"Oslan Gavin."
Aku memanggilnya dengan sangat lengkap, kali ini bersuara datar, lalu alisku naik perlahan. Oslan terlonjak akibat panggilan dari mulutku cukup lantang.
"Jangan bicara soal pernikahan itu. Gue capek, lagian pernikahan itu juga bakalan berakhir dalam hitungan bulan." Aku membuang muka, sampai ke lain arah, tak kembali menatap Oslan.
"Maafin gue, gue hanya—"
Oslan berhenti, dia menyesap jusnya pelan, merunduk karena bersalah.
Dari kehangatan yang sempat terjalin, kenapa situasi menjadi sangat canggung? Aku harus memaksa pandangan ini berputar ke tepat dirinya berada. Oslan malu-malu tak berani menyapaku.
"Lagian lo sendiri yang mulai." Aku memajukan wajahku, hingga seulas senyuman terukir manis di hadapannya.
Oslan terkejut, seketika dia menegakkan punggungnya agar lebih gagah berani. Karena sedikit malu, jemarinya menyentuh bibir, lalu membalasku dengan senyuman pula.
"Hahaha."