_Aku membantu kamu menghapus luka tapi tak pernah bisa menahan kamu pergi_
...
"Jangan asal ngomong bangsat!" Ini Kanneth yang membalas dengan marah.
Saat Diki akan menimpali lagi, dosen mata kuliah mereka masuk dan semua orang membetulkan duduk agar lebih nyaman. Diluar itu, Irina yang ada di kelas pagi untuk saat ini saja melihat pesan yang masuk dari suaminya.
Tak begitu peduli, satu jam dari sekarang dia harus bekerja. Menjadi salah satu pelayan di restoran cepat saji akan membuat dia kecapean, apalagi saat pulang ke apartemen harus berlagak seakan semua baik-baik saja di depan suaminya, jadi setidaknya dengan tak membalas pesan Kanneth adalah pilihannya juga agar beban pikirannya tak menambah. Ini adalah akhir semester, sebentar lagi ada ujian akhir semester dan akan menguras pikiran juga waktunya.
"Irina, kamu udah ngerjain kuis pak Jupri?"
"Udah, cuman yang bagian ketiga aku isi sebisaku aja. Pusing mikirinnya, kukerjain mepet itu subuh tadi." Jawab Irina pada yang ada disisinya.
"Beh! Beda aja anak ambis, aku belum baca sama sekali kuisnya. Lagi nunggu orang ngirim ke aku sih, tapi belum ada pesan masuk. Aku ketar ketir, boleh nyontek gak?" Tanyanya, dia Cecil. Anak konglomerat yang kerap kali membayar joki untuk mengerjakan tugas yang tidak dia sukai.
Tapi jangan remehkan orang-orang yang membayar joki, Cecil hanya tak suka mata kuliah saat ini. Semua mata kuliah yang lain bisa dikerjakan sendiri dengan baik, bahkan sering mendapatkan pujian dari para dosen hampir seluruh mata kuliah.
Hanya karena tak suka dan tak bisa satu mata kuliah, bukan berarti orang itu bodoh. Jangan pernah berpikir sempit, pandanglah sesuatu dari banyak sisi.
"Boleh, tapi kuis nomor tiga kamu ganti ya."
"Siap!! Makasih banyak!!" Kata Cecil dengan senang dengan reflek memeluk Irina.
Setelah dikirim file kuis yang Irina sudah kerjakan, ponselnya lagi-lagi berbunyi karena spam pesan. Cecil mendengar itu menoleh dan berkomentar.
"Siapa sih itu, kok neror banget kayaknya. Dari tadi hp kamu tuh meski udah di matiin notif suaranya, cuman getarannya masih kedengaran karena aku di sebelahmu."
"Cuman orang iseng, aku males. Meski udah diblokir pasti ada lagi nomor lain, biarin ajalah, nanti capek sendiri."
"Ishh!! Sini biar gue kasih pelajaran itu orang, kamu kasih aja nomornya. Nanti aku yang urus." Kata Cecil dengan sombong, Irina terkekeh karenanya.
Memang bukan hal susah untuk mencari seseorang hanya dari nomor teleponnya saja, dunia sudah canggih saat ini. Sangat mudah mencari seseorang jika mereka mempunyai ponsel di tangan.
"Gak usah, aku kenal kok." Jawab Irina kalem setelah itu Cecil tak ambil pusing dan melihat contekan kuis dari Irina.
....
Marcus duduk parkiran kampus, dia sedang menunggu Irina keluar dari kelasnya. Dia ada janji dengan Irina, lebih tepatnya dia ingin menawarkan pekerjaan dan Irina sudah membalas pesannya pagi ini jika dia ingin mendengar tawaran pekerjaan itu.
Ketampanan Marcus tak bisa ditolak oleh beberapa orang, kampus bergengsi ini sudah biasa memiliki paras dan tampang yang good looking juga indah dipandang. Namun Marcus ini perkara lain, seperti kebanyakan orang indonesia. Karena tampangnya yang begitu ke barat-baratan, mata biru terang warna kulit yang seputih salju juga bibir tipis yang merah.
Sudah di luar kata tampan lagi, beberapa mata terus melihat dan bahkan memberikan senyum menggoda menarik perhatian Marcus.
"GILA!!" Beberapa orang terkejut mengatakan hal itu saat melewati parkiran.
"Insecure nih, saya gak mau lewat situ."
"Kok bisa sih ada bule disini."
