Tangan kanan Luki sudah terangkat, hampir saja dia memukul wajah lelaki botak yang sebentar lagi mungkin akan pingsan. Wajahnya sudah babak belur bahkan tidak bisa dikenali.
"Cukup Luki, hentikan," pinta Kasih. Dengan susah payah dia berdiri kemudian menghampiri Luki. Menahan lengan lelaki itu agar tidak memukulinya lagi.
"Siapa yang menyuruhmu!" tanya Luki sekali lagi. Namun lelaki botak itu hanya meludah mengeluarkan air liur bercampur dengan darah.
Luki melepaskannya. Lelaki itu sepertinya tak akan mau mengakui, jadi dia memutuskan untuk lapor pada polisi.
"Luki, tangan kamu berdarah." Kasih menunjuk tangan Luki. Kemeja berwarna putih gading itu pun ikut terciprat oleh darah.
"Aku tidak apa apa, kenapa kamu harus kembali ke sini sendirian?" tanya Luki.
"Aku tak enak badan, jadi lebih baik kembali ke kamar. Lalu kamu sendiri bagaimana?"
"Sama," jawabnya.
Tak lama kemudian, suara derap langkah kaki yang ramai terdengar menuju kamar di mana Kasih dan Luki berada.
Polisi masuk dan langsung menangkap lelaki botak yang sudah tidak berdaya itu.
"Bapak ikut ke kantor polisi untuk menjadi saksi, dan korban juga," kata polisi. Luki dan Kasih mengangguk.
Usai polisi keluar, Cinta, Lukas, Clara dan ibu mertua Kasih masuk ke kamar itu dan memandang Kasih tak percaya.
"Kamu sengaja ya mengacaukan pernikahanku?" tanya Cinta dengan geram.
"Apa yang kamu lakukan dengan Luki? Kini Lukas yang menuduh Kasih melakukan hal yang tidak tidak dengan adiknya.
Sementara itu Clara memandang Luki dari tempatnya berdiri. Arti pandangan itu tak bisa dijelaskan. Dia ingin marah, tapi dia seperti tak bisa marah.
Saat Luki berdiri dan berjalan keluar, Clara langsung berada di sampingnya.
Kasih mencoba untuk menutupi bahunya dengan jas yang diberikan Luki sebelum dia keluar tadi.
"Kamu menggoda lelaki? Sampai kamu seperti ini?" tanya Lukas dengan jijik.
"Tidak seperti yang kamu pikirkan," sahut Kasih. Dia sudah tidak ada tenaga untuk menjawab dan menceritakan yang baru saja terjadi padanya.
Kasih pergi, tak peduli dengan pandangan orang orang yang seakan menuduh jika dia tengah melakukan perselingkuhan dengan orang lain.
"Kamu mau ke mana? Pesta kita belum selesai," kata Cinta.
"Luki di kantor polisi, aku harus ke sana."
"Tapi setidaknya selesaikan dulu pesta ini, masih banyak tamu yang mana mungkin kita menyuruh mereka untuk pergi."
Lukas pun menurut, dia melanjutkan pesta pernikahan dengan pikiran yang ke mana-mana.
**
Luki mengangsurkan minuman pada Kasih. Terlihat jelas jika wanita itu masih syok atas apa yang menimpanya baru saja.
"Tadi—aku belum terlambat, kan?" tanya Luki, dia duduk di sebelah Kasih.
"Tidak, terima kasih—karena sudah membantuku."
Mereka berdua kemudian terdiam. Clara yang baru saja muncul dari dalam kemudian berdiri di depan mereka.
"Kamu sudah boleh pulang, sebaiknya kita segera pulang," ajak Clara pada Luki.
"Lalu Kasih bagaimana? Lelaki tadi—pasti ada yang menyuruhnya kan?"
"Tidak, lelaki itu mengira kalau Kasih adalah mantan kekasihnya. Maka dari itu dia membawa Kasih ke kamarnya."
Sontak Kasih memandang Clara tak percaya. "Tapi yang terjadi bukan seperti itu," gumam Kasih.
"Kalau kamu mau menuntut dia, kamu lakukan sendiri. Jangan seret Luki masuk dalam masalahmu," sambar Clara marah. Melihat Luki memukuli lelaki lain demi Kasih saja dia sudah marah apalagi jika harus melihat Luki membela mati-matian wanita itu.
