Krek!
Aku membuka pintu kamar tidur, dengan penampilan yang tentunya sudah seluruhnya rapi. Tas tangan melintang tertopang di atas pundak sebelah kanan. Sambil berhenti menatap sisi pintu tertutup, kemudian menatap ke arah kamar di sebelahku.
"Katanya mau ngajak gue ke rumah sakit jiwa mama?"
Sosok Sefana keluar ketika aku baru saja mengatakan hal demikian kepadanya. Rautnya masih terlalu datar, sehingga tidak ada yang harus disembunyikan lagi. Tapi, pakaian Sefana sudah sangat rapi, bukan menetap di rumah.
"Sebentar, saya mau ambil sesuatu dulu." Sefana langsung melintasi keberadaanku. Dia tergopoh-gopoh dengan tangan kosongnya.
"Kak Sefa," panggilku seraya menghentikan langkah kaki saudaraku.
Sefana yang hendak melangkah lebih cepat harus mengurungkan niat. Sebelah tubuhnya menyamping miring untuk menatapku. "Kenapa?"