."Anjay sekali! Udah diselingkuhin masih aja berharap diperhatiin, lucu!"
"Bacot lu, udah deh mending diem." Kanneth dengan kasar mendorong wajah Rio menjauh.
Meski anak ini kurang waras, Rio paling anti dan tak suka perihal perselingkuhan. Memang anaknya belangsak, tapi sejarah keluarganya membuat dia sadar untuk setia dan menjauhi setan perselingkuhan.
Olivia tidak ikut menanggapi, dia masih menjaga harga dirinya setelah mendapatkan pandangan merendahkan dari Kanneth. Dia akan buat pria itu tau, kalau dirinya tak pantas dibuang seperti tisu lepas pakai.
"Dari kemarin dia gitu terus, padahal tadi gue juga liat Irina lewat sih." Jawab Sintia menimpali.
"Wah, bau-bau mau putus ini. Ada yang seneng gak tuh." Diki tertawa menambahkan sambil menatap kearah Olivia yang memoles bibirnya dengan lipstik warna pink muda.