"Ah, kau lupa. Kau adalah seorang mafia yang kejam. Hanya seorang wanita saja, tak akan membuat hidupmu bermasalah. Kau bahkan bisa membuat anakmu menjemput kematiannya." Kalimat itu terlontar cukup pedas dari mulut Nathan.
Entah sejak kapan hubungan ayah dan anak ini seperti sekarang. Padahal dulu mereka sangat akrab. Tuan Drigory juga begitu memanjakan Nathan sejak kecil.
"Jaga bicaramu! Aku tak membunuh Jimmy!"
"Kau yang menggiringnya dalam kematian! Seharusnya kau tak perlu menentang hubungannya dengan Nara sehingga membuat perpecahan dengan keluarga Peterson!"
"Kau tidak mengerti, Nathan!" Tuan Drigory mencoba bersabar dengan putranya yang dirasa belum mengerti akan dunia yang dijalaninya ini.
"Ya, aku tak mengerti. Aku tak mengerti hubungan kalian! Aku tak mengerti bisnis kotor yang kalian lakukan! Kau! Kau menjual barang haram untuk hidup mewah. Dan Tuan Peterson, dia menjual kesedihan rakyat untuk menempati posisinya!"
"Setidaknya, aku tak munafik seperti Peterson!" bentak Tuan Drigory.
Nathan mendengus, lalu tersenyum dan kemudian menertawakan ayahnya. "Kalian sama-sama melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang kalian mau. Apa bedanya? Mafia atau pun pejabat. Mereka sama-sama menipu kebenaran untuk tujuan tertentu," ucap Nathan.
Nathan bergegas pergi. Ia tak ingin lagi bicara dengan ayahnya. Selalu dan selalu. Setiap kali bicara dengan sang putra, Tuan Drigory seakan tak bisa menahan diri.
"Sialan!" Tuan Drigory melemparkan gelas yang ia pakai untuk minum. "Kenapa di mirip sekali denganmu, Jasmine? Kenapa? Aku ingin melupakanmu! Kenapa kau ada di dalam anak itu!"
Tuan Drigory terlihat marah, kesal, dan sedih bercampur aduk menjadi satu.
***
Nathan keluar dari rumah begitu saja. Padahal hari sudah malam. Black yang mengetahui hal itu diam-diam meminta salah seorang anak buahnya untuk mengintai ke mana Nathan pergi.
Nathan pergi ke kebun apel di belakang rumah Kimberly. Padahal kondisi kebun itu sudah tak semestinya akibat dibakar oleh Nathan beberapa hari yang lalu.
Keputusan ayahnya untuk bertunangan dengan Lucy sungguh sangat menyakitkan perasaan Nathan. Ia tak ingin wanita kotor itu menjadi ibu tirinya. Tapi, tak ada yang bisa melawan sang ayah. Setiap keputusan yang diucapkan oleh ayahnya, tak ada yang bisa menghalangi. Termasuk Nathan, anaknya sendiri.
Dalam kegalauannya, Nathan tak sengaja menatap ke arah jendela kamar Kimberly. Terlihat cahaya lampu dari kamar gadis itu. Hal itu berarti, Kimberly belum tidur. Nathan masih menata dari kejauhan dengan pikiran yang hanya diketahui olehnya.
****
Kimberly tengah asyik mengerjakan tugasnya di kamar. Gadis ini memang tak terlalu pintar. Namun, ia cukup rajin. Di depan meja belajar, ia menatap laptop dan mengetikkan kalimat-kalimat tertentu untuk menggarap tugas dari Profesor Grey. Ditemani embusan angin malam yang membuat Kimberly semakin terlelap dengan tugasnya.
Tapi ketenangan malam itu terusik. Saat ada suara aneh terdengar dari balik jendela. Kimberly yang curiga, tak berani untuk melihat. Tapi ia sangat terganggu dengan suara itu.
Kimberly lantas mengambil tongkat baseball peninggalan ayahnya. Ia sering bermain baseball dengan sang ayah saat ayahnya masih hidup. Kimberly berjalan mendekat, tapi dengan perasaan takut yang sangat kentara.
BRUK!
Seseorang masuk ke dalam kamar Kimberly melalui jendela. Kimberly yang ketakutan segera mengayunkan tongkat baseball itu dan tepat mengenai kepala orang itu.
"Astaga!" Kimberly memekik saya tahu siapa orang yang sudah lancang masuk ke kamar seorang gadis. "Jonathan Drigory?"
