Clara gusar di belakang meja di kamarnya saat ini. Semalaman dia berusaha untuk bersikap tenang dan tidak menghubungi Luki agar tidak ketahuan oleh lelaki itu.
Dan kini, dia semakin gusar karena belum mendapatkan kabar dari Cinta ataupun Luki.
Seharusnya, jika ada suatu hal yang terjadi. Mereka akan menghubunginya. Tidak seperti sekarang. Mereka malah seolah menganggap jika Clara bukanlah bagian dari keluarga itu.
"Apa dia sudah mati?" tanya Clara pada dirinya sendiri. "Jika mati, seharusnya Luki mengabariku, kan?
"Apa dia masih hidup?"
Suara dering ponselnya membuat Clara terkejut. Dia melihat nomor asing masuk, dan dia tahu jika itu adalah nomor Deri.
"Bagaimana?" tanya Clara.
Suara gelak tawa di ujung telepon semakin meyakinkannya jika suara itu adalah memang milik Deri.
"Kamu sepertinya tak sabar ya. Kamu seharusnya menemaniku malam ini karena aku sudah berhasil membakar rumah itu."
Clara membulatkan matanya?
"Kamu serius, kan?"
"Tentu saja. Kamu bisa berpura-pura datang ke sana dan melihat apakah ada pemakaman di sana atau tidak."
Ya, seharusnya dia melakukan hal itu saja. Toh tak akan ada yang mencurigainya jika dia datang sebagai kekasih Luki.
"Malam ini? Aku sepertinya tak bisa. Aku harus memastikanya dulu."
"Kesepakatan kita sudah kamu setujui. Jangan sampai kamu melanggarnya, Clara. Karena aku tak akan tinggal diam."
"Iya, aku tahu!" Clara langsung menutup teleponnya.
**
Ketika Clara mengunjungi rumah itu. Yang ada di sana hanyalah Cinta. Karena Lukas dan mertuanya ada di rumah sakit.
"Rumah sakit?" tanya Clara penasaran. "Siapa yang sakit?"
Cinta duduk kemudian menghela napasnya dengan kasar. Kemudian dia memainkan kuku-kukunya yang berwarna nude.
"Kasih."
"Kasih?" Clara pura pura terkejut. Meski terlihat jika dia hanya berpura pura saja. "Kasih—kenapa?"
"Kamu tidak diberitahu oleh kekasihmu? Kasih akan melakukan tes DNA. Dia akan melakukan tes DNA agar Lukas tahu apakah itu anaknya atau anak Luki."
Bahu Clara merosot jatuh. Ia pikir Kasih di rumah sakit karena dia sudah menjadi mayat. Namun ternyata tidak.
"Lalu?"
"Selamat. Mungkin jika anak itu bukan anak Luki, kamu bisa kembali bersama dengan Luki. Dan perempuan itu akan menjadi parasit di rumah ini lagi. Sepertinya aku harus menggunakan cara lain untuk menyingkirkannya."
Clara tersenyum kaku. Setidaknya saat ini Luki tidak akan menunggu sampai Kasih melahirkan. Karena Clara yakin jika anak Kasih bukanlah anak Luki.
Kasih perempuan kampungan itu bagi Clara bukanlah saingannya. Apalagi wanita itu—sama sekali tidak menarik.
"Lalu kamu sendiri bagaimana? Bukankah kamu baru saja keguguran?"
Cinta mengangguk. "Padahal aku menggunakan hal itu untuk mengusirnya, tapi malah membuatnya kembali ke sini. Kandunganku lemah dan aku memaksakan diri untuk minum alkohol. Tapi setidaknya aku bisa menyalahkan wanita itu, sih," ungkap Cinta.
Pembantu yang membawakan air minum tak sengaja mendengarnya. Cinta memandang wajah wanita itu kemudian menatapnya dengan mata penuh dengan ancaman.
"Jika Lukas atau mertuaku tahu, itu artinya kalian berdua yang mengadukannya," desis Cinta. "Sepertinya sudah tak ada lagi yang ingin kamu tahu, jadi sebaiknya kamu pulang saja." Cinta sudah berdiri.
Kali ini dia sudah lelah memikirkan bagaimana caranya untuk menyingkirkan Kasih.
Namun nanti, dia akan berusaha lagi agar wanita itu bisa pergi dari sini. Dengan cara apapun.
**
Luki, Lukas dan Kasih ada di rumah sakit. Kedua lelaki itu memberikan satu helai rambut mereka untuk diberikan pada pihak rumah sakit.
"Aku harap itu benar anakku," Lukas berkata tiba tiba, seolah dia masih sukar untuk percaya.
"Kamu masih saja berkata seperti itu, Lukas." Kasih menoleh menatap Lukas seakan malas. "Jika kamu tak percaya kamu bisa mengusirku."
Lukas tersenyum miring. "Mana mungkin aku mengusir wanita yang mungkin saja sedang hamil anakku. Jika aku ingin mengusir mungkin nanti."
Luki bersiap hendak memukul sepupunya itu. Namun ditahan oleh Kasih.
"Jangan, ini di rumah sakit," cegah Kasih.
"Wah, kalian memang sangat cocok." Lukas membenarkan kemejanya kemudian pergi dari sana.
**
"Luki!!" Clara berdiri dari tempat duduknya. Ia langsung menghambur ke arah Luki ketika lelaki itu membuka pintu ruangannya di kantor.
Luki tampak tidak bersemangat.
"Tadi aku sudah ke rumahmu. Tapi katanya kalian sedang ke rumah sakit. Aku sudah mendengar semuanya," kata Clara sambil memeluk lelaki itu.
"Lalu bagaimana dengan pertunangan kita?" Clara mendongak memastikan Luki akan menjawab pertanyaannya.
"Nanti. Kita akan memikirkannya lagi, Clara. Aku sudah pusing karena rumah yang ditinggali oleh Kasih hangus terbakar. Lalu aku pikir—sepertinya itu tak mungkin murni kecelakaan."
Clara yang mendengar Luki berkata seperti itu langsung berubah ekspresinya.
"Kenapa kamu harus pusing? Memangnya Kasih siapa kamu? Bahkan kamu tidak pernah memikirkanku akhir akhir ini!"
Merasa jika dirinya bersalah. Luki akhirnya meminta maaf pada Clara.
"Maafkan aku," kata Luki.
Lelaki itu memeluk Clara. Tapi dia memeluknya atas dasar perasaan bersalah. Bukan karena dia mencintai Clara seperti itu.
Dan rasanya pun berbeda, ketika dia memeluk Kasih tadi pagi.
Jangan jangan … dia mulai jatuh cinta pada Kasih?
"Kamu sedang memikirkan apa?" tanya Clara. Ketika melihat Luki seakan sedang memikirkan sesuatu.
"Ini tidak seperti yang aku pikirkan, kan?" tebak Clara yang tahu jika pikiran Luki saat ini tidak sedang berada di sana.
"Memangnya aku sedang memikirkan apa?"
"Entahlah, yang jelas bukan aku. Kamu tidak sedang memikirkan istri sepupumu itu kan?"