"Em... Excuse me, may I have your phone number." Seorang perempuan dengan gaya yang casual, kemeja putih, dalaman hitam dan celana jeans mendekat ke arah Marcus yang berdiri di sisi mobilnya.
Dia mendongak untuk melihat siapa orang yang bicara dengannya, Marcus tersenyum maklum dengan beberapa orang yang seperti ini padanya.
"Boleh." Perempuan itu langsung memberikan ponselnya senang, teman-teman di belakangnya bersorak kala dia berbalik dan mengepalkan tangan senang.
"Ah!! Thank you so much!! Bahasa Indonesia kamu bagus, dan sebelumnya. Nama aku Cecil."
"Tentu, saya lahir dan besar disini. Dan nama saya Marcus." Jawab Marcus santai sembari mengetik nomor ponsel miliknya. Itu nomor ponsel umum di caffenya, untuk nomor pribadi dia tentu tak akan memberikannya.
Tampangnya dimanfaatkan untuk mempromosikan dan memperkenalkan cafe miliknya, jika seorang perempuan meminta nomor teleponnya maka dia akan memberikan nomor telepon cafe miliknya agar mereka datang jika ingin melihatnya.
"Kalau gitu, boleh aku panggil kamu, kak Marcus?"
"Tentu," Marcus memberikan ponsel miliknya itu kepada Cecil kembali."Oh, kalau boleh tanya. Kamu kenal dengan Irina dari jurusan pendidikan tidak?"
"Irina? Oh, aku sekelas sama dia. Tadi sih bilangnya ke kantin dulu, emang kak Marcus kenalan Irina?"
"Iya."
Sedangkan di kantin, Irina mendekati Kanneth. Dia berjalan begitu santai ke arah suaminya dan mencium tepat di pipi, membuat Kanneth terkejut bukan main. Namun dia juga tak mendorongnya, hanya menangkap pinggang Irina agar tak menjauh dari sisinya.
Setelah hari dimana mereka bertengkar, Kanneth merasakan dinding pembatas tinggi menghalangi kedekatannya dengan sang istri.
"Maaf aku gak bales pesan kamu, tadi ada dosen dan semalam ketiduran pulang kerja." Katanya tanpa mempedulikan Olivia yang masih dengan sengaja memeluk lengan Kanneth.
Padahal malam tadi dia bekerja tak sampai lembur, bahkan Kanneth menjemputnya.
Namun pria itu sendiri yang melepas pelukan tangan Olivia pada lengannya, dia memunggungi Olivia, mengabaikan perempuan itu untuk menghadap kearah istrinya. Semua Orang yang ada di kantin menatap terkejut. Karena rumor berkata jika Kanneth itu berpacaran dengan Olivia dan tadi baru saja, Irina yang nyatanya adalah selingkuhan pria itu mencium Kanneth tepat di sisi Olivia.
Mereka semua tak ada yang tau, kenyataannya Kanneth dan Irina adalah sepasang suami istri.
Tentu beberapa orang heboh karena hal itu, tapi Kanneth malah ketar ketir takut jika hal ini membahayakan istrinya dari tangan ibunya sendiri. Melody seakan memiliki banyak mata dan telinga disekitarnya, sejak dia menyukai Irina dan menikahinya diam-diam. kehidupannya menjadi sulit dan sering kali begitu di perhatikan ibunya.
Sedangkan Irina tak peduli, dia hanya ingin mengetes Olivia dan Kanneth. Tapi sepertinya, memang hanya Olivia yang mengejar suaminya tanpa tau malu.
"Gapapa, kamu udah makan?"
"Belum, sekarang aku mau beli minum sama roti." Jawabnya sambil melepas tangan Kanneth yang memeluk pinggang dan perlahan berjalan sambil membawa suaminya bersamanya.
"Makan nasi, jangan roti aja. Nanti perut kamu bermasalah lagi." Kanneth mengingatkan karena Irina sering mengeluhkan sakit perut saat telat makan nasi.
"Gak mau ah, aku pengen roti biar cepet. Ada Marcus juga, dia nunggu aku di parkiran."
"Kenapa kak Marcus ada disini?"
"Ada pekerjaan, kamu jangan negatif thinking."
"Aku gak mikir gitu kok, cuman aku gak percaya sama kak Marcus."
"Sama aja, aku gak seperti itu. Kamu tau aku menghargai hubungan kita lebih dari apapun." Ucap Irina berjalan pergi dari kantin setelah mendapatkan roti dan air mineral.
"Irina! Aku antar." Ujar Kanneth tak rela kekasihnya pergi bersama sang kakak.