"Dhira," panggil Lavanya.
"Eh, hai."
"Kamu masih nunggu taksi?"
"Iya nih. Susah banget ga biasanya taksi jam segini ga ada satu pun yang lewat. Padahal aku mau jemput anak aku."
"Yaudah kalo gitu bareng sama aku aja."
"Emangnya ga apa-apa?"
"Ga apa-apa lah. Kaya sama siapa aja. Ayo."
"Yaudah kalo gitu. Ayo."
Setelah menunggu lama tetapi tidak ada taksi yang lewat depan kantor, akhirnya Dhira pulang bersama dengan Lavanya. Sebelumnya mereka berdua akan menjemput Ghali, anak dari Dhira.
"Mamah....," teriak Ghali.
"Sayang... Maaf ya nunggu lama. Tadi taksi nya ga ada soalnya. Untung aja ada Tante Lavanya."
"Iya, Mah, ga apa-apa. Makasih ya Tante."
"Iya sayang, sama-sama."
Ghali adalah anak yang manis dan juga cerdas. Walaupun usianya baru beranjak 5 tahun dan masih duduk di bangku taman kanak-kanak, tetapi Ghali sudah sangat pandai berbicara dan sangat sopan dengan semua orang. Bisa dibilang Ghali itu di dewasakan oleh keadaan. Dimana dirinya harus kuat dalam menjalani kehidupan ini. Karena yang Ghali punya hanyalah Mamahnya. Tidak ada sosok Ayah yang bisa melindunginya layaknya seorang Ayah pada umumnya.
Malam itu, Lavanya nungguin kak Esha sampai lumutan. Habisnya, dia tidak datang-datang. Bilangnya, "Iya udah deket bentar, deh." Tapi tidak sampai-sampai. Dasar Pemberi Harapan Palsu.
Kemudian, bel rumah berbunyi. Lavanya pun tanpa ba-bi-bu langsung berlari menuju pintu depan dan membukanya.
"KAK ESHA!!! LO DARI MA..."
"Oh my God, Arzan ngapain di sini? Ini lagi ngapain Pak Tantan ngizinin Arzan masuk? Siap-siap ambil semprotan merica ini, sih," pikir Lavanya di dalam hatinya.
"Hai Lavanya," sapanya.
Lavanya mencium aroma manis yang semerbak saat Arzan berdiri di hadapannya. Kemudian Aneisha melirik pada sumbernya. Martabak. Wanginya enak banget, bikin perut Aneisha kruyuk-kruyuk.
"Ngapain lu di sini?" tanya Aneisha.
"Kayak jelangkung aja, datang tak diundang pulang tak diantar," sambungnya.
Gavriel menaikkan sebelah alisnya,. "Loh emangnya enggak boleh cowok main ke rumah ceweknya?"
Aneisha mendelik, berusaha kelihatan sejutek mungkin. Berusaha bersikap jual mahal. Yaa.... Daripada jual murah mending jual mahal. Tidak apa-apa tidak laku yang penting mahal.
"Tahu dari mana alamat gua?"
Gavriel tersenyum, "Dari taksi yang nganter lu tadi," jawabnya.
"OH... JADI LU YANG..."
"Nih, martabak buat lu. Gua engga di suruh masuk nih?" Gavriel menyela ucapan Aneisha.
Aneisha mendelik lagi, sebenarnya Aneisha tidak rela rumahnya dimasuki makhluk kaya dia. Tapi, karena Aneisha baik, dan demi kesopanan, Aneisha pun mengizinkan Gavriel untuk masuk ke dalam rumahnya.
"Rumah lu enak ya, Neish," katanya seraya menatap ke sekeliling.
"Sendirian aja?" tanyanya lagi.
Aneisha mendongak dari handphone, menatap wajahnya sesaat.
"Ghali. Kamu udah makan siang belum?"
"Udah sih Tante tadi siang."
"Kalau ice cream mau ga?"
"Mau Tante. Emangnya boleh?"
"Lu buta apa gimana? Kita berdua."
Sebenarnya Aneisha tinggal bertiga dengan Bi Siem yang dengan setia nungguin di belakang pintu dapur.
"Bokap sama Nyokap lu mana?"
"Jakarta."
"Terus lu di sini sama siapa?"
"Abang."
Omong-omong soal Abang, Felix mana, sih? Sampai saat ini kak Felix belum juga pulang.
"Boleh dong. Kalo gitu sekarang kita cari ice cream yuk."
"Asikk. Ayo Tante."
Lavanya memang sangat menyayangi Ghali seperti anaknya sendiri. Rasa kasih sayang Lavanya kepada Ghali sama besarnya seperti rasa sayang Dhira kepada Ghali. Karena sudah berjanji, Lavanya pun langsung mencari ice cream dan tempat untuk memakannya.
