"Hilma pamit pergi, ma." ucap Hilma sambil menyodorkan kedua tangan untuk bersalaman dengan mama Dewi. Ya walaupun tidak akan pernah diterima uluran tangannya.
"Pergi-pergi aja, nggak usah salim-salim."
"Baik,ma. Assalamualaikum."
Seperti pagi-pagi biasanya Hilma selalu berangkat dengan sepeda tua milik almarhum papa . Rumah mewah, mobil mewah, fasilitas lengkap itu semua tak berlaku untuknya. Ia harus bekerja malam hari untuk mencukupi semua kebutuhan walaupun tak sanggup Hilma harus tetap sanggup dalam menghadapi pahitnya dunia.
Setelah sampai di halaman sekolah, Hilma disambut dengan keramaian, "Tumben ramai di depan sekolah. ada apa, ya?" tanya Hilma pada diri sendiri.
"Samperin aja deh. Daripada mati penasaran." Gumamnya sambil berjalan mendekati keramaian dan melihat kejadian apa yang menyebabkan orang-orang berkerumun di depan mading.
"Permisi."
"Maaf. Permisi sebentar," ucap hilma lagi pada orang yang menghalanginya. Badannya yang gemuk dan kecil itu sangat mengusahakannya, ia sangat susah untuk menerobos kerumunan.
"Woi cuy!! orangnya sudah datang," pekik seseorang dengan lantangnya.
Keadaan yang tadi berkerumun tiba-tiba menyisakan ruang kosong di tengah-tengah. Tak perlu usaha dan tenaga yang harus Hilma keluarkan untuk menerobos. Karena dengan sendirinya ia sudah berada tepat ditengah kerumunan..
Hilma pun bingung kenapa tiba-tiba jadi seperti ini, "ada apa, ya?" Tanyanya pada orang-orang disekitar.
"Lah, lu kagak tau kenapa?"
"Nggak," jawab Hilma polos.
"SOK POLOS!!"
"Sok polos?"
"Iya. Sok polos amat lu," ejek orang tersebut yang tak suka dengan tampang polos yang Hilma tunjukkan sekarang.
"Bisa dijelaskan, kenapa?" tanyanya karena tak mengerti apa yang mereka maksud.
Tanpa menjawab mereka langsung menarik Hilma ke depan mading. Beberapa detik kemudian Hilma masih dalam kediamannya dengan muka yang sudah tak bersahabat dengan keadaan, "Siapa yang kurang kerjaan, sih? Gak ada bahan lain yang bisa kalian gibahin, ha?!!!" Amarah Hilma meluap saat ternyata wajahnya terpampang jelas dengan semua hinaan, cacian, ejekan fisik. Dan yang pasti fotonya dengan Radit semalam juga terpampang.
"Kalian gak pernah mikir perasaan orang, gimana kalau yang ada di mading itu salah satu keluarga kalian. Apa kalian gak akan sakit hati juga?" Hilma menunjukkan muka dengan amarah dan linangan air mata yang mulai membasahi pipinya. Ia tak habis pikir dengan pemikiran teman-temannya.
"Gak peduli!"
"Iya, sama. Gue juga nggak peduli."
"Memang kalian nggak punya HATI!!" Ujar Hilma sambil menekan kata hati.
"Lah, yang terpenting kami punya fisik yang memadai. Nggak kayak lo," hina Bella. Tapa Bella yang selalu ikut campur, yang selalu menghina, yang selalu merasa dirinya paling sempurna.
"Fisik juga nggak guna kalau nggak dibarengi dengan akhlak," kata Hilma sambil menahan air matanya agar tak turun sekarang. Jika air mata itu lolos pasti teman-temannya akan semakin berbuat sekehendak mereka.
"Paham apa lo tentang akhlak?"
"Gue paham, lah!! Akhlak lebih baik. Daripada punya wajah cantik, fisik memadai, tapi akhlaknya minus."
"Wah… nantangin gue." ujar Rani sambil melangkah mendekatiku.
PLAKK!!
Hilma terkejut mendapatkan tamparan mendadak dari Rani dan langsung refleks memegang pipi kirinya yang sedikit memerah, "Jahat banget kalian semua!!"
"Tepatnya bukan kalian, Hilma. Karena cuman gue yang nampar lo.
