***
Hari Minggu, 06.56 WIB, Perumahan Elit Sarada 8, Menteng, Jakarta Pusat.
[The number you're calling is not active or out of coverage area. Please try again in a few minutes]
Tut
Aletta menatap ponselnya dengan alis yang mengerut.
"Hais... ke mana sih anak itu?" gumamnya kesal karena Gea tak bisa dihubungi sejak setengah jam lalu. Dihubungi lewat WhatsApp, ceklis satu. Lewat Line, tidak dibaca. Ditelepon lewat WA dan Line tak terhubung. Ditelepon lewat pulsa pun tetap tak ada jawaban.
Aletta melangkah mendekati jendela, kemudian menyibakkan gorden yang menutupi. Terlihat langit Jakarta Pusat yang cukup mendung pagi ini. Cahaya matahari redup tertutup awan berwarna abu-abu gelap Dia langsung menutup gorden sambil berdecak kecil.
"Pantas saja tidak bisa dihubungi!" serunya yang langsung mengirim pesan pada sahabatnya itu lewat Line.
Aletta: Aku langsung ke rumahmu!
Gadis cantik itu memasukkan ponsel ke dalam tas kecil, kemudian berdiri di depan cermin untuk merapikan pakaiannya lagi sebelum pergi. Dia membuka laci yang ada di meja rias, kemudian mengambil jepitan kecil dan menjepit setengah rambutnya ke belakang.
"Selesai," ujarnya pelan. Dia mengambil tas kecil, kemudian ke luar dari kamar dan menuruni tangga untuk sampai ke lantai bawah.
"Mau ke mana, Le, di hari libur?" tanya Stefani yang baru ke luar dari kamar dengan piyama hitam dan rambut yang terlihat acak-acakan.
Aletta yang hendak mengambil kunci mobil yang digantung di paku pun mengurungkan niat dan memutar tubuh, menghadap Stefani.
"Ke gereja, Ma."
"Memangnya ada ibadah di jam segini?" Stefani menoleh ke belakang, memandang jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh lewat tiga menit. "Kamu tidak telat, kan?"
"Tidak, Ma. Aku pergi ke GPIB Immanuel. Mulai jam delapan."
"Loh, kok yang jauh, Le? Yang dekat sini kan ada? GPIB Paulus, tinggal jalan kaki. Mulai jam delapan juga, loh."
Aletta mengambil kunci mobil. "Aku pergi bersama Gea. Tapi, anak itu tidak bisa dihubungi. Aku akan menyusulnya saja," ujar Aletta yang kemudian menghampiri Stefani yang mengangguk-angguk paham. Gadis itu mengecup pipi Stefani. "Aku jalan dulu, Ma. Oiya, mobil papa ku pinjam, ya." Dia mengangkat kunci mobil seraya tersenyum riang.
"Waduh, yang punya saja belum pakai," celetuk Stefani sambil geleng-geleng. "Ya sudah, hati-hati, Le!"
"Mama mau pergi ke gereja, kah?" tanya Aletta sembari memakai sepatu hak setinggi 5cm.
"Kalau papamu tidak sulit dibangunkan, kami akan pergi."
"GPIB Paulus?"
"Ya iya, Le. Kalau Immanuel kejauhan. Mobilnya saja dibawa kamu," sahut Stefani sembari memperhatikannya.
Aletta terkekeh kecil. "Ya sudah, Ma. Aku jalan, ya!" serunya melambaikan tangan, kemudian membuka pintu yang dikunci dan sebelum ke luar, dia berkata, "Ma, ini pintunya kunci lagi."
"Iya-iya," jawab Stefani melangkah ke arah pintu dan kembali menguncinya. Wanita yang berusia di akhir empat puluh tahun itu kembali melanjutkan niatnya untuk mengambil air minum di dapur.
