"Dari mana aja, lo? Berkeliaran mulu kerjaannya malam-malam. Mau jadi perempuan malam, kamu!! Jangan tambah buat keluarga kami malu, ya. Kehadiran kamu di tengah-tengah keluarga aja udah bikin malu. Lah ini, mau jadi perempuan malam lagi," cerocos mama Dewi. Tanpa tau sebabnya terlebih dahulu.
Hilma menghela nafas panjang, "terserah mama aja deh. Hilma capek." Setelah itu Hilma duduk di sofa ruang tamu.
"Kurang ajar banget kamu jadi anak, Hilma. Harusnya kamu bersyukur masih dibolehkan tinggal di rumah ini"
"Rumah papa, tempatnya," balas Hilma memperbaiki.
"Papa kamu sudah mati!! Jadi, semua harta peninggalan papa kamu jatuh ke tangan mama."
"Papa meninggal gara-gara mama!!"
"Iya, memang."
"Seharusnya mama masuk penjara, bukan malah menguasai harta papa."
"Mama nggak terbukti bersalah di pengacara. Karena, gak ada bukti yang kuat kalau mama yang bunuh papa kamu yang tua itu. Mama main cantik waktu bunuhnya," ucap mama Dewi.
Hilma tersenyum licik, "Suatu saat Hilma akan bisa buktikan kalau mama bersalah!!" Ancamnya.
Mama Dewi tersenyum mengejek mendengar Hilma mengancamnya, "Silahkan. Kalau kamu bisa buktikan mama bersalah, mama tunggu."
"Oke."
"Kamu habis dari mana?" tanya mama Dewi lagi.
Hilma mengangguk-anggukan kepalanya, "Masih kepo ternyata."
"Nggak."
"Lah, kalau nggak kepo ngapain nanya-nanya segala, ma?"
"Salah kalau mama banyak tanya ke anak mama sendiri?"
Hilma terkaget-kaget mendengar ucapan mama Dewi yang bilang kalau ia adalah anaknya, "Sebentar-sebentar deh, ma. Mama bilang apa tadi? Hilma anak mama?"
Mama Dewi yang ketahuan keceplosan langsung menggaruk-garuk tengkuknya, "Salah dengar kamu, Hilma."
"Hilma baru bersihin kuping tadi pagi, nggak mungkin kalau masih salah dengar."
"Mungkin kurang bersih, Hilma."
"Sudah bersih banget kok, ma" sambung Hilma tak mau kalah.
"Hmm… sudah lah, anggap saja angin lalu. Mama mau masuk dulu" izin mama Dewi dan langsung berjalan ke arah dapur dengan tergesa-gesa.
"Iya, ma." Hilma berusaha menahan senyumnya agar tidak mengembang.
"Berarti masih ada rasa sayang di hati mama Dewi. Ya, walaupun hanya secuil tapi aku udah seneng banget, ya Allah." batin Hilma.
*****
Saat Hilma hendak membaringkan badan ke kasurnya, tiba-tiba ada suara ketukan pintu yang mengganggu, "siapa?" tanyanya.
"Buka!!"
"Mau ngapain? Kakak mau istirahat, dek."
"Cepetan, woy"
"Mau ngapain?" tanya hilma lagi.
"Udah buruan, tinggal buka aja repot."
Ceklek!
"Kakak dari mana? Kenapa baru pulang?"
Hilma mengernyitkan dahinya, "Tumben kamu peduli sama kakak, jar?"
"Iss...nggak usah kepedean."
"Jadi, kenapa nanya-nanya?"
"Disuruh kak Dian buat nanyain, sebenarnya gue juga ogah sih."
"Oh" balas Hilma singkat.
"Dari mana, kak? Apa jangan-jangan kakak jadi perempuan malam, ya?"
"Jaga ucapanmu, Fajar."
"Makanya, dijawab kalau ditanya itu," sahut fajar tak mau kalah dengan tampak sok misteriusnya.
"Nggak ada urusan sama kalian semua, aku barusan dari mana."
"Terserah, capek ngomong sama orang jelek kayak lo, kak."
