Tidak bisa dipungkiri, menjadi seorang Alpha dari Gold Lycaon ini menyiksa diri Vano. Siapa juga yang ingin hidup dengan kondisi seperti ini. Selalu sulit mengontrol diri terutama melihat manusia di mana-mana. Hidup dengan penuh dendam dan hasrat untuk melampiaskannya sesegera mungkin. Marah pada diri sendiri sepanjang waktu. Pada akhirnya, Vano yang sebenarnya memang seperti pria kebanyakan dulunya, kini menjadi jauh lebih dingin dan tak tersentuh. Dia sadar diri, dia membangun tembok itu sendiri. Tembok untuk menjaganya dari menyakiti dunia luar.
"Selalu ada cara lain! Kau pernah melewati hari-hari dengan makan binatang! Kenapa tidak kembali keakarmu?" ucap Vano tak kalah ketus.
Pernyataan Valdo tentu saja menamparnya. Kalau boleh, dia ingin kembali makan binatang seperti dulu. Hanya saja apa yang sudah menjadi kebiasaannya ini, terlalu sulit untuk dihilangkan. Apa lagi peran dan kondisinya sebagai Alpha yang tentunya harus menunjukkan keberanian juga kemampuannya menjaga seluruh kawanan. Kalau dia sendiri terlihat lemah, bagaimana Alpha lain akan menghargainya? Apa lagi dengan musuh yang semakin lama semakin dekat rasanya. Arie, nama yang hingga detik ini terus menghantuinya.
"Kau tahu aku tidak bisa melakukannya! Ada bahaya yang sedang mengancam kita dan setidaknya dengan bersikap seperti ini, kita bisa menjaga jarak yang tepat dengan musuh kita," ucap Vano tegas.
"Musuh kita? Lebih tepatnya musuhmu kan? Aku tidak pernah setuju dengan rencana balas dendam itu! Aku bahkan tidak tahu siapa dia," ucap Valdo enggan.
"Aku sudah bekerja bersama si kembar di luar sana selama ini untuk mencari tahu mengenai William Arie. Kau tahu kan kemungkinan besar dia adalah dalang dari kematian ayah kita seperti apa yang dia lakukan pada Leon!" ucap Vano masih berusaha meyakinkan.
"Semua masih dugaan kan? Lagipula kalau memang benar dia ingin mengalahkanmu, kenapa dia masih diam sampai sekarang?" Valdo ingin tahu.
"Justru karena dia diam, aku sama sekali tidak tahu apa yang dia rencanakan. Aku takut kita lengah dan dia mendadak melenyapkan kita semua," ucap Vano lagi.
"Apapun itu lakukan sesukamu! Jangan libatkan aku apalagi ibu dalam pertengkaran pribadimu itu!" ucap Valdo ketus.
Valdo meninggalkan ruangan Vano dengan kesal. Percakapan kakak adik itu memang tidak akan berakhir dengan senang dan tenang sejak dulu. Vano hanya bisa menatap kepergian sang adik dan melamun. Dia juga membenci dirinya sendiri karena tidak bisa bersikap lebih baik pada Valdo. Ketidakhadiran ayah mereka memaksanya berubah menjadi sosok kepala keluarga di usia yang cukup dini. Belum lagi perannya sebagai pimpinan perusahaan juga pimpinan dari para manusia serigala. Vano sebenarnya hanya kesulitan saja dan dia mengharapkan Valdo harusnya bisa sedikit meringankan bebannya.
Entah berapa lama dia terdiam hingga pintu itu diketuk. Lexa datang dengan nampan di tangannya berisi makan siang untuk sang bos. Pria dingin itu tidak menyadari kehadirannya hingga gadis itu mendekat dan perlahan sudah mendorong makanannya tepat di depannya.
"Kau…" ucap Vano terbata.
"Ya, Tuan ini aku. Aku datang untuk mengantarkan makan siang," ucapnya lembut.
"Aku heran kenapa Valdo bisa menyukai wanita sepertimu," Vano berucap lirih, tapi tetap saja terdengar.
"Ada apa, Tuan?" tanya Lexa memastikan.
"Apa yang begitu spesial darimu hingga kau bisa membuat Valdo menyukaimu?" tanya Vano kali ini lantang.
"Ah, aku tidak tahu, Tuan. Aku pikir Tuan Valdo hanya senang saja berteman denganku dan tidak lebih," ucap Lexa berusaha tahu diri.
"Awalnya aku pikir juga begitu, tapi kalau kau melihat bagaimana sikapnya begitu berbeda saat bersamamu dan bersamaku, aku yakin kau akan mengerti," ucap Vano lagi.
"Ah, benarkah? Rasanya terlalu awal untuk mengatakan beliau menyukaiku," ucap Lexa yang bersiap untuk pergi.
Entah kenapa, Vano masih merasa sangsi dengan semuanya. Dia ingin tahu apa benar Valdo benar-benar menyukai gadis ini dan apakah benar gadis ini memang sepolos dan sebaik kelihatannya. Dia juga bingung apa yang dia rasakan saat melihat keduanya bersama. Dia bisa melihat punggung itu menjauh dan sudah hampir menjangkau gagang pintu besar ruangannya.
"Karena kau bawahanku, aku ingin mulai sekarang kau menjaga jarak dengan Valdo! Kalian tidak akan pernah bisa bersama!" suara tegas Vano.
Tentu saja perintah itu berhasil membuat Lexa menoleh dan memperhatikan. Dia ingin bertanya, tapi sepertinya Lexa sudah tahu jawabannya.
"Aku akan berusaha, Tuan," ucap Lexa lalu berpaling.
Lexa berjalan dengan gontai kembali ke ruangan kerjanya. Bahkan belum ada apa-apa antara dirinya dan Valdo, tapi rasanya semua pihak sudah menghalanginya. Lexa juga tahu diri, dia tidak akan mungkin berusaha mendekati Valdo karena pria itu berada jauh di atas levelnya.
Malam harinya, setelah semua karyawan pulang, Lexa memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan Vano. Jam sudah menunjukkan hampir jam delapan malam dan pria itu belum juga pulang. Bisa-bisa Lexa tidak mendapat bis kalau dia pulang terlalu malam. Dia masuk berhati-hati setelah mengetuk tapi tak juga mendapatkan jawaban. Siapa sangka Lexa mendapati pria itu tidur dengan kedua tangannya digunakan sebagai topangan. Antara yakin dan tidak, tapi kalau harus menunggu pria itu bangun, bisa-bisa dia sama sekali tidak bisa pulang.
"Hm, tuan…" panggil Lexa lembut.
Belum ada respon dari pria itu.
"Tuan, ini sudah sangat malam," panggil Lexa lagi.
Kali ini bisa Lexa lihat pria itu menggeliat. Dia perlahan bangun dan mengecek jam tangannya.
"Ah, aku tertidur. Sudah sangat malam. Kau pulang saja duluan," ucap Vano dengan suara seraknya.
Lexa mengangguk dan segera pulang karena dia sangat takut ketinggalan bis. Benar saja, dia harus duduk di halte untuk beberapa menit. Lexa coba menghubungi Bocca berharap pria itu bisa datang menjemputnya, tapi pria itu tidak juga menerima teleponnya. Lexa tidak punya banyak teman dan dia melihat nomor Valdo di sana, tapi tentu pikiran itu segera ditolaknya mentah-mentah. Hingga suara klakson membuyarkan lamunannya.
"Tuan Vano?" Lexa berkata lirih setelah pria itu menurunkan kaca mobilnya.
"Naik ke mobilku!" perintah pria itu bahkan tanpa menoleh ke arahnya.
"Maaf, Tuan?" tanya Lexa tak yakin.
"Aku bilang, masuk mobil!" ucapnya kali ini lantang dan Lexa cepat bertindak.
Baru saja menutup pintu, "apa telingamu itu memang bermasalah?"
"Ck, aku hanya memastikan aku tidak salah dengar," ucap Lexa dengan santainya.
"Aku atasanmu! Bersikaplah yang sopan atau aku akan menurunkanmu di sini!" ancam Vano lagi.
"Hmh, selalu menggunakan jabatan untuk bicara padaku. Kali ini kita berada di luar kantor dan seharusnya tidak masalah kalau kita bicara sedikit tidak formal. Hanya saja aku rasa kau memang terlalu suka dihormati. Baiklah! Aku akan bicara sopan daripada aku harus pulang jalan kaki sampai apartemenku!" ucap Lexa dengan santainya.