***
Beruntungnya sekarang hari Minggu. Jadi, jalan raya dari Gatot Subroto sampai Senayan terpantau lancar. Kalau saja ini hari kerja, lalu lintas pasti tersendat, apalagi di jam-jam pergi dan pulang kerja.
Gerimis kecil mulai turun begitu mobil Pajero Sport keluaran terbaru itu melintasi Jalan Sudirman. Aletta terus-menerus menghubungi Gea lewat telepon, berharap ketika sampai di sana, Gea sudah rapi dan menunggunya. Namun, itu hanya angan-angan karena sampai mobilnya masuk ke halaman rumah Gea di Kawasan Senayan, anak itu tetap tidak menjawab teleponnya.
Aletta turun dari mobil dengan langkah cepat sembari membawa tas kecil. Dia menaiki tangga dengan sedikit berlari, kemudian memencet bel yang ada di samping pintu dan menunggu dengan gusar.
Beberapa menit kemudian, pintu terbuka dan muncul Bibi pengurus rumah.
"Nona Aletta?"
"Iya, Bi. Gea... apa dia sudah bangun?" tanya Aletta gusar karena jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas.
Bibi memasang ekspresi kaget, kemudian menggeleng pelan.
Aletta menghela napas panjang. "Boleh aku masuk, Bi?"
"Oh, ya, silakan, Non." Bibi memberinya jalan, kemudian mengikutinya. "Non Gea tidak bilang pada Bibi kalau ada janji. Kalau bilang, pasti Bibi bangunkan."
"Oh, jadi seperti itu. Padahal dia sendiri yang mengiyakan," sahut Aletta menaiki tangga dengan setengah berlari. Dia sampai di depan kamar Gea, kemudian mengetuknya beberapa kali sebelum menarik gagang pintu.
"Huhh...." Aletta mengembuskan napas lega karena pintu itu tidak dikunci. Begitu pintu terbuka, tampak kamar besar yang pernah ditempati Aletta itu masih dimatikan lampunya dan gorden pun masih tertutup rapat, sehingga hanya gelap yang tepat untuk menggambarkan suasana di kamar tersebut.
Aletta segera masuk dan diikuti oleh Bibi yang langsung menyalakan lampu yang tak jauh dari pintu kamar. Aletta pun langsung membuka gorden lebar-lebar, membuat gadis yang berada di balik selimut itu melenguh pelan.
"Hmm, terang... matikan, matikan...."
Wanita yang berusia hampir sama dengan Stefani itu mendekati Gea dan menggoyangkan tubuhnya.
"Non Gea... Non Aletta sudah di sini. Non kan punya janji sama Non Aletta," ujar Bibi dengan suara lembut.
Aletta menggeleng kecil melihat tak ada jawaban dari sahabatnya itu. Dia langsung maju beberapa langkah, kemudian menyibakkan selimut dengan paksa.
"Astaga...!" seru Gea menutupi matanya yang tertutup dengan kedua tangan. "Ah... aku baru saja tertidur," adunya melenguh.
"Kamu ini... siapa yang mengiyakan untuk pergi ke gereja?" Aletta berkacak pinggang menatap Gea yang masih acak-acakan.
"Hah... mendung, Le." Gea menggeliat, kemudian mengusap wajahnya dan membuka mata, menatap Aletta yang berada di sisi kanannya. "Masa mau pergi juga?"
"Kan kita naik mobil, Gea Agustin... bukan naik motor," balasnya sengit.
"...." Gea menatap Aletta tanpa berkata-kata. Gadis itu hendak menutup kembali wajahnya dengan selimut, tetapi Aletta mencegahnya dengan mengatakan,
"Kamu hanya punya waktu lima belas menit untuk bersiap," ujarnya sembari melihat jam tangan.
"Gea Agustin, kamu yang sudah mengiyakan ajakanku. Dan kamu tahu, aku tidak suka dengan orang yang membatalkan janjinya tiba-tiba. Aku menunggumu di bawah. Cepatlah bersiap selagi kamu punya waktu," ujarnya tegas, kemudian melangkah santai ke luar dari kamar megah itu.