"Nggak ada hubungannya cantik, jelek, tinggi, pendek. Heran kali sama orang-orang zaman sekarang, fisik mulu dibawa-bawa."
Fajar berjalan ke arah meja rias Hilma, dan mengambil kaca yang ada disitu, "Coba ngaca, deh."
Hilma mengambil kaca dari tangan adiknya itu, sambil mengernyit heran, "Buat apa, dek?" tanya Hilma sambil mengarahkan kaca yang ia pegang ke wajahnya.
"Agar kakak sadar," balas Fajar.
"Sadar?" tanya Hilma lagi. Karena tak mengerti apa yang dimaksud adiknya.
"Iya, sadar diri."
"Hmm… biar lebih sadar betapa jeleknya wajah kakak. Dengan alis tipis, bibir hitam, badan gemuk dan gak tinggi itu." sambung Fajar.
"Iya-iya. Yang paling sempurna."
"Makasih, sudah memuji. Memang aku ganteng kok."
"Iya, sama-sama. Sekarang bisa keluar?"
"Idih, ngusir."
"Kakak mau istirahat, Fajar."
"Lagian, ini kamar kakak bukan kamar kamu," lanjut Hilma.
"Tapi ini rumah mama Dewi, otomatis kamar kakak juga punya mama Dewi.
Lagi dan lagi hilma hanya mampu menghembuskan nafas, "Rumah papa."
"Papa udah nggak ada, kak."
"Terserah kamu, deh. Mau bilang ini rumah ayah atau mama. Yang terpenting ini kamar kakak."
"Mana boleh gitu."
"BOLEHHH!!"
"NGGAK!!!"
"Mau keluar sekarang atau kakak paksa keluar."
"Belagu banget, kak."
"JAWAB!!"
"Iya, ini keluar. Jangan marah-marah, ntar tambah jelek."Brakkk!
Hilma terkejut dengan suara pintu yang teramat kuat, "nggak bisa pelan-pelan, ha?"
"Sorry, kak. Sengaja." Hilma mendengar suara ketawa adiknya, ia hanya mampu mengelus dadanya.
"Siapa lagi, sih." Hilma kembali bangkit untuk membuka pintu saat kembali mendengar suara ketukan.
"Gue ," ujar orang dibalik pintu sambil terus mengetok pintu seakan-akan orang yang ada didalamnya orang yang tuli tidak bisa mendengar suara.
"Oh, kakak. Ada perlu apa?"
"Baju gue, mana?"
Hilma mengetuk-ngetuk dahi sambil mengingat, Astaghfirullah … " teriak Hilma tiba-tiba. Setelah teringat tentang baju kakaknya.
"Mana?"
"Anu--
"MANA BAJU GUE, HILMA?"
"Belum Hilma cuci, kak." jawab Hilma sambil menunjukkan cengiran khas tak bersalahnya.
"Kenapa belum kamu cuci?" tanya kak Dian sambil menarik rambut Hilma.
"Aduh kak, sakittt" Hilma mengeluh kesakitan karena tiba-tiba kak Dian menjambak rambutnya dengan penuh emosi.
"Rasain!! Siapa yang nyuruh kamu nggak nyuci baju kakak? Jadi akibatnya kamu kakak Jambak sebagai pelampiasan."
"Udah, kak. Aku lupa nyuci baju kakak, Maaf." Hilma terus meringis kesakitan. Jambakan kakaknya Dian bukan makin pelan melainkan tambah kuat. Hingga ia rasa kepala berdenyut sekali seperti ditarik sana-sini.
"Oke kali ini gue ampuni. Tapi lain kali kalau terulang lagi, nggak ada kata ampun buat lo, inggat!!"
"Iya, kak." sahut Hilma sambil mengusap-usap kepalanya yang terasa sakit, akibat jambakan dari kak Dian.
Kak Dian berjalan ke arah dimana bajunya yang ia berikan ke Hilma untuk divisi kemarin. Dan mengambilnya seraya kembali ke hadapan Hilma "Cuci, SEKARANG!!"
"Baik, kak."