Tanpa berniat membalas Hilma langsung melenggang pergi, "Permisi" ujar Hilma dalam batinnya hanya tertanam kalau membalas tamparannya berarti ia dan Rani sama saja. Mempunyai akhlak yang minus.
"Lo nggak kenapa-kenapa, kan?"
"Nggak usah sok peduli, deh." Hilma muak dengan Radit yang sikapnya seakan-akan tak merasa bersalah dengan segera Hilma menghempaskan tangan kak Radit dari bahunya.
"Bagus gue peduli sama, lo" balas Radit tanpa rasa bersalah.
"Aku nggak butuh perhatian!! Kejadian ini terjadi karena ulah gak bertanggung jawab darimu, RADIT!!"
"Hilma-hilma, kasian banget."
"Lebih kasihan aku lihat kamu, kak Radit." Dengan segera Hilma membalikkan badan untuk pergi ketempat dimana saja ia bisa bersembunyi untuk menumpahkan semua air mata yang sudah ditahanya dari tadi.
"Kenapa?" tanya Radit saat melihat Hilma yang dengan tergesa-gesa ingin pergi.
Hilma berhenti melangkah sambil mengeluarkan senyum smirknya, "AKHLAKNYA MINUS!!"
"Wah-wah nyari masalah."
Tak ada rasa takut, yang ada malah hilma tertawa lepas melihat ekspresi wajah kak Radit yang menahan amarah, "Dasar minus akhlak!!"
*****
Hari sudah mulai gelap dengan di hiasi langit mendung dan tetes demi tetes hujan mulai turun. Dan disinilah hilma, masih setia duduk di tepi sungai menghirup udara sejuk dan memandang kegelapan yang mulai menangis mengikuti suasana hatinya.
Tampang yang kuat, berusaha tegar, menahan amarah dan juga menahan gelombang air mata yang sudah menumpuk meminta untuk dikeluarkan. Sungguh, hari ini lebih parah dari hari semalam yang hilma lewati semalam. Hari ini menuntutnya untuk bisa lebih cermat dalam menghadapi dunia yang kecam ini yang hanya berisi candaan belaka.
Lelah hayati begini terus, ya Allah. Sampai kapan aku sanggup menghadapi semua hinaan ini, ya Allah? ujar hilma dalam hati.
Memang engkau memberikan cobaan berdasarkan kemampuan hambamu. Tapi aku mulai nyerah. Aku nyerah! NYERAHHHHHHHHHH!! Ungkap hilma lagi dalam diam sambil terus menghadap ke langit.
Tak sanggup lagi Hilma untuk menahan air mata yang sudah ia bendung dari tadi. Kini air mata Hilma terus menetes bersamaan dengan hatinya yang saling berkecamuk, membatin, dan bergeming tak menentu.
"Maaf, ya Allah. Hambamu ini kurang bersyukur." Batin hilma merasa bersalah.
Sekarang keadaan Hilma sangat hancur, ia tak lagi menengadah ke arah langit. Melainkan sudah tertunduk lemas dengan cucuran air mata yang tak bisa dihentikan.
Sepuluh menit, lima belas menit, tiga puluh menit. Tak terasa Hilma sudah melewati harinya ini dengan cucuran air mata. Namun di menit selanjutnya tiba-tiba langit kembali mendung seperti mengisyaratkan suasana hatinya. Hilma kembali mengarahkan matanya ke langit.
Langit, turunkan lebih lebat hujannya. Agar aku tak terlihat begitu menyedihkan, pinta Hilma pada langit sambil mendongakkan kepala dengan mata terpejam ke arah langit.
"Hay."
Hilma yang mendengar suara langsung mencari dari mana asal suara itu. Namun nihil, tak ada seorangpun di sekitar sungai ini.
"Nama kamu, siapa?" tanya orang yang tak ku tahu keberadaannya.
"Hilma," jawab Hilma singkat.
"Aku cuman mau nanya sama, kamu. Apa boleh?"
"Boleh."
"hmm, kamu kenapa sih sulit banget untuk gak usah dengarkan kata-kata orang lain yang gak bermutu, yang cuman buat sakit hati itu?"
