Chereads / Gold Lycaon Company / Chapter 22 - Serangan Pertama

Chapter 22 - Serangan Pertama

Gold Lycaon dengan segala keriuhan kerjanya masih terlihat begitu menyenangkan siang itu. Sejujurnya Lexa bisa merasakan bagaimana orang-orang di dalam perusahaan ini hanya terbagi menjadi dua kemungkinan, entah itu baik dan ramah, entah juga dingin tapi baik dan ramah. Lexa mengakui kadang ada yang aneh dari cara mereka menatap satu sama lain. Bukan tatapan jahat, tapi lebih seperti lapar. Tatapan yang terlalu sulit untuk dia mengerti. Lexa juga tidak terlalu peduli toh pada intinya mereka semua bersikap dengan baik padanya.

Lexa sedang berada di lantai sembilan di mana dia sedang mengantarkan dokumen yang sudah ditandatangani Vano. Lantai milik departemen keuangan yang luas dan jauh lebih ramai daripada lantainya bekerja. Lebih banyak orang di sini, tapi hanya beberapa yang Lexa ketahui namanya. Salah satunya Siska, dia asisten manajer keuangan. Pada dialah, Lexa selalu bertemu. Senyum mengembang terbit di wajah Lexa saat dia melihat Siska sedang menyalin beberapa dokumen di sudut mesin foto kopi. Lexa berjalan kea rah wanita itu dengan mantap.

"Hai, Siska," katanya ramah.

"Hai juga, Lexa. Kau mau mengantar dokumen? Letakkan saja di mejaku seperti biasa," beruntung wanita itu memang ramah padanya.

"Aku ingin di sini sebentar. Aku bosan sekali di atas. Semua orang sangat sibuk dan tidak banyak yang bisa aku lakukan," ucap Lexa memang benar adanya.

"Hahaha. Aku mengerti, tapi kau juga harus mengerti. Mereka yang di atas itu ujung tombak perusahaan ini. Tentu saja mereka harus sangat sibuk," ucap Siska menekan satu tombol di alat mesin foto kopi.

Belum lama Lexa dan Siska berbincang, tiba-tiba keduanya mendengar teriakan dari salah seorang karyawan. Tentu saja keduanya sepakat mencari asal suara dan bisa mereka lihat sebagian besar orang di ruangan itu terlihat sangat kesakitan. Memegang leher masing-masing dan seolah ingin memuntahkan sesuatu yang entah apa. Sebagian dari mereka bahkan sudah terjatuh di lantai dan sudah mengeluarkan darah dari mulut dan hidung mereka.

"Siska!" hanya itu yang Lexa bisa ucapkan.

"Apa yang terjadi pada mereka?" Siska juga bingung.

Tidak lama lift terbuka, sepertinya kejadian ini tidak hanya terjadi di sini. Wajah-wajah panik terlihat dari mereka yang berada di dalam lift. Berteriak dan meminta mereka yang masih selamat untuk segera pergi dari perusahaan. Sigap dari tangga darurat juga ada beberapa petugas keamanan yang meminta mereka yang selamat untuk menggunakan tangga karena lift memang sedang penuh. Di tengah kepanikan itu, sungguh Lexa masih bingung mengenai apa yang terjadi. Dia sempat menoleh pada karyawan yang terluka dan tubuh mereka berubah aneh. Ada rambut-rambut halus tumbuh dari wajah dan tangan mereka bersamaan dengan tumbangnya tubuh-tubuh itu.

Lexa terpaksa menikah dengan Siska karena ada karyawan lain yang mendorong tubuh Siska masuk ke dalam lift dan saat Lexa berusaha masuk ke dalamnya, lift itu berbunyi menandakan beban yang sudah berlebih. Lexa melihat bagaimana pintu lift itu tertutup dan seseorang mendadak menutup mata Lexa dan segera merangkulnya menuju lift yang lain. Lexa belum sempat mencerna segalanya tapi sempat melihat dan segera tahu itu Vano. Tentu saja Lexa bingung apalagi ternyata ini bukan lift yang biasanya karyawan gunakan. Mungkin seperti sebuah lift rahasia atau apa tapi Lexa hanya bisa menatap sekeliling dengan bingung.

"Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka? Apa mereka keracunan sesuatu atau apa?" tentu saja Lexa ingin tahu.

"Aku akan menjelaskannya padamu nanti, tapi untuk saat ini kita harus mengevakuasi semua orang!" ucap Vano tegas.

"Bagaimana dengan si kembar? Lalu Zoya dan Nola?" tentu saja Lexa khawatir.

"Kau tenang saja. Mereka sudah lebih dulu turun," ucap Vano berusaha menenangkan.

"Ta-tapi tasku. Tasku masih ada di atas! Ponselku juga ada di dalamnya. Aku harus kembali!" Lexa mendadak mengingat tasnya.

"Kenapa justru itu yang kau pikirkan? Aku yakin isinya tak seberapa! Kita bisa mengambilnya nanti!" kata Vano santai.

Tentu saja Lexa marah mendengar ucapan pria itu, tapi dirinya juga tahu bukan saat yang tepat meributkan itu saat ini.

"Memang tas dan ponsel itu tidak berharga apalagi untuk seseorang sepertimu! Tapi ada hal yang jauh lebih penting bahkan dari semua barangku yang ada di dalamnya! Itu satu-satunya peninggalan dari orangtuaku! Aku harus mengambilnya!" Lexa yang kesal berusaha menekan tombol angka lantai yang paling dekat. Dia berniat untuk turun dan naik sendiri menggunakan tangga darurat.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Vano.

"Aku kan sudah mengatakan padamu. Aku harus mengambilnya! Aku akan melakukannya sendiri! Selamatkan saja dirimu sendiri!" ucap Lexa melihat pintu lift mulai terbuka.

"Ah sialan! Kau benar-benar merepotkan! Kita pakai lift saja!"

Di lantai tiga, tempat di mana departemen marketing berada, Lexa sempat melihat beberapa orang sudah terkapar tak berdaya. Ada beberapa suara erangan kesakitan meminta tolong. Lexa yang bahkan baru sepersekian detik melihat sudah dialihkan lagi pandangannya dengan Vano kini mengalihkan wajah Lexa untuk kini memandangnya yang ada di sisi kanannya. Lexa sempat tertegun beberapa saat dengan tindakan tiba-tiba bosnya itu hingga pintu lift tertutup dan kembali membawa mereka naik ke lantai 13.

"Kau tidak perlu turun. Aku yang akan mengambilnya ke ruanganmu. Kau tunggu di sini dan jaga saja pintunya!" ucap Vano tegas bahkan sebelum pintu lift itu tertutup dan Lexa mengangguk.

Vano berlari menuju ruangan Lexa. Menyusuri ruangan yang sepi. Dia segera bisa melihat tas ransel Lexa yang ada di sebuah kursi. Memeriksa isinya di mana ponsel itu berada. Saat dia melihat dan memperhatikan ponsel itu, Vano sempat tertegun beberapa saat ketika melihat gantungan ponselnya. Entahlah hanya rasanya ada sesuatu dalam ponsel itu yang menaarik energinya. Vabo bahkan harus beberapa kali menarik nafas dalam setelah menutup kembali tas Lexa. Dia segera berlari kembali ke arah lift yang disambut Lexa menunggunya dengan cemas di pintu lift.

"Kau datang juga. Terima kasih," ucap Lexa merasa lega menerima tas ranselnya.

"Sekarang kita harus naik!" ucap Vano menekan tombol rooftop.

"Naik?" Lexa masih bingung tapi dia menurut saja.

Di atap Gold Lycaon Company, tempat yang sama sekali belum pernah Lexa injak, sebuah helikopter sudah menunggu. Baling-balingnya yang mulai bergerak kencang membuat Vano dan Lexa sedikit terganggu dengan anginnya. Mantap Vano kembali merangkul tubuh Lexa dan menuntunnya masuk ke dalam helikopter. Memasang sabuk pengaman di tubuhnya sekaligus membantu Lexa. Lexa melihat ternyata di dalamnya adalah Javier yang sedang mengendarai dan Jasper yang sedang menjadi asisten pilotnya.

"Selamat datang, Bos," ucap si pilot.

"Kau datang tepat waktu," pujian Vano tentu saja.