Setelah itu, hilma benar-benar langsung bergegas ke kamar mandi sambil membawa baju kotor kakaknya itu. Segera mungkin iya mencuci, membilas, dan menjemurnya. Cuaca hari ini sangat membantu dan mendukungnya untuk segera menyelesaikan pekerjaannya. Bagaimana tidak? Matahari hari ini sangatlah bersinar, panas, dan bahkan awan mendung pun enggan untuk menghampiri.
Tak terasa, Hilma akhirnya menyelesaikan pekerjaannya kurang dari 1 jam, ia pun langsung merebahkan badannya ke kasur sambil mengontak-atik handphone.
"Kok artis-artis, selebgram bisa mulus si mukanya? Pori-pori pun tak terlihat. Hebat juga," ujar Hilma pada dirinya sendiri.
"Mungkin perawatan kali, ya. Kan duit artis-artis sama selebgram pasti banyak, Sangking banyaknya Sampai bingung mau digunakan untuk apa." sambung hilma lagi.
Hilma yang punya rasa penasaran angkut langsung berjalan mengambil kaca yang tergeletak di lantai karena ulah adiknya tadi, "ya Allah, pori-poriku. Banyak sekali kayak mau kiyowokkan bareng aja. Atau mau fargoy bareng pori-pori a---kuyyyy" ujar Hilma mendramatis dengan nada yang dibuat lebay.
"Di coba kali Ye, mana tau bisa beneran cantik. Kan abang-abang ganteng biar lengket kayak perangko" Hilma kembali berjalan ke meja riasnya untuk mengambil alat make-up seadanya yang ia miliki di meja rias itu.
Srett
Srett
Srett
"Tunggu dulu, kok kayak ada yang kurang, ya?" pikir Hilma bingung.
"Tapi, lebih baik juga sih dari muka awal yang tadi. Tadi pucet banget, alis nggak ada, bibir hitam. Sekarang, alisnya tebal banget dilihat-lihat jadi serem. Ah sudahlah, yang penting lebih bagus dari yang awal tadi." Hilma kembali melihat ke arah kaca untuk melihat hasil polesannya.
"Buka!!"
Hilma yang mendengar suara ketukan menjadi kelabakan. Pasalnya sekarang ia sedang mencoba berdandan, "sebentar."
"Cepetan, ih"
Ceklek
"Ternyata nggak dikunci."
Fajar berjalan ke arah tempat tidur kakaknya dan langsung meletakkan makanan disitu, "Kakak ngapain? Tumben kali kamarnya berserakan."
"DIEM!!"
"Lah, ditanya bagus-bagus malah marah-marah."
Fajar yang tak sabaran langsung membalikkan badan kakaknya, pasalnya kakaknya Hilma membelakangi dirinya terus.
"HAH?" Pekik Fajar yang terkejut melihat wajah kakaknya.
Fajar terus mengucek matanya untuk memastikan, "Ini beneran, kakak?" tanya fajar.
"Hehehe, iya. Eh, Gimana? Cantik kan?"
"Aaaaa … mata aku ternodai," ujar Fajar sambil menutup kedua matanya.
"Kenapa mata kamu, dek?"
"Gila, rasanya sampai mau ngompol sangking seramnya muka kakak."
"CANTIK!!" balas Hilma tak mau kalah.
Fajar tersenyum meremehkan, "Iya, cantik. Sangking cantiknya mirip hantu. Berapa kilo bedak kakak pakai dimuka?"
Hilma yang tak terima dengan ucapan adiknya, ia langsung mengambil bantal untuk dilemparkan ke arah adik sialannya itu, "Pergi sana!!"
dukk
"Ah, hantu sialan," umpat fajar. Karena kakaknya melempar bantal ke arahnya.
"Rasain, adik laknat."
Setelah fajar adiknya keluar, Hilma kembali mengambil kaca yang tergeletak di kasurnya untuk memastikan ucapan adiknya.
Biasa aja, malah cantik gini. Dasar mata fajar katarak!! Umpat Hilma dalam hati. dan kemudian melanjutkan kegiatannya memoles berbagai mekeup di wajahnya.