"Tapi aku merasa sedikit aneh, kamu tahu sendiri kan? Kalau seluruh kamar yang ada di lantai itu khusus untuk keluarga keluarga kita, lelaki itu bukan tamu—dan juga—dia bukan saudara kita jadi mana mungkin—"
"Aku tidak tahu, dia mengatakan itu pada polisi tadi. Dan dia mengatakan kalau dia hanya mengira Kasih adalah mantan kekasihnya," jelas Clara tak sabar.
"Lalu bagaimana dengan hukumannya?"
Clara menaikkan kedua bahunya. "Aku tidak tahu."
Ia langsung menarik lengan Luki dan meninggalkan Kasih sendiri.
"Setidaknya kita harus pulang dengan Kasih," kata Luki.
**
Luki mengantarkan Kasih sampai di depan kamarnya, memastikan jika wanita itu baik baik saja di sana.
Pesta juga sudah usai dan keluarga mereka sudah masuk ke kamar masing masing. Parahnya mereka sama sekali tidak peduli dengan keadaan Kasih saat ini. Apalagi Lukas yang jelas jelas melihat istrinya dilecehkan oleh orang lain.
"Kalau nanti polisi menghubungimu, kabari aku," kata Luki lagi. Kasih mengangguk.
Clara yang melihat dari depan pintu kamarnya berdecak sebal. "Sayang, buruan masuk!" serunya.
Luki kemudian ke kamarnya. Masuk setelah Clara tak lama masuk ke sana.
"Orang orang pasti menyangka kalau kekasihmu itu Kasih, bukan aku," kata Clara, dia melemparkan tasnya ke ranjang.
"Lalu mau bagaimana lagi? Tak ada yang peduli padanya."
"Tapi bukan berarti kamu yang harus peduli padanya, kan?"
Luki diam, ia lalu masuk ke kamar mandi.
Diam diam Clara keluar ke balkon hotel kamarnya. Ia menerima telepon dari seseorang.
"Besok aku akan membebaskannya, aku akan membayar dendanya. Tapi suruh dia untuk tidak muncul sementara waktu. Jangan pernah mengatakan kalau aku yang menyuruhnya."
Clara menghela napasnya, ia kemudian menghapus history panggilannya.
"Berbuat seperti itu saja tidak becus," gerutu Clara. "Kalau Kasih masih ada di keluarga ini, pasti Luki akan terus menerus melindunginya. Memangnya dia siapa? Dia bukan kekasih Luki, tapi kenapa Luki harus bekerja keras ingin melindunginya. Jangan-jangan—"
Clara mulai menebak jika Luki tertarik pada Kasih.
"Ah tak mungkin, bahkan aku jauh lebih baik darinya."
**
Bel pintu di kamar Kasih terdengar berkali-kali. Karena masih takut Kasih mencoba untuk mengabaikan. Hingga sebuah pesan masuk ke ponselnya.
Lukas: Buka pintunya.
Kasih yang berpikir jika Lukas akan memahami keadaannya dan ingin menemaninya malam ini gegas membuka pintu itu.
Namun ketika Kasih baru saja membuka pintu itu, Kasih langsung mendapatkan tamparan keras dari Lukas.
"Kamu benar benar murahan, kamu menggoda Luki ketika aku melihatmu." Bau alkohol menyeruak, Lukas mabuk!
"Kenapa kamu harus menuduhku seperti ini? Kenyataan Luki yang selalu membantuku itu memang benar, tapi aku tidak pernah menggodanya." Kasih memundurkan langkahnya ketika Lukas berjalan melangkah ke arahnya.
"Lalu tadi apa?" Lukas merobek gaun malam Kasih. "Kamu menampilkan tubuhmu di depan Luki, itu apa maksudnya!"
Mata Kasih melebar. "Bahkan kamu tidak tahu jika aku hampir dilecehkan oleh orang lain," gumam Kasih.
"Kamu dilecehkan karena pakaianmu! Mungkin jika Luki yang melecehkanmu kamu akan diam saja!"
PLAK!!
Kasih menampar pipi Lukas. Lelaki itu setengah sadar dan memegangi pipinya yang memerah.
"Kamu sudah berani menamparku?" tanya Lukas dengan nada yang dingin. Ia kemudian mendorong Kasih sampai terjatuh di atas ranjang.
Lukas naik ke atas ranjang kemudian melepaskan kemeja yang masih melekat di tubuhnya. "Apa kamu sangat kesepian hingga menginginkannya sekali?"
Kasih menggeleng pelan. "Bukan seperti itu."
"Baiklah kalau begitu, aku yang akan memberikannya kepadamu."