"Bilang apa sama Tante."
"Makasih banyak ya Tante Lavanya."
"Iya sayang, sama-sama. Di habisin ice cream nya."
"Iya Tante."
Tiba-tiba saja handphone milik Lavanya berdering. Kebetulan Lavanya sudah memasukkan nomer telepon Arzan. Membuat Lavanya terkejut ketika mengetahui jika kali ini Arzan yang menelponnya. Laki-laki yang akhir-akhir ini selalu menolong Lavanya ketika dia dalam keadaan bahaya.
Dengan spontan Lavanya langsung tersenyum.
"Kamu kenapa senyum-senyum gitu? Telepon dari siapa sih?" tanya Dhira yang penasaran.
"Ini loh, orang yang aku ceritain tadi siang."
"Oh ya? Jadi kalian udah saling tukar nomor?"
Lavanya hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum malu.
"Ciee. Yaudah diangkat."
"Sebentar ya."
"Iyaaa."
Setelah beberapa lama handphonenya berdering, akhirnya Lavanya mengangkat telepon dari Arzan.
"Hallo."
"Hallo. Pasti kamu belum simpan nomer aku ya?"
"Kata siapa? Kamu kok sok tahu sih."
"Buktinya angkatnya lama."
"Aku tadi ada urusan makanya ga keangkat cepat. Maaf ya."
"Iya ga apa-apa. Aku cuma becanda aja. Yaudah kalo gitu. Aku cuma ngetes nomer kamu aja. Kirain kamu asal kasih nomer ke aku."
"Enak aja. Beneran lah."
"Yaudah ya kalo gitu. Nanti kalo kamu butuh apa-apa hubungi aku aja."
"Iya. Makasih banyak ya."
"Sama-sama."
Ternyata Arzan menelepon Lavanya hanya untuk mencoba apakah nomer telepon yang Lavanya berikan kepadanya benar atau tidak. Lavanya sedikit kesal karena dituduh sudah asal memberikan nomer teleponnya. Tetapi entah kenapa rasa kesal itu cepat hilang dan berubah menjadi senyuman yang terlukis indah di kedua bibirnya.
"Ciee. Ada yang senyum-senyum sendiri nih," ledek Dhira.
"Ih apa sii. Ghali, kamu udah selesai makan ice cream nya belum?"
"Udah Tante."
"Yaudah sekarang kita pulang yuk."
"Ayo Tante."
Karena salah tingkah, Lavanya mengajak Ghali dan Dhira untuk pulang. Lavanya mengantarkan Ghali dan Dhira pulang tepat sampai ke rumahnya. Kebetulan jarak dari rumah Dhira ke rumah Lavanya tidak terlalu jauh.
"Mampir dulu Lavanya."
"Ga usah deh ya, makasih. Aku mau langsung pulang aja."
"Yang lagi jatuh cinta bawaannya mau di kamar aja sambil teleponan."
"Apa sih. Jangan ledekin aku kaya gitu ah. Doain aja kalau emang dia yang terbaik untuk aku. Semoga diberikan jalan dan petunjuk."
"Aamiin. Semoga kamu bisa bahagia dengan suami kamu kelak ya. Jangan sampai kamu seperti aku."
Tiba-tiba saja suasana menjadi sedih. Dhira teringat dengan masa lalunya dengan suaminya. Lavanya sebagai sahabatnya yang sangat peka langsung memeluknya dengan sangat erat sambil mengusap bahunya berharap Dhira bisa kuat. Apalagi selama ini Dhira sudah melaluinya dengan sangat hebat.
"Udah ah jangan di ingat-ingat lagi. Kamu hebat. Suatu saat nanti pasti kamu akan mendapatkan suami yang jauh lebih baik dari yang kemarin."
"Tapi aku udah ga berapa itu, Lavanya."
"Jangan bicara seperti itu. Yang namanya jodoh ga ada yang tahu. Yaudah kalau gitu aku pulang dulu ya. Dadah Ghali."
"Dadah Tante. Tante hati-hati ya," jawab Ghali.
"Makasih ya Lavanya."
"Iya, sama-sama."
Kali ini Lavanya benar-benar pergi meninggalkan rumah Dhira.
"Sekarang kita masuk yuk. Kamu ganti baju, habis itu istirahat."
"Iya, Mah..."
Dhira dan Ghali masuk ke dalam rumah mereka yang tidak sebesar rumah milik Lavanya. Tetapi bagi mereka, kehidupan mereka sudah sangat bahagia dengan kesederhanaan yang mereka punya tanpa harus adanya sosok laki-laki sebagai suami bagi Dhira dan Ayah bagi Ghali.
-TBC-