Gea menatap kepergiannya, kemudian beralih melirik Bibi yang tengah menatap kepergian Aletta juga.
"Astaga, anak itu...." Gea mengelus dadanya yang berdegup kencang karena dimarahi. Seketika itu pula, rasa kantuknya hilang entah ke mana.
"Mau Bibi bantu bersiap, Non?" tanya Bibi yang menatap Gea. Sudah lama sejak anak majikannya itu melarang siapapun untuk membantunya menyiapkan diri.
"Siapkan pakaianku saja, Bi. Aku mau mandi," jawabnya yang langsung turun dari kasur dan berjalan ke kamar mandi.
"Jangan lama-lama, Non!"
"Aku tahu." Gea mengambil bath robes yang tergantung sebelum masuk ke kamar mandi. "Aku juga tidak ingin dimarahi Ale lagi," sambungnya.
***
GPIB Immanuel, Jalan Medan Merdeka, Gambir, Jakarta Pusat, 09.36 WIB.
Ibadah telah selesai lebih cepat beberapa menit daripada jadwal seharusnya. Orang-orang pun mulai meninggalkan gereja, entah dengan mobil, motor, angkutan umum, atupun berjalan kaki. Hal serupa juga terjadi pada Gea dan Aletta.
Kedua gadis itu ke luar dari gereja dengan langkah santai dan disambut dengan langit cerah serta sinar matahari yang menerangi, tidak seperti tadi pagi.
Aroma hujan yang bercampur dengan tanah pun menyeruak, memasuki indra penciuman mereka.
"Terang, ya. Padahal tadi pagi hujannya lumayan besar," ujar Gea sedikit menghalangi pandangannya saat melihat langit.
"Kan... kalau kamu tetap menuruti niatmu untuk tidur, kamu tidak akan melihat pemandangan sebagus ini. Memangnya kapan lagi Jakarta tidak tertutup polusi?" ujar Aletta yang menuruni tangga lebih dahulu.
"Sebentar, Ale." Gea mengeluarkan ponsel dari tasnya. "Ini harus diabadikan," lanjutnya mengambil beberapa potret langit cerah untuk mengunggahnya di Instagram.
"Sudah?" tanya Aletta setelah beberapa menit.
Gea mengangguk kecil, kemudian membuntuti Aletta sembari memainkan ponsel sampai ke tempat parkir.
Saat Gea sudah ada di dalam mobil dan sibuk memainkan ponsel, serta Aletta yang hendak membuka pintu mobil, pemilik mobil yang parkir di sebelahnya tiba-tiba menurunkan kaca mobil.
"Permisi."
Aletta yang tanggap pun langsung menoleh dan melebarkan mata karena terkejut.
"Aletta, ya? Aletta Coline, kan?" tanya pria itu dengan yakin. Di sisi kemudi mobil itu, ada seorang wanita berambut pirang yang kebingungan, menatap pria yang berstatus sebagai suaminya itu.
Aletta menelan saliva gugup. Saat inilah dia menyadari quotes yang sering lewat di fyp.
Manusia memang berencana, tetapi Tuhan juga punya rencana rahasia lain dan menetapkan yang baik bagi makhluk-Nya.
"Joan," panggil Aletta dengan suara yang hampir mencicit.
Pria bernama Joan itu tersenyum lebar, merasa puas dan lega karena tidak salah orang.
"Astaga, Ale... kamu ke mana saja?" Dia hendak membuka pintu, tetapi ditahan dengan pertanyaan dari wanita di sampingnya.
"Kenapa, Hon?"
Pria itu menoleh sekilas pada istrinya yang tengah kebingungan, hampir merasa cemburu karena paras Aletta yang sangat cantik.
"Ini Sayang... teman SMA-ku yang sudah lama tak ada kabarnya. Aletta Coline."
———