'Cinta selalu banyak meminta, dan sering kali memberi luka.'
_________________________________
Suara dentingan pintu lift yang terbuka menyadarkan Irina, ternyata jika di ingat lagi. Irina sudah tertipu dengan kecantikan milik Olivia, senyum manis yang lembut itu, nyatanya menyembunyikan bisanya yang mematikan.
Bahkan ia baru saja mencium aromanya, sudah sesak kepalang hampir mati, bagaimana jika dia berhasil meminum sedikit 'bisa' yang Olivia sebar di hampir setiap hal yang ia miliki. Irina tak berdaya, pintu apartemen terbuka. Sepi adalah hal yang menyapanya, lampu apartemen belum dinyalakan. Dia berjalan menuju kearah jendela yang belum tertutupi hordeng, cahaya bulan menyapanya, bintang di langit berkelap-kelip.
Sebenarnya dia tidak suka sendirian, tapi berbohong pada Kanneth untuk ini sudah sering dia lakukan agar suaminya bisa menikmati masa muda meski sudah terikat sebuah komitmen dengannya. Tapi sepertinya, Irina sudah mulai menyesalinya. Karena dirasa, setiap jalan yang ditempuh dalam pernikahan ini hanya dirinya seorang yang terseok-seok membina.
Kanneth sendiri menikmati tanpa perlu repot berpikir keras dan berusaha, Irina tengah berjalan sendirian menempuh kebahagian dua orang dalam pernikahan ini.
Irina kemudian membuka bajunya, sudah cukup melelahkan hari ini. Riasannya terasa begitu berat, tapi sepertinya itu cukup untuk menirukan wanita cantik dengan make up yang tebal.
TING.
Ponselnya berbunyi, Irina berbalik dengan hanya memakai pakaian dalam. Untuk melihat pesan dari Olivia lagi-lagi masuk, entah apa yang sebenarnya perempuan ini inginkan darinya. Terus saja mengirim sebuah foto, setiap kali dia tengah sendirian sedangkan Olivia tengah bersama suaminya.
Itu foto Kanneth yang tengah mencium pipi Olivia, tapi Irina sudah tau foto lama ini. Jadi tidak begitu terkejut, tapi tetap saja berhasil mengacaukan malam yang baik tanpa suaminya.
Terlalu sering sendirian membuat Irina merasa lebih baik, tetapi bersama Kanneth dia selalu menemukan luka. Karena selama ini semua momen hanya dimiliki oleh Kanneth tanpa dirinya, sedangkan momen miliknya selalu memiliki Kanneth di setiap waktunya.
"Mari biarkan saja." Irina kemudian berbalik ke arah kamarnya.
.....
"Olivia, kenapa kamu masih menyimpan foto itu?" Tanya Kanneth saat tak sengaja melihat Olivia tengah melihat galeri miliknya.
"Suka aja, karena ini foto waktu kamu lagi mabukkan. Siapa tau bisa jadi kenang-kenangan buat kita bahas." Ucapnya dengan perasaan senang.
Kanneth yang melihat itu malah canggung, padahal mereka baru saja bertengkar beberapa waktu lalu. Tapi raut wajahnya dan sikapnya berubah kembali seperti biasanya mereka berinteraksi, perasaannya jadi tidak enak dengan semua ini.
"Tapi dia udah punya pacar, gak baik lo masih nyimpen itu foto kalau bukan emang sengaja mau bikin mereka putus." Timpal suara Rio dengan tidak senang.
"Hus!! Lu kenapa sensi sih?"Santi menyikut perut Rio sampai mengaduh.
Sedangkan wajah Olivia sudah suram karena ucapan Rio, dia memang tidak begitu dekat dengan pria itu yang memang tidak suka jika di antara mereka ada yang melakukan perselingkuhan. Hanya Diki yang sampai sekarang masih kuat di beri sindiran dan juga sarkasme ucapan Rio, hal itu sudah biasa terjadi.
Namun Olivia masih belum terbiasa, dia baru mengenal Rio di semester 3 karena dia teman dekat Kanneth. Olivia kemudian menoleh, melihat Kanneth memiliki wajah terkejut dan langsung menyembunyikan ponselnya dari pandangan mata Olivia.
"Kamu kenapa kaget gitu?"
"Ah-itu, kayaknya gue harus balik cepet deh. Nyokap suruh gue balik bentar kerumah." Kata Kanneth mencari alasan dengan wajah yang malah terlihat tak sabaran.
"Sono pergi, anak mamah gak boleh menunda panggilan. Nanti ada yang manfaatin!" Itu suara Rio lagi dan Olivia langsung berdecak tak suka dan langsung menyerobot.
"Aku ikut pulang dong, gak asik tetap disini!"Ucapnya sambil membereskan buku dan tas miliknya, tapi Kanneth menghalangi.
"Aduh, aku buru-buru. Kamu pulang sendiri aja ya, gak bisa anterin! Aku duluan, by." Kanneth langsung berjalan keluar tanpa menunggu Olivia lagi.
Sedangkan Olivia menganga tak menyangka akan ditolak pulang bersama oleh Kanneth, pria brengsek itu membuat dia malu di depan Rio. Santi sendiri menjewer telinga Rio dan Diki terkekeh melihat tingkah Olivia.
"Udah, balik sama gue aja. Nanti di anterin." Kata Diki mencoba menenangkan Olivia yang matanya sudah berkaca-kaca.
"Lembek! Digituin doang udah nangis, hilih!"
"RIO ANJING! JANGAN NAMBAH-NAMBAHIN!!" Santi langsung memukul kepala belakang pria itu karena menimpali gelagat Olivia yang akan menangis.
"Huwaaaa!! Hiksss..."
Dan Olivia betulan menangis, Santi dan Diki langsung kebingungan karena suara tangisannya keras. Begitupun Rio yang tidak menyangka, Olivia benar-benar akan menangis di depan mereka.
"Eeh, jangan nangis dong. Gue bingung cara nenangin orang nangis!" Diki malah panik dan duduk di sisi Olivia yang tak berhenti menangis.
Luka yang kemarin belum dapat Olivia hapus, tapi Kanneth sekarang malah membuat dia malu. Rasanya menyakitkan, meski ibunya berkata dia tak boleh menangis. Namun dia belum bisa menahannya, rasanya sakit sekali.