Aku hanya melihat tatapan Oslan melamun. Mungkin, dia berusaha untuk menungguku masuk. Atau dia berharap lebih, atau sesuatu yang dia inginkan hendak terucap.
Di antara halaman rumah ini, tatapanku malah kelam tak bersuara. Hanya saja, napas ini berderu panjang, kaki lemah ini berupaya bangkit untuk melangkah jauh. Rasanya, pintu itu malah semakin mengambang.
Penglihatanku memburam cepat, pintu itu jadi redup. Tapi aku berusaha tetap berdiri dengan sekuat tenaga.
"Kenapa gue nggak bisa berdiri lebih kuat?"
Jari-jemariku memegangi kepala, sesekali meremas sela rambutku. Hingga kusadari bahwa sesuatu yang harus aku lupakan hari ini. Kehadiran ayahku cukup menyinggung, mendesak, bahkan mencekikku.
Lalu tubuhku jatuh, dua lututku mengenai lantai halaman. Dua tanganku berpangku pada sisi depan, kepalaku tertunduk lesu, berdesahan lambat.
"Nggak boleh pingsan, nggak boleh pingsan." Kepalaku menggeleng.