"Kau gila! Kenapa kau memukulku!" ucap Nathan sambil memegangi kepalanya karena baru saja dipukul oleh Kimberly.
"Kau sendiri kenapa masuk ke kamarku? Kalau kau mau ke sini, harusnya kau lewat pintu! Bukan masuk lewat jendela begini!" pekik Kimberly.
Kimberly lantas melihat kepala Nathan yang baru ia pukul. Ada darah yang keluar dari luka itu.
"Darah!" Kimberly begitu panik saat melihat darah keluar dari kepala Nathan. Tentu ia takut, setelah tahu siapa Nathan dan bagaimana latar belakangnya.
"Kau melukaiku?' ucap Nathan.
Kimberly langsung tersungkur di depan Nathan. Ia buru-buru mengatupkan kedua tangannya. "Maafkan aku. Maafkan aku. Aku tidak sengaja. Kupikir kau orang jahat! Kumohon lepaskan aku kali ini!" ucap Kimberly memohon.
Nathan menatap wajah Kimberly yang ketakutan. Sangat berbeda dengannya waktu mereka pertama kali bertemu.
"Hei, ambilkan aku kompres es batu," ucap Nathan.
"Apa?" Kimberly belum sadar dengan maksimal ucapan Nathan.
"Kau harus merawat lukaku. Ambilkan es batu dan kompres dengan itu. Darahnya akan berhenti," ucap Nathan.
Kimberly segera berdiri. Ia bergegas keluar kamar dan menuju dapur untuk mengambil es batu di kulkas.
Suasana dapur malam itu gelap karena lampu sudah dimatikan. Kimberly mencoba berhati-hati agar ibunya tak terbangun.
Setelah meletakkan beberapa blok es batu ke dalam kantong plastik. Kimberly segera naik ke atas lagi.
Begitu masuk kamar, ia mendapati Nathan dengan santainya melihat-lihat isi lemari Kimberly.
"Hei, apa yang kau lakukan!" pekik Kimberly.
"Pelankan suaramu. Kau ingin orang-orang tahu kalau ada pria asing di kamarmu?" Nathan begitu tenang mengatakan hal itu kepada Kimberly. Padahal jelas-jelas Nathan bersalah.
Kimberly segera meletakkan kantong plastik berisi es batu di atas meja. Ia lantas menarik Nathan agar pria itu tak menyentuh barang-barangnya.
"Duduklah! Kau harus mengompres kepalamu!" ucap Kimberly.
Nathan tersenyum menggoda. Tapi ia menuruti apa kata Kimberly. Ia duduk di atas ranjang milik Kim dan menunggu.
Kimberly sendiri hanya menatap Nathan. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Tapi beberapa menit kemudian, ia menyerahkan kantong es baru itu kepada Nathan.
"Ini, lakukan sendiri!" ucap Kimberly.
Nathan menghela nafas. "Kau ingin lepas tanggung jawab?" tanya Nathan. Membuat kesabaran Kimberly teruji.
"Kau manja sekali!" pekik Kimberly.
"Ssst, diamlah. Kau bisa membuat ibumu terbangun. Kau ingin membuat keributan?" goda Nathan.
Kimberly mendengus kesal. Ia mendekati Nathan dan duduk di sampingnya. Dengan kesal, Kimberly menyambar kantong plastik berisi es batu itu dan menempelkan ke kepala Nathan.
"Aaaw!" Nathan mengerang kesakitan karena tekanan dari es batu itu.
"Sakit?" Kimberly takut saat mendengarkan erangan Nathan. Ia takut kalau Nathan melaporkan yang tidak-tidak kepada orang-orang berjas hitam di rumahnya.
"Tak terlalu," jawab Nathan sambil tersenyum.
"Kau sedang menggodaku?" ujar Kimberly kesal.
"Kau sendiri yang bodoh. Siapa suruh memukul orang sembarangan!"
"Kau masuk ke kamar orang tanpa permisi. Apa aku tak boleh waspada?" sahut Kim tak mau kalah.
Nathan menatap wajah Kimberly dengan tatapan yang tajam dan dalam. Hingga Kimberly sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Padahal saya ini jantungnya berdegup sangat kencang karena tatapan maut itu.
"Aku baru tahu ada orang kota bodoh sepertimu," ucap Nathan.
"Kau pikir orang kota seperti apa?" tanya Kimberly.
"Foya-foya, foya-foya, foya-foya," ucap Nathan sambil menatap Kimberly. "Tapi kau sama sekali tak seperti itu."
Bersambung ....