Nadanya meringis, termasuk kepiluanku mengundang jerit tangis yang mendalam. Suara kami sama-sama parau, begitulah tanda bahwa benar-benar berada dalam kekalutan berat. Jose meruntuhkan segala penglihatannya di hadapanku.
Sementara pikiranku seakan lenyap, kosong, tidak ada tanda-tanda kehidupan kalau nantinya aku akan berjalan. Lalu, jawaban itu sudah di depan mata. Aku sempat berpikir keras, walau tadinya badai menghadangku terlalu ganas. Sehingga, emosional lebih dulu memimpin jalan.
Kemudian, aku berusaha bangkit dari keterpurukan pemandangan. Dua tanganku sigap berayun untuk berdiri tegak.
"Bangun!"
Suaraku berubah tegas, meminta Jose untuk segera bangkit agar tidak lagi menangis yang berderu sempit.
Jose mendongakkan pandangan kepalanya, mengayunkan salah satu tangan ke hadapanku. Tapi, lukisan mataku masih terlihat sembab. Masih tersisa redup karena tangisan kelam.
"Ocha."