"Gimana gak mau didengar, orang setiap hari omongannya gitu aja. Aku jelek lah, hitam, dan bla-bla. Bosen tau," ungkap Hilma tanpa sadar sudah curhat ke orang itu.
"Sekarang kamu jawab deh. 3+5 berapa?"
"Delapan." jawab Hilma.
"Kalau 4+4 berapa?'
"Kok jadi hitung-hitungan, sih." Hilma menggerutu dan mengernyitkan kedua alisnya. Karena tak paham arah pembahasan orang yang tak berwujud itu .
"Udah, jawab aja."
"Delapan, juga."
"Nah pande."
"Udah, gitu doang?" tanya Hilma tak percaya, bisa-bisanya orang itu mempermainkannya.
"Iya."
"Idih, kirain mau ngasih motivasi tadi!"
"Emang," jawab orang itu sambil terkekeh ringan.
Hilma sudah mulai tak sabaran, terlalu bertele-tele pikirnya, "ya udah, apaan?"
"3+5 sama 4+4 akan menghasilkan hasil yang sama. Sama-sama 8."
"Terus, apa hubungannya?"
"Makanya, sabar."
Hilma menghembuskan nafasnya agar amarahnya tak meluap.
"Cepetan, ih."
"Ya, walaupun 3+5 sama 4+4 angkanya beda tapi Kan tetap jawabannya Sama 8. Nah, itulah kehidupan."
"Ha?" Pekik Hilma kaget. karena tak mengerti apa yang dikatakan orang itu.
"Jangan takut untuk bilang tidak sama orang lain, ntah orang itu yang mendukung kamu ataupun yang menghina kamu. Hanya karena kamu takut beda dari orang itu. Karena kamu sekarang boleh beda dari orang itu. Tapi tujuannya tetap sama," sambung orang itu lagi.
Kini Hilma sudah mengetahui arah tujuan pembicaraan orang itu, "Emang tujuan orang cantik sama jelek itu sama?" tanya Hilma dengan tidak lupa dengan tampang polosnya.
"Sama, tujuannya pasti sama-sama untuk mencari kebahagiaan. Nggak ada orang hidup cuman mau nyari kesedihan, sia-sia banget hidup kalau cuman nyarik kesedihan doang."
"Nggak juga tuh. Buktinya aku sedih mulu, nangis Mulu, dihina Mulu tiap hari."
"Makanya, yang tau diri kamu itu ya cuman kamu, Hilma. Yang ngerti dan tahu tujuan hidup kamu juga cuman, kamu."
"So, kamu harus tetapkan pendirian, tentukan pilihan yang menurut kamu. ya, inilah kamu!!
"Inget pesan aku, ya. Kamu sekarang harus berani untuk menentukan hidup kamu sendiri bukan atas dasar paksaan orang lain, bukan atas dasar perkataan orang lain, bukan atas dasar sisi kelemahan kamu. Be yourself, Hilma."
Jelas orang itu panjang lebar, walau hanya suaranya saja yang bisa Hilma dengar. Namun ia merasa suara itu benar-benar nyata bukan cuman sekedar haluan atau imajinasinya.
Tak terasa air matanya menetes lagi dan lagi, orang itu tak nyata tapi mengapa ucapan dan kata-katanya terasa nyata sekali.
"Be yourself, jadilah dirimu sendiri, Hilma!!" Ulang orang lagi.
"Terimakasih." Hanya kata-kata itu yang mampu keluar dari mulut Hilma, tiba-tiba mulutnya terasa kaku untuk berbicara banyak.
"Sama-sama, aku pamit dan tetap tersenyum walau hati ingin menangis, jangan tampakkan dirimu yang lemah," ujar orang itu.
Setelah mendengar kata pamit itu, hingga kini Hilma tidak mendengar lagi suara yang memberinya semangat. Ia terus bertanya siapa dia? Mengapa suaranya seperti nyata, dan keberadaannya seperti dekat disini, dan raganya juga seperti benar-benar didekatku.
"SIAPA KAMU!!" teriak Hilma sambil terus mencari.
"Siapapun kamu, dan dimanapun kamu berada. Terimakasih banyak untuk hari ini. Hatiku terenyuh mendengar kata-kata dari mu. Terimakasih orang misterius." ujar Hilma pasrah yang sudah menyerah mencari asal keberadaan suara itu.