Vano berjalan menyusur lobi utama perusahaannya. Semua orang yang berpapasan akan selalu menunduk sopan sebagai bentuk penghormatan. Di sisinya akan selalu berdiri dua orang kepercayaannya, Jasper dan Javier. Bahkan ketika mereka tidak berangkat dari tempat yang sama, dua pria itu akan menunggu sang bos di pintu utama agar bisa mengawalnya ke dalam. Keamanan super ketat rasanya mendampingi pria itu kemanapun. Seorang pekerja bahkan menekan pintu lift untuknya. Seolah dia tidak diperkenankan menyentuh apapun agar tak menggoresnya.
Di dalam lift, Vano bisa melihat tampilannya sekilas dengan setelan jas hitam dan kemeja bewarna putih. Sebuah dasi hitam dan sepatu kulit buaya melengkapi penampilannya. Tinggi, tampan, berkharisma, dan dingin benar-benar gambaran sempurna dari sosok seorang CEO di novel manapun.
"Jadi, apa yang kau dengar mengenai Arie?" tanya Vano pada Javier.
"Ya seperti yang sudah aku katakan padamu sebelumnya. Dia sudah meninggalkan Spanyol malam tadi dan datang kemari," ucap Javier dengan siaga.
"Kemari? Perancis? Apa ini berarti dia sudah siap melakukan seranagn pertamanya?" tanya Vano menatap mata lawan bicaranya melalui pantulan dinding lift di hadapannya.
"Sepertinya begitu."
"Dan kalian sama sekali belum bisa menemukan apa rencana mereka?" suara Vano mulai meninggi.
"Hm, yang kami tahu, dia sedang gencar-gencarnya melakukan penelitian rahasia di salah satu kota di Spanyol. Tempat itu benar-benar tersembunyi dan tertutup. Kami benar-benar tidak bisa membobol system keamanannya," ucap Javier terdengar kecewa.
"Apa kau serius? Sama sekali tidak ada yang kita ketahui di sini?" tanya Vano mulai emosi.
"Sayangnya begitu. Kami sudah mencoba melakukan berbagai cara. Tempat itu dilindungi oleh perisai anti elektrik yang sangat kuat. Segala jenis teknologi tak akan bisa menembusnya. Kami juga sudah coba masuk melalui penyamaran. Mereka berhasil menangkap sopir beserta asistennya dan membunuh keduanya segera. Pemasok mereka sepertinya hanya mengandalkan beberapa orang supir dan asistennya jadi kita tidak bisa menggunakan siapapun untuk masuk ke dalam sana. Siapapun itu rahasia mereka semuanya dirahasiakan dengan sangat baik. Mereka melakukan segalanya agar tidak ada penyusup masuk ke dalam tempat itu," ucap Javier panjang lebar.
"Apapun yang mereka ciptakan, ini pasti dikhususkan untuk memusnahkan kita para manusia serigala. Kemungkinan terbesarnya adalah berhubungan dengan perak. Entah senjata macam apa itu yang kami belum bisa pastikan," ucap Jasper berpendapat.
"Hmh, aku benar-benar kesal saat ini. Arie sudah berada di sini saat ini dan kita sama sekali tidak tahu apa yang bajingan itu rencanakan!" ucap Vano tepat sebelum pintu lift terbuka.
Nola dan Zoya yang sudah lebih dulu ada di ruangan itu segera berdiri dan membungkuk seperti karyawan lainnya. Apalagi Zoya yang sudah tersenyum dengan sangat cantik berharap mendapat perhatian dari sang bos. Mereka bergerak menyusul masuk dengan beberapa jenis dokumen yang perlu ditandatangani oleh Vano. Tidak lama, Lexa masuk dengan senampan the hangat yang memang selalu dia siapkan tiap pagi. Satu minggu bekerja di tempat ini, dia sudah mengerti bagaimana tabiat bos besarnya itu. Vano yang masih kesal hanya bisa diam meskipun Zoya sedang menjelaskan beberapa hal yang dianggapnya penting.
"Zoya! Aku akan membacanya sendiri nanti. Lebih baik kalian keluar dan bekerja!" Vano sangat kesal.
Zoya cepat melengos. Bosnya ini memang tampan, tapi kalau dia sudah marah, itu akan sangat berbahaya baginya dan lainnya. Nola dan Lexa pun segera berlalu. Masih menyisakan Jasper dan Javier yang juga berada di dalam. Sama tegangnya dengan Vano.
"Tidak ada yang bisa kita lakukan selain berhati-hati. Perketat penjagaan! Jangan biarkan orang asing manapun datang ke perusahaan ini. Kalau memang untuk bisnis, kita yang akan mengalah dan adakan pertemuan di luar. Restoran, hotel, atau apapun boleh," ucap Vano memberi titah.
"Tapi, pertemuan di luar akan membahayakanmu," ucap Jasper mendadak khawatir.
Vano menatap kesal ke arah Jasper, " aku ada di sini hari ini karena aku bertanggung jawab akan kawananku! Tentu saja keselamatan mereka akan selalu menajdi prioritas untukku!"
Jasper dan Javier memilih undur diri dari ruangan tersebut. Pekerjaan pun berjalan dengan normal. Kesibukan yang masih sama setiap harinya. Kecuali Lexa yang hanya duduk saja meluruskan kaki dengan bosan di dalam ruangannya. Pekerjaannya memang tak terlalu padat apalagi menantang. Hingga seorang masuk ke dalam ruangannya dan itu Zoya. Dia ingin mengambil beberapa es batu untuk jus yang sudah dia siapkan dari rumah. Zoya sesekali tertawa seakan mengejek menatap riasan wajah Lexa yang masih saja berantakan.
"Apa sulit sekali untukmu mempelajari tata rias?" tanya Zoya yang kini duduk di seberang Lexa.
"Ah, ya sepertinya begitu. Aku tidak punya cukup waktu untuk mempelajari hal baru belakangan ini," ucap Lexa khawatir.
"Hmh, aku akan tunjukkan sedikit caranya padamu," ucap Zoya yang cepat berlalu.
Belum sempat Lexa menolak, wanita itu sudah kembali dengan tas kecil tempat alat riasnya semua disimpan. Lexa juga sebenarnya tak enak, tapi Zoya sepertinya memaksa. Wanita itu sudah sedikit menarik tangan Lexa untuk masuk ke dalam toilet dan menunjukkan caranya di sana. Cara menyapukan bedak yang baik, cara membuat alis yang alami dan cantik, cara menyapukan eyeliner dan lipstik, dan lain sebagainya. Ternyata berdandan tak harus selama itu. Hanya 15 menit, Zoya sudah menyelesaikan tugasnya di wajah Lexa.
"Coba lihat ke cermin seluruh tampilannya. Bagus kan? Ya ini sangat sederhana, tapi cocok untukmu kan?" Zoya terlihat bangga.
"Wah… jujur ini memang terlihat cocok untukku. Aku tidak mengira hasilnya akan sebagus ini," ucap Lexa terlihat sangat bahagia.
"Kau harus belajar warna apa yang akan cocok untukmu. Kau juga harus belajar sedikit mengenai tata cara bersikap sopan santun. Aku rasa kau akan pelan-pelan menjadi lebih baik," ucap Zoya menutup tempat makeupnya.
"Ah iya, terima kasih banyak sekali lagi," ucap Lexa lega.
Jam makan siang waktunya Lexa mengantar makanan menuju ruangan Vano. Entah kenapa bosnya itu selalu terlihat kalut dari pagi. Sudah tiga kalinya dia bertemu pria itu hari ini dan dia masih saja bertahan dengan wajahnya yang suntuk itu. Tentu saja Lexa tidak berani mengatakan apapun.
"Tuan, ini makan siangmu," ucap Lexa sopan.
"Hm, terima kasih," tentu saja kali ini Vano menatap sang karyawan yang entah bagaimana cukup membuatnya terpana.
"Tadi pagi sepertinya tidak begitu?" tanya Vano dengan santainya.
"Apanya?" tentu saja Lexa bingung.
"Wajahmu!" ucap Vano dengan gesture tangan jemari menunjuk wajahnya sendiri.
"Ah ini, hehehe iya benar. Zoya membantuku," ucap Lexa sederhana.
Tidak ada percakapan selanjutnya hingga Lexa pergi meninggalkan ruangan itu. Sunyi memang tapi tidak dengan hati Vano. Dia berdebar tak karuan. Perasaan yang selama ini berusaha disangkalnya akhirnya muncul juga. "Kau punya urusan yang jauh lebih penting daripada